Mohon tunggu...
Rita Kum
Rita Kum Mohon Tunggu... Pramusaji - Pramusaji

Perempuang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surat tentang Cinta Bangsa

17 Januari 2019   20:50 Diperbarui: 17 Januari 2019   21:18 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepada sahabatku Fetta, di Jerman

Hai Fet, bagaimana kabarmu di sana ? Winter masih belum berlalu ya?

Jakarta rada sejuk karena hujan kadang turun. Tapi hawa rasanya masih saja panas. Bukan saja di jalanan, tapi juga di media dan sosial media. Kamu tentu bertanya, apa penyebab rasa panas dan kegerahan itu? Dan bukan hujan yang bisa mengatasinya.  

Kami memang jadi sering merasa gerah karena banyak hal yang dulu tidak dipersoalkan, sekarang sangat dipersoalkan.  Perbedaan, kau tahu ? Di Indonesia perbedaan adalah hal yang sangat lumrah. Malah sebagai perekat dan semangat membangun bangsa.  Agama, budaya, bahasa, adat dan lain sebagainya. Beberapa dekade kami hidup dengan perbedaan. Tapi kini perbedaan itu makin dipersoalkan. 

Aku tak tahu kondisi itu mulai kapan. Seperti yang pernah kau utarakan sendiri ketika berkunjung ke Jakarta usai masa reformasi dulu. Ketika itu kau melihat televisi, membaca koran dan ke jalan-jalan seputar Jakarta. Membaca kritik-kritik bertebaran di media massa, dan demo sepanjang jalan protokol. Rasa tak puas mewarnai mereka yang berdemo dan terus menerus mengkritik pemerintah.

Saat itu kau bertanya: kenapa rakyat mengkritik pemerintah tak henti ? Pagi , siang, sore , malam. Sambung menyambung. Kenapa seakan tidak memberi waktu pemerintah untuk bekerja memperbaiki keadaan ? Jika bekerja sebentar, lantas tak henti dikritik kan pemerintah kalian tak sempat memperbaikinya ? ujarmu, saat membaca kritik yang terdengar gaduh di media.

Dirimu bercerita bahwa di Eropa memang banyak kritik terhadap pemerintah, tetapi mereka menjaga momentum. Tidak setiap hari, kecuali hal yang sangat genting. Saat itu aku menjawab bahwa, kami baru lepas dari kekuasaan Orde Baru yang sangat represif sehingga saat reformasi dibuka, semua opini dan uneg-uneg terlontar dengan bebas. Waktu itu aku yakin bahwa keadaan itu akan mereda dengan sendirinya.

Ternyata aku salah Fetta. Makin tahun, kritikan itu makin deras  dan mencapai puncaknya ketika menjelang Pilpres. Teknologi juga mendukung. Tak hanya kritik yang dilontarkan tapi juga ujaran-ujaran kebencian. Juga hoax.  Lontaran itu berlangsung secara massif, nyaris disepanjang waktu. Sejak pagi hingga pagi lagi. Nyaris tanpa jeda sedetikpun. Sosial media membuatnya makin parah.

Padahal para pahlawan membangun bangsa ini dengan dasar perbedaan. Diikat dengan cinta pada sesama, seperti yang diajar oleh semua agama.  Kami seharusnya membangun bangsa ini dengan cinta agar lebih kuat dan teguh.

Jika kau melihat kami dari kejauhan. Melalui berita atau yang lainnya. Doakan bangsa kami ya. Supaya tetap bersatu, tetap rukun, dan saling cinta. Juga menghormati satu sama lain. Sama ketika para leluhur kami bercita-cita soal masa depan bangsa ini. Jika kau berkunjung ke Indonesia lagi, kuharap situasi ini sudah berubah. 

Sekian suratku. Terima kasih atas waktumu membacanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun