Mohon tunggu...
Rita Kum
Rita Kum Mohon Tunggu... Pramusaji - Pramusaji

Perempuang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Persekutuan yang Tidak Suci

1 Agustus 2018   03:42 Diperbarui: 1 Agustus 2018   07:41 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo dan SBY nikmati kopi. ©2018 Istimewa (merdeka.com)

Kisah seputar perjalanan panjang Partai Demokrat dalam  mewarnai jagat politik 2018, diungkap detil oleh SBY. Soal langkahnya  menuju koalisi, yang akhirnya menemui hambatan, hingga PDKT-nya ke  koalisi 'seberang'.

 Satu catatan yang kemudian layak dipertimbangkan  adalah alasan SBY menghelat semua langkah tersebut. Yakni, demi meraih  tiket dalam kontestasi demokrasi di 2024.

Sebagaimana Undang-undang  nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal 235 ayat 5  menyebutkan, "dalam hal partai politik atau Gabungan Partai Politik yang  memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon tidak mengajukan bakal  Pasangan Calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak  mengikuti pemilu berikutnya".

Coba kita renungkan sejenak.  Bertolak dari alasan itu, apakah koalisi baru, sejauh ini  Demokrat-Gerindra---yang digaungkan dalam pertemuan lanjutan SBY-Prabowo,  Senin (30/7/2018)---murni didasari oleh satu niatan yang sama antara kedua  belah pihak?  Walaupun memang sempat disampaikan pula sebelumnya, persoalan  yang tengah melilit bangsa ini menjadi concern kedua pihak untuk  mengambil peran dalam proses politik, dalam hal ini merebut kekuasaan  secara demokratis.

Secara sederhana, kendati mengungkap kesamaan  visi, nyatanya ada perbedaan kepentingan yang terlihat mendasar dari aksi bersama kedua tokoh politik papan atas tersebut. SBY  menyiratkan adanya kegundahannya lantaran gagal masuk dalam koalisi.  Karena itulah, pilihannya berikutnya adalah menciptakan koalisi baru  dengan Gerindra.

Dalam menetapkan pilihan berikutnya itulah, SBY  mengambil posisi bijaksana. Tidak menyorongkan putra mahkota, Agus  Harimukti Yudhoyono (AHY) sebagai calon wakil presiden. Padahal,  hasil pengukuran sejumlah lembaga survei menunjukkan AHY memiliki  tingkat elaktabilitas yang cukup tinggi jika didudukkan sebagai  cawapres.

AHY juga dianggap mampu mengaet generasi milenial, yang  jumlah suaranya diprediksi mencapai sekitar 30 persen dari jumlah total  jumlah DPT sementara untuk 2019 sebanyak 186 juta. 

Mengapa  kebijaksanaan serupa itu yang dipilih SBY? Boleh jadi, karena bukan itu  poinnya bagi sang pemilik partai berlambang mercy.

SBY agaknya lebih memandang sangat jauh ke depan. Melampaui satu putaran pesta demokrasi akbar yang akan digelar di 2019.

Itu pulalah sebabnya, SBY tidak ragu memberikan dukungan kepada  Prabowo, kendati jagoannya itu terbukti keok di dua kali kontestasi  serupa, pada 2009 dan 2014.

Sedangkan bagi Prabowo, momentum kali  ini agaknya disadari betul akan jauh lebih berat dari yang pernah dilaluinya. Karenanya, sempat ada kesan maju mundur untuk  ikut meramaikan pemilihan umum 2019.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun