Mohon tunggu...
Rita Audriyanti
Rita Audriyanti Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumah tangga

Semoga tidak ada kata terlambat untuk menulis karena dengan menulis meninggalkan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Jadi Puasa Bulan Ramadan Itu Apa Sih?

26 Juli 2015   08:52 Diperbarui: 26 Juli 2015   08:52 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah 11 hari usai Lebaran. Suasana silaturahim dalam wujud Halal Bi Halal (HBH) sedang berlangsung di mana-mana. Suasana yang diikuti dengan tampilan pakaian bagus, dandanan tercantik, makanan terenak dan berlimpah. Sebelumnya, ketika berada di bulan suci ramadan, "pesta" silaturahim serupa juga menggeliat di malam-malam bulan puasa. Namanya Buka Bersama (Bukber). Misinya juga sama, silaturahim. Silaturahim adalah kata paling ampuh untuk menunjukkan keperdulian kepada (terutama) sesama kawan. Dan wujudnya lagi-lagi (harus) dalam bentuk pertemuan alias kopi darat. Sementara, peran gadget dan sosmed tidak kalah penting dan serunya sebagai alat komunikasi dan, sekali lagi, alat dan ajang silaturahim. Setiap hari. Setiap saat. Bunyi tang tung tang tung dari hape, terus menyibukkan pemiliknya. Ada pesan pribadi, ada dialog grup. Tapi ternyata itu belum cukup! Harus jumpa lagi di suatu waktu dan tempat tertentu. Baru afdol.

Ibadah vs Silaturahim

Sepertinya terjadi "benturan" yang semakin heboh dari tahun ke tahun selama mengisi bulan suci ramadan. Kata guru agama saya, bulan ramadan itu merupakan satu bulan dari 12 bulan, dimana pada bulan tersebut dikhususkan kepada orang yang beriman untuk menjalankan puasa sebulan penuh. Mempergiat amalan ibadah lainnya, seperti solat taraweh, tadarus, solat malam, bersedekah, memberi makan orang yang berpuasa, umroh jika memungkinkan, menjaga hati, perasaan, pikiran dan perbuatan dari hal-hal yang membatalkan atau merusak puasa. Pada sepuluh hari terakhir ibadah semakin ketat karena ditambah dengan i'tikaf di masjid, bahkan diminta melibatkan anggota keluarga dan diakhiri dengan mengeluarkan zakat fitrah sebelum Hari Raya Iedul Fitri tiba.

Pada kenyataannya, melakoni hal-hal yang guru agama saya ajarkan tersebut, buat saya pribadi, belum pernah sempurna tercapai. Niat selalu ada disertai usaha yang sering kalah (mengalah) dengan keadaan. Sebagai seorang istri dan ibu, untuk hal-hal yang sangat teknis agar ibadah puasa di siang hari tidak terganggu, jauh hari sebelum ramadan datang, saya sudah ke pasar membeli pakaian baru untuk keluarga sendiri dan handai tolan. Kue hari raya, sudah lama saya tidak menyiapkan. Sebagai muslim yang tidak tinggal di negeri sendiri, pulang kampung a.k.a mudik selalu kami lakukan. Jadi tidak perlu berpayah-payah menyiapkan hidangan lebaran.

Lalu kemudian kami mudik seminggu-dua minggu sebelum Hari Raya, "tradisi" kehebohan mengisi bulan ramadhan tak terelakkan juga. Terpaksalah, ya terpaksa, hadir dalam silaturahim Bukber dengan risiko kehilangan momentum yang lebih khusu' dan tidak tergopoh-gopoh dengan basa basi kanan kiri kalau berbuka di rumah sendiri. Pulang ke rumah dengan mata mudah mengantuk dan perut kekenyangan. Risiko lanjutannya, menunda solat taraweh ke tengah malam. Itupun kalau bisa terbangun. Dan ironisnya, ini terjadi pada waktu istimewa, yakni pada sepuluh malam terakhir. Suara "keras" dari pengeras suara di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kami, masih belum mampu "melunakkan" hati yang sudah "keras" oleh kesibukan yang melalaikan. Sekelebat timbul rasa penyesalan. Ramadan macam apa ini, tidak ada bedanya dari ramadan-ramadan sebelumnya.

Jadi teringat tulisan seorang teman. Dia takjub dengan perintah puasa orang muslim tapi sangat heran dengan orang yang berpuasa, seakan hanya memindahkan jam makan lalu makan minum dengan tidak biasa (luar biasa), yang berbeda dengan makan minum sehari-hari. Bukankah selayaknya ketika berpuasa konsumsi akan berkurang, semakin sederhana, hasilnya setidaknya semakin menyehatkan fisik, jasmani serta rohani bahkan jiwa spiritual. Semakin menyembuhkan dan meringankan tubuh. Saya sependapat dengan pendapatnya. Karena kenyataannya, orang yang berpuasa tapi tidak berpuasa secara proporsional, selepas Hari Raya, maka timbullah komplen tentang berbagai ketidak nyamanan. Sakit perut, berat badan bertambah. Kolesterol naik. Asam urat meningkat. Lalu untuk apa berpuasa? Sekedar menggugurkan kewajiban? Belum lagi soal ibadah. Boleh jadi, kondisi fisik yang tidak sehat tersebut membuat kita menjadi malas beribadah. 

Puasa 6 hari di bulan syawal pun harus "bertempur" melawan HBH. Kembali jalan damai ditempuh dengan alasan untung bulan syawal itu sebulan, jadi tidak harus berpuasa sunat syawal di awal waktu. Maka, kembali, jasad ini ditimbun dengan aneka pilihan kuliner yang menggoda selera. Sibuk menentukan dress code pakain yang cantik untuk difoto nanti. Jiwa kembali melemah dan ragu-ragu.

Rasanya semakin sulit untuk ikut merasakan bagaimana rasanya lapar, kekurangan, kurang tidur, dan kelemahan yang diderita orang lain. Ibadah ramadan kita belum terasa sebagai amalan terakhir sepanjang usia kita. 

Jadi, .... ???

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun