Mohon tunggu...
Rita Audriyanti
Rita Audriyanti Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumah tangga

Semoga tidak ada kata terlambat untuk menulis karena dengan menulis meninggalkan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

ODHA Juga Manusia

29 November 2013   10:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, awalnya saya termasuk yang salah memahami tentang mereka yang menderita karena virus HIV/AIDS. Pandangan negatif tentunya lebih ke depan daripada mencoba memahami apa sebenarnya HIV/AIDS itu dan bagaimana orang bisa terkena olehnya. Padahal saya sendiri belum pernah bertemu atau berhadapan dengan Orang Dengan Hiv/Aids (ODHA). Hingga suatu hari saya tercerahkan.

Pertengahan tahun lalu, 2012, saya mengunjungi anak perempuan saya yang sedang menjalani masa internship-nya sebagai dokter di Singkawang, Kalimantan Barat. Kebetulan rumah tempat dia dan sebagain teman-temannya tinggal, persis di sebelah Rumah Sakit Abdul Aziz. Sementara saya, suami dan anak bungsu kami menginap di hotel yang tidak jauh dari RS tersebut. Macam-macam cerita yang saya dengar mengenai penyakit yang diderita para pasien RS Abdul Aziz. Namun diantara yang menarik perhatian saya adalah bahwa banyak diantara pasien disana yang menginap penyakit akibat virus HIV/AIDS. Mereka pada umumnya mendapatkan virus berbahaya tersebut dari pekerjaannya sebagai PSK dan pemakai Narkoba atau tertular dari pasangannya.

Suatu siang menjelang sore, kami diajak keliling Kota Singkawang, hingga masuk ke Pasar Singkawang yang masih terkesan sebagai pasar tradisional. Beberapa kali anak saya disapa oleh perempuan muda, ibu-ibu, abang-abang atau bapak-bapak yang ternyata mereka adalah para pasien anak saya. Dua diantaranya adalah ODHA. Seorang diantaranya bekerja sebagai Juru Parkir. Dengan ramah Abang Juru Parkir ini memberi salam kepada anak saya, "Selamat siang, Dokter. Mau parkir, ya?" katanya sambil sedikit menundukkan kepala, lalu membunyikan pluitnya memberi aba-aba untuk parkir.

Anak saya bercerita bahwa Si Abang ini sudah lama sebagai penyandang ODHA karena Narkoba. Dia rajin berobat ke RS. Pulang dari RS langsung bekerja sebagai orang normal di pasar ini. Tapi pernah juga dia lama absen berobat karena alasan tergoda lagi barang haram tersebut. Beruntung kesadarannya bangkit lagi karena penyuluhan dari pihak terkait dan dorongan kawan-kawannya juga sehingga kembali rajin berobat ke RS. Dan kondisinya semakin membaik. Si Abang semakin percaya diri karena diterima sebagai manusia pada umumnya di tengah-tengah masyarakat dengan pekerjaan sebagai juru parkir di siang hari dan berdagang kecil-kecilan dengan isterinya malam hari.

Singkat cerita, walau ini hanya seorang ODHA yang saya temui, namun saya melihat bahwa kesungguhan berobat dan merubah perilaku dengan motivasi dan kemauan dari diri penderita ODHA sendiri, dan penerimaan yang baik oleh masayarakat dimana ODHA berada, itu sangat penting. Mereka layak berlaku dan diperlakukan sebagai manusia pada umumnya. Saya juga memahami bagaimana kuatir dan takutnya masyarakat saat berhubungan dengan ODHA.

Boleh jadi penyebab mereka menjadi ODHA adalah karena suatu kesalahan, kecerobohan atau kecelakaan yang tidak disengaja. Namun disaat mereka menyadari kondisinya "tidak normal dan tidak sehat"  lalu mencoba berada di tengah masayarakat yang 'normal dan sehat', maka sepantasnya mereka tetap diperlakukan sama dan adil sesuai dengan kondisinya. Artinya, ketika ODHA ini berbuat salah, melanggar hukum, misalnya, ia tetap harus menerima konsekuensi hukum atas kelakuannya, dihukum bukan karena mereka ODHA. Begitu juga sebaliknya, terimalah mereka bekerja dan beraktifitas sesuai dengan kondisinya yang tidak memperparah kesehatannya dan membahayakan oranglain. Jangan ada kebencian karena diskriminasi.

ODHA bukan sampah masyarakat. Mereka adalah korban yang perlu bantuan lahir batin, fisik dan mental. Namun penyebab mereka menjadi ODHA itulah sampah sesungguhnya yakni Narkoba, Prostitusi, Free Sex dan gaya hidup yang ceroboh lainnya. Berbagai alasan dan penyebab yang mendorong dan menarik mereka berani menggunakan 'sampah' tersebut, disitulah pokok persoalan yang perlu pemecahan sungguh-sungguh. Ini kita bicara pada pasal yang lain.

Semoga kita yang sehat mampu menjaga diri lebih baik lagi dan berempati dengan ODHA. Dalam lingkup yang paling utama, dekat dan mudah dilakukan adalah peran orangtua untuk memberi informasi dan edukasi kepada anggota keluarga apa itu ODHA, penyebabnya, bahaya dan penanggulangannya. Lalu sebisa mungkin aktif menolong ODHA atau diam dan mendoakan, itu lebih baik daripada mencerca. Wallahua'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun