Mohon tunggu...
A Rita
A Rita Mohon Tunggu... -

Seorang sekretaris yang nggak seksi,\r\ningin nampang dan terkenal tapi minder,\r\ningin tenar tapi nggak lovable enough,\r\nseorang pemimpi sejati yang terus mencari jalan untuk meraih mimpinya,\r\n\r\ndan seorang Putri yang menginginkan cinta sejati,\r\n\r\nsekaligus spesialis cerita sedih dan mellow\r\n\r\nread my stories in\r\nkaryacinta-rita.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dead Man Walking 8

27 Oktober 2014   18:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:33 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[caption id="" align="aligncenter" width="218" caption="http://3.bp.blogspot.com"][/caption] Bayangan di Cermin

Pikiranku mulai menerawang. Semua hal tidak sesulit ini di depan Diza yang selalu tertawa padaku. Aku sudah mengatakan apa yang tidak ingin kukatakan padanya. Aku yakin dia sangat membenciku.

Tapi, di saat tidak ada yang bisa kukerjakan, aku berjalan tanpa tujuan dan tidak sadar kakiku mengikuti langkahnya. Aku menjadi seorang penguntit gila yang tidak bisa tidak melihatnya walaupun sehari. Aku ingin semuanya kembali seperti semula. Bisa mendengar suara tawanya dan memeluknya sampai tidak ingin melepaskannya. Tapi, semua itu sudah mustahil. Aku tidak pernah punya keberanian untuk muncul di hadapannya, merentangkan kedua tanganku dan menerima pelukannya. Begitu kutemukan, dia membuat perubahan besar-besaran pada dirinya, aku sedikit menyesal. Dengan penampilan yang jauh berbeda, model rambut dan riasan di wajah yang benar-benar sangat diperhatikan, ia akan membuatku tidak tenang oleh rasa cemburu. Seseorang yang lain akan memiliki dirinya sebelum aku. --- “Perempuan itu datang lagi ke sini mencari kamu! Apa kamu nggak bisa melakukan sesuatu supaya dia nggak ke sini lagi, Alan?!”, suara Mami menyambarku sewaktu aku masuk rumah jam sembilan malam dengan langkah mengendap-endap. Bila mana berhadapan dengan kemarahannya, mulutku selalu terkunci. “Kamu pikir keluarga ini nggak punya malu?! Setiap dia datang, selalu ada keributan di sini! Dan sejak saat itu, semua orang membicarakan kita!”, katanya lagi setengah berteriak. Ketiga adikku keluar dari kamar mereka dan mulai cemas, melihatku. “Harusnya kamu sudah pergi dari sini juga perempuan dan…anak itu, Lan…”, katanya, menahan amarah yang terlihat di matanya. “Kembali ke asal kamu! Supaya rumah ini bisa tenang!” Aku tidak bisa mengatakan apapun. Karena sudah lama Mami tidak menatapku seperti saat sebelum aku meninggalkan kota ini untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Seolah jika waktu bisa diputar lagi, dia lebih ingin aku tetap di sini, menjalani hidup yang sulit daripada melihat diriku yang sekarang. “Aku nggak pernah menginginkan seseorang sampai seperti ini”, aku setengahmemohon pada ibuku, “Aku nggak pernah bermain-main…” “Tapi, ada beberapa hal yang nggak bisa kamu paksakan…”, katanya, masih menangis, “Tolong hentikan semuanya, Alan…” Aku menggeleng, “Aku nggak bisa…” Ibuku terdiam, memandangku dengan mata yang tampak memohon. Bukannya aku tidak ingin membuang egoku, tapi aku merasa sangat tersiksa. Terpikir olehku untuk membalikan keadaan. Tapi, malam itu, Ivanna menerima telepon dari Melani yang mengabari bahwa ayahnya meninggal dunia di rumah sakit. Aku tidak menghadiri pemakamannya karena aku tahu Gadiza juga akan ada di sana. Aku sudah memutuskan untuk mengalah di mana artinya aku harus mengorbankan salah satu keinginan terbesarku untuk bisa bersamanya. Dengan melihatnya lagi, hanya akan membuatku berpikir sebaliknya dan akhirnya menyakiti lebih banyak orang. Maka keputusan awal yang kuanggap keliru kulakukan juga. Demi darah dagingku. --- Aku menjadi orang yang baru. Beberapa data pribadiku dalam arsip kenegaraan berubah. Seperti alamat, status dan agama. Aku memulai semuanya dari awal lagi. Seperti mencari pekerjaan baru yang ternyata memakan waktu lebih lama dari yang aku perkirakan. Aku duduk di depan komputer sambil berpikir. Karena bosan, aku pergi mengambil minuman dan begitu aku kembali aku terperanjat. Raka sudah duduk di tempatku dan menumpahkan susu di atas laptop. Aku berlari dengan cepat, berusaha untuk tetap tenang dengan mengangkat laptopku. Cairan putih itu menetes deras dari sela keyboard ke lantai. Aku mendecak kesal. “Nia!!”, panggilku namun tidak ada jawaban, aku memanggilnya lebih keras, “Nia?!” Sania buru-buru keluar dari dapur dan terlihat gusar padaku, “Kenapa kamu teriak-teriak sih?! Kamu pikir aku nggak punya telinga?!” Aku sedikit emosi karena nada suaranya, aku mengangkat Raka yang langsung meronta dengan kesal. Aku menyerahkannya ke dalam gendongan ibunya supaya tidak mengacaukan apapun lagi. “Dia cuma anak-anak, Lan!”, Sania kembali berteriak. Aku tidak menjawabnya, berusaha untuk kembali tenang. Emosiku sering naik turun belakangan karena berbagai persoalan yang tidak bisa kuhadapi sendiri. Lebih dari itu, aku menemukan bahwa rumah ini seperti penjara. Aku tahu Sania menikmati kemarahanku. Setiap aku berteriak di depan Raka, ia seolah mengumpulkan kebencian anak itu untuk menghukumku. Raka tidak mengenalku sebagai ayah, tapi orang asing yang sering menyiksa ibunya. Dan hal yang menyakitkan bagiku, adalah anak itu tidak pernah memanggilku ‘ayah’. Sania tidak pernah mengajarinya. Aku memilih meninggalkan rumah untuk menenangkan pikiran. Aku tidak merasa seperti pria yang menikah dan seorang ayah. Aku hanya orang asing yang berada di atap yang sama dengan mereka. Aku bisa saja pergi, karena kenyataannya semua yang telah kulakukan untuk menunjukan bahwa aku peduli sudah tidak berarti. Aku lebih melihat usaha Sania untuk membalaskan sakit hatinya. Lalu handphone-ku berbunyi. Melani. --- Melani berwajah cemberut ketika aku masuk ke mobilnya dan ia tidak menatapku sama sekali. “Aku datang ke sini bukan karena kesal kamu nggak datang ke pemakaman Papa”, dia berkata dengan nada datar. Wajahnya masih kelihatan murung. “Maaf…”, ucapku. “Aku mengerti kamu mengurus banyak hal”, dia berkata lagi, tapi entah apa yang membuat dia ingin menemuiku. Dia menatap lurus ke depan seolah ada sesuatu yang dia temukan di sana, daripada menatapku dan menjelaskan dengan sikap yang lebih ramah. Tapi, dia kesal padaku karena sesuatu yang lain. “Beberapa jam yang lalu, Gadiza duduk di situ”, kata dia melirikku sebentar dengan sinis, “Menangis soal kejadian di rumah duka saat dia pikir kamu datang ke sana dan dia berharap bisa ketemu kamu. Dia berlari keluar dan ditabrak Achen sampai jatuh, semua orang jadi melihatnya…dia merasa jadi sangat bodoh…” Aku terdiam. “Aku nggak tahan walaupun juga bukan urusanku”, cetus dia melirikku lagi, sebelum kembali menatap ke depan dengan gusar, “Aku pikir dia baik-baik aja setelah ikut aku, dia bisa lebih tenang. Tapi, hari itu dia menunjukan kalau dia sama sekali belum bisa lepas…aku jadi kasihan” “Kamu bilang sesuatu?” “Nggak banyak…”, jawab dia. “Kamu bilang aku menikah?”, desakku. “Maaf, Lan, tapi aku harus bilang”, kata dia, terlihat cukup menyesal. “Kalau nggak dia nggak akan pernah berhenti mencari kamu” Dadaku seperti ditusuk berkali-kali. Rasa sakitku mengembalikan rasa takut dan penyesalan yang nyaris kutinggalkan setelah aku merengkuh Sania dan Raka. “Temui dia, Lan”, kata Melani, “Jelaskan semuanya agar dia mengerti. Menyembunyikannya hanya membuat dia tetap berharap kamu kembali” --- Setahun telah berlalu sejak pertemuan pertama dengannya. Tanpa terasa banyak hal yang terjadi dan tidak bisa dilupakan. Aku juga, terkadang dalam mimpi seakan semuanya kembali, seperti potret selembar foto yang paling indah dan begitu aku terjaga, foto itu robek menjadi potongan kecil dan menghilang seperti abu. Dia selalu ingin tahu apakah aku memikirkannya. Jika aku bisa menunjukan bahwa, sejak hari aku harus mengatakan hal yang kejam padanya, hari itulah aku semakin banyak memikirkan dirinya. Panas terik dari matahari yang membakar kulit tidak meruntuhkan keteguhan hati seorang Gadiza yang keras kepala. Gadiza yang selalu berpikir keras akan sesuatu. Tanpa sadar terkadang ia cukup bodoh dengan menunggu saja daripada mengetuk pintu rumahku. Ya, dia sudah tahu bahwa aku punya sebuah status yang membuatnya lebih berhati-hati. Makanya dia memutuskan berdiri di sana, mengawasi sekitar lingkungan rumah keluargaku, berharap aku akan muncul karena aku pasti akan pulang ke sana. Dia telah melakukan banyak hal untukku, tapi aku nyaris tidak pernah melihatnya. Aku baru turun dari mobil Fayra ketika melihatnya menyebrang jalan. Aku pikir dia menyerah karena aku terlalu terlambat. Tapi, aku menyaksikannya masuk ke sebuah mini market. Aku mempercepat langkahku untuk mengejarnya. Sudah lama, aku tidak melihatnya, hingga rasanya ingin memeluk. Tapi, itu hanya ada di kepalaku. Karena begitu dia akhirnya melihatku, aku harus memberi akhir untuk penantiannya, agar itu tidak menjadi sia-sia baginya. ooOoo Previous ChapterNext Chapter

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun