Mohon tunggu...
A Rita
A Rita Mohon Tunggu... -

Seorang sekretaris yang nggak seksi,\r\ningin nampang dan terkenal tapi minder,\r\ningin tenar tapi nggak lovable enough,\r\nseorang pemimpi sejati yang terus mencari jalan untuk meraih mimpinya,\r\n\r\ndan seorang Putri yang menginginkan cinta sejati,\r\n\r\nsekaligus spesialis cerita sedih dan mellow\r\n\r\nread my stories in\r\nkaryacinta-rita.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] Arash & Ghazia Ch 2

17 Januari 2015   00:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ghazia

Badgirl VS Goodboy Jakarta, Agustus 2006… Monalisa beraksi lagi, seakan-akan sekolah ini pentas kesenian yang biasa dia ikuti tiap tahun. Satu kata untuk drama queen itu… “Norak!”, aku berteriak sambil berdiri dari tempatku dan membuat pengeras suara dengan kedua tangan sehingga semua orang bisa lihat dan dengar kalau dia itu sama sekali nggak bisa membuat orang lain –yang normal, terkesan. Dari rautnya yang kaget melihatku berdiri dari sekian belas kepala di aula ini, dia jelas kelihatan kesal. Mencak-mencak dengan mulut komat-kamit, sementara beberapa orang anak cowok reseh tertawa geli melihatnya, “Ghazia…”, dia menyebutkan namaku dengan gigi gemeretak sebelum guru kesenian, Bu Mita, ikut-ikutan berdiri menengok ke belakang dengan marah –ke arahku. “Kalau kamu nggak suka, kamu boleh keluar, Ghazia”, katanya dan sekarang, tawa geli itu ditujukan kepadaku. Siapa peduli, kataku sambil duduk lagi dengan sikap masa bodoh dan terpaksa melihat akting pas-pasan Monalisa yang nggak cocok memerankan Coppelia. Menurutku dia terpilih karena punya tampang cantik ditambah tubuh tinggi semampai, kulit putih dan rambut panjang yang dicat pirang. Yah, dia mirip boneka barbie kalau didandani sedangkan kemampuan aktingnya bisa disesuaikan nanti. Padahal banyak orang yang mungkin lebih bisa menjiwai seni peran ketimbang Monalisa. Misalnya Diana –anak kelas satu yang baru bergabung dengan klub kesenian. Dia selalu duduk di barisan belakang dan nggak ada yang tahu kalau dia seorang penari berbakat dan menguasai panggung setiap kita selesai latihan –tapi sayang, nggak pernah ada yang melihatnya menari dan sadar bahwa dia sangat potensial. Benar-benar nggak adil untuk orang yang tampangnya pas-pasan. Tapi, buat aku hidup itu masih tetap menyenangkan selama punya orang-orang yang menyayangi kita. “Gue suka gaya lo”, Andin menunjuk ke arahku begitu dia melihat aku sedang berjalan ke arahnya. Latihan drama yang ngebosenin itu selesai dan aku merasa sangat lelah. “Gaya apaan?”, tanyaku, bete sambil duduk dan merampas mangkok baksonya Genta yang lagi makan dengan lahap, “Emang gue ngapain?” “Lo neriakin Mona norak”, jelasnya lalu ketawa, “Lo bener-bener sinting” Aku cuma nyengir, lalu menusuk bakso Genta dan memakannya. Itu cuma reaksi spontan. Karena menurutku, aku orang yang ekspresif kalau nggak mau disebut tomboy. “Itu punya gue!”, teriak Genta kembali ngerampas mangkok baksonya yang udah kosong sekarang, lalu mendengus, “Yah…” “Udah, cabut yuk!”, ajakku sambil menyeret Andin. “Oi, tungguin!”, seru Genta yang nyaris ketinggalan, dia menyusul dengan cepat. Kami ninggalin sekolah lebih awal dari biasanya. Soalnya nggak ada les tambahan karena tahun ajaran baru, baru aja dimulai. Di tahun kedua SMA ini aku nggak punya banyak rencana ke depan. Beda dari yang lain, aku nggak pernah mikirin yang namanya belajar, ujian dan; yang ada di pikiran aku hanya main. Itu yang aku sebut dengan nikmatin masa muda. Bersama Andin dan Genta –teman dari SMP, aku pergi ke mana pun yang kita suka dan ngelakuin apa aja yang kita inginkan. Selama itu nggak mengusik orang lain. Oh ya, aku Ghazia. Hanya Ghazia, dan teman-temanku aku lebih suka manggil Zizi (mirip nama peliharaan ya?). Kurang dari tiga bulan lagi aku tujuh belas tahun. Kata orang-orang, usia tujuh belas tahun itu akan membuka sebuah gerbang menuju kedewasaan –percaya nggak percaya. Tapi, itu kan cuma kata orang. Toh, kalau dibanding teman-teman yang lain, aku merasa lebih dewasa. Soalnya di usia yang masih seumur jagung ini, aku udah ngerasain gimana kerasnya kehidupan di luar gerbang sekolah di mana setiap anak dididik agar nggak menjadi sampah masyarakat. Sejak kecil, aku yatim piatu. Aku nggak ingat lagi rasanya punya keluarga yang utuh. Yang aku ingat cuma saat-saat gimana aku kehilangan mereka satu persatu. Ayah meninggal karena kecelakaan dan ibu menyusul nggak lama setelah itu karena serangan jantung. “Kenapa sih lo kesel banget sama Monalisa?”, tanya Genta, saat aku sedang melamun, memikirkan sesuatu, “Lo nyadar nggak sih, kalau lo terus-terusan gangguin dia, dia bakal mengira lo tuh iri” “Iri?”, aku hampir tertawa, memang apa dari Monalisa yang bisa bikin aku iri selain dari karena dia memang lebih cantik dari aku? Genta menghela nafas, “Waktu audisi lo kan pengen banget dapat peran Coppelia”, jelas dia, “Tapi, Bu Mita lebih memilih Monalisa karena dia sesuai dengan penggambaran tentang Coppelia” “Itu sih guenya aja yang lagi apes”, komentarku, “Gue memang suka di seni peran, tapi mungkin tempat gue bukan di sini, tempat yang lebih besaaaar lagi.”, aku pun tersenyum, “Broadway mungkin…” Tiba-tiba kepalaku ditoel Andin yang duduk di belakang, “Plis deh!”, teriaknya, melengking di telinga dan membuat aku terkejut, “Lo tuh harus fokus kalau lo bener-bener mau jadi aktris” Aku nyengir lagi, “Udahlah”, kataku santai, “Nggak usah dipikirin gue dapat perannya atau nggak. Walaupun jadi figuran juga nggak apa-apa, sesuatu itu harus dimulai dari yang kecil. Ya nggak sih?” “Salut deh sama orang yang punya banyak bakat kayak lo…”, kata Andin, dengan ekspresi sangsi, dan itu sepertinya bukan pujian, “Saking banyaknya bakat, orientasi lo jadi nggak jelas. Harusnya lo tuh protes sama Bu Mita waktu audisi! Semua setuju kok kalau lo cocok jadi Coppelia! ” Aku tertawa. Sungguh, aku benar-benar nggak terlalu peduli lagi sama peran yang aku inginkan setengah mati itu. Aku sempat berpikir, kalau ujung-ujungnya yang dipilih itu tetap Monalisa kenapa harus ada audisi segala? Latihan sesi dua dimulai agak sore, karena pemeran utama –Monalisa sebagai Coppelia dan Harris –anak kelas tiga, sebagai Coppelius baru datang seenak udel mereka. Seperti biasa pemeran pembantu dapat jatah duduk lebih lama menonton pemeran utama berakting dan aku menguap. Semalam, aku nggak tidur cukup karena menyelesaikan lukisan yang sudah aku tinggal selama hampir sebulan lantaran sibuk kerja sambilan di toko CD. Hari-hariku padat. Penuh dengan hobi dan kerja. Hidup itu harus seimbang antara mimpi dan realita, meskipun ternyata aku lebih sering mengkhayal daripada kerja. Hanya itu yang membuat aku nggak pernah menyerah. Mimpi jadi seniman terkenal, entah itu berakting, menyanyi, melukis, atau pengusaha kerajinan, atau mungkin penulis! Melihat Monalisa dengan pede-nya memerankan Coppelia, seketika membuat nyaliku ciut. Kalau ingin jadi artis, harus punya tampang yang bisa menjual. Aku ini cuma gadis biasa yang punya satu kelebihan –over-pede, yang diplesetin Monalisa jadi ‘nggak tahu malu’. Aku menghela nafas, dan nggak benar-benar memperhatikan latihannya. Setelah latihan selesai aku langsung ke Jukebox –toko CD tempat aku kerja selama hampir setahun belakangan. Terus pulang, kalau nggak capek-capek amat aku melukis atau mengerjakan PR kalau nggak lupa tapi kalau badan sepertinya mau meledak, aku langsung tidur. Pagi-pagi, aku berangkat ke sekolah, belajar sampai jam dua siang dan ikut latihan drama walaupun aku lebih banyak duduk –di sela-sela itu, aku sempat menulis beberapa puisi. What a wonderful life… Semua terasa sempurna kalau Andin dan Genta meramaikan hidupku dengan mengajak nongkrong saat lagi off kerja. Biasanya kami duduk di depan rumah, menyaksikan kereta api lewat dan merasakan getarannya. Kadang kami melompat-lompat di sepanjang rel dan begitu suara klaksonnya terdengar kami langsung berlari kocar-kacir. Tapi, siklus harian dalam masa SMA-ku yang berharga yang paling nggak aku sukai adalah latihan drama itu. Setiap setelah kelas selesai, semua pemain harus mengepel tempat latihan dan merapikan semua properti yang kami gunakan. Aku selalu menyelesaikan dengan cepat supaya nggak terlambat kerja sambilan, tapi setiap Monalisa menghampiri, aku pasti kena sial. “Hai, princess…”, itu sapaan… bukan ejekan untukku khusus darinya dan biasanya dia selalu menyeringai melihatku mengepel. Dan selama ini dia nggak pernah melakukannya. “Hai, Coppelia”, balasku, dengan senyum lebar, seolah aku nggak tersinggung sama panggilan itu. Dia terkesiap saat aku berdiri bertolak pinggang, siap dengan segala hal mengesalkan yang selalu dia katakan untuk menggangguku. Musuh yang benar-benar seimbang. “Ada yang bisa gue bantu?”, tanyaku, menatapnya serius dan lagi-lagi tatapannya berubah bengis. Aku nggak sadar kalau tangannya sedang menggenggam sebuah botol mineral yang isinya kemudian ia tumpahkan di lantai yang baru selesai dipel. “Beresin tuh”, kata dia, seenaknya pergi dengan senyum mengejek. Sialan…, dia membuatku benar-benar naik darah. Dia pikir aku mau?, pikirku sambil melemparkan sapu pel itu tepat di belakangnya. “Beresin aja sendiri”, kataku sambil berbalik pergi dan ngedumel dalam hati, gue nggak sebegok itu juga! Lagian dia pikir gue takut? Aku sama sekali nggak tahu kalau tangkai pel itu mengenai punggung indahnya –yah, kalaupun kena aku kan nggak sengaja. “Ghazia!”, dia tiba-tiba menjerit dengan wajah memerah yang benar-benar marah, barusan ia meringis karena sakit dan aku masih berusaha untuk tenang karena sepertinya dia bakal menjerit supaya semua tahu bahwa aku melukai tubuhnya. Melukai?, aku mulai khawatir kalau Bu Mita lihat, bisa-bisa aku dikeluarkan dari klub kesenian. Monalisa kan Drama Queen... Tapi yang datang itu malah pasangan mainnya Coppelius, alias Harris –kakak kelas yang good looking, “Apa sih ribut-ribut?”, dia sama gerahnya dengan aku ketika mendengar Coppelia menjerit. Dan yang pasti, aku adalah pusat dari amarah yang terjadi siang ini, “Kamu ngapain lagi sih?!” Dua pemeran utama menyalahkan aku dan aku cuma menarik nafas lelah. Aku nggak peduli. “Kamu tuh nggak senang ya kalau nggak bikin masalah?!”, dia juga ikut-ikutan teriak. Lengkap sudah. Kalau semua orang pikir aku bakal diam saat ‘dikeroyok’, itu salah. “Siapa yang bikin masalah?”, balasku lalu menunjuk genangan air di lantai dan botol mineral yang masih dipegang Monalisa, “Dia numpahin air sembarangan. Nggak mungkin dong aku yang disuruh ngepel” Harris hanya mengernyit, kurasa dia sadar kalau yang cari masalah itu bukan aku tapi sang Coppelia. Sedangkan Monalisa pura-pura cuek seolah genangan air itu nggak berasal dari botol mineral dalam genggamannya. “Duh!”, keluh dia, “Gue tuh nggak ngerti ya kenapa kalian tuh ribut terus! Kalau gini gue nggak betah, tau?!” Apa urusannya sama gue?, aku ngedumel lagi, sambil memandangi Monalisa dengan merengut. Tapi, nggak nyangka, Harris kelihatan segitu kesalnya. Mungkin, karena ini bukan pertama kalinya dia melerai pertengkaran antara aku dan Monalisa. Sambil mencak-mencak dia pergi dan besoknya nggak pernah kembali lagi untuk latihan drama. Kabar resmi dari Bu Mita, Harris mengundurkan diri dari perannya sebagai Coppelius. Dan aku adalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab dalam konteks reputasiku sebagai murid bandel yang jadi penyebab terganggunya latihan drama. Pasti Monalisa yang mengadu seolah-olah aku yang bikin Harris jadi nggak betah. “Terus… sekarang lo harus cari orang buat gantiin Harris?”, tanya Andin, dia terlihat prihatin saat aku kehilangan semangat di pagi hari yang cerah yang seharusnya jadi mood-booster. “Itu hukuman…”, kataku lesu, “Gue mau cari kemana coba?” “Lo kan bisa ingat-ingat siapa yang ikut audisi jadi Coppelius”, kata Genta mengusul. Idenya cemerlang sih tapi…seingatku saat audisi lumayan susah mencari pemeran Coppelius. Dan sekali lagi, Bu Mita cenderung melihat fisik daripada kemampuan akting. Biasanya sih, kalau cowok-cowok keren di sekolah nggak akan minat sama drama –takut dibilang lembek gitu. Aku menggeleng-geleng, lalu menjerit, “Siaaaal!” Saat istirahat siang aku memulai ‘perburuan’. Dengan memasang selebaran di mading dan menyebarkannya ke penjuru kelas, aku berharap akan ada cowok keren bertalenta yang mau jadi Coppelius. Tapi, yang mendaftar cuma cowok-cowok bertampang standar yang gagal di audisi pertama. Gayanya macam-macam. Ada yang akting-nya kaku, ada yang tiap sebentar lihat dialog, ada juga yang ngomongnya terbata-bata, dan yang lebih parah ada yang girang nggak jelas seperti psikopat. Hiiiy! Aku menutup audisi dengan kecewa setelah mencoret semua nama pendaftar. Pencarian itu membuang waktuku sampai aku telat ke Jukebox dan dimarahi Mas Mimo –ownernya. Yang jadi Coppelius itu, haruslah cowok yang tinggi dan tegap –karena biasanya kalau dipakaikan kostum macam apapun pasti cocok. Serta good looking –seperti Harris. Di sekolah ini lumayan banyak, tapi masalahnya nggak satupun dari mereka yang mendaftar. Terpaksa aku harus melakukan pendekatan. Dengan modal nekat dan pasang muka tembok. Aku mulai membuat daftar nama cowok-cowok keren yang mungkin mau jadi Coppelius. 1.Noval –anak kelas tiga. Awalnya dia menyambut baik aku dan bahkan sempat ngobrol sebentar. Tapi, waktu aku lagi membahas soal kelas drama dia langsung menghadapkan telapak tangannya ke wajahku, “Sorry, ya, Zizi, gue tuh nggak cocok di kelas drama”. 2.Lando –anak kelas satu yang tinggi banget, punya perawakan mirip Marcel Darwin tapi punya kulit yang agak gelap. Senyumnya manis, tapi dia punya acara ekstrim untuk menolak. “Gue nggak mau dibedakin”. Apa hubungannya? Aku sempat heran. Mungkin karenaa cowok ini gayanya macho banget dan ikut drama malah bikin kesan itu jadi hilang. Namanya juga anak baru masuk SMA. 3.Dion –anak kelas dua yang pernah sekelas di tahun pertama. Dia langsung menggeleng dan sepertinya sudah tahu kalau aku sedang mencari pemain. “Gue nggak mau dipasangin sama Monalisa”. Aku lupa, Dion mantannya Monalisa. Kalau seandainya yang main bukan Monalisa mungkin dia mau. Tapi sangat nggak mungkin bikin Monalisa keluar. Lagian semua ini terjadi karena Monalisa. Sumpah deh, aku benar-benar pusing. 4.Taura –anak kelas dua yang terkenal playboy. Jangankan ditawari jadi Coppelius, aku malah digoda sampai merinding dan langsung kabur karena cowok itu main pegang-pegang. 5.Brian –anak kelas tiga yang rada kebulean. Dia terus-terusan bilang nggak bahkan di saat aku belum menjelaskan apa-apa. Sepertinya sudah santer terdengar kalau aku tengah memburu semua cowok keren di sekolah untuk masuk kelas drama –paling nggak hanya untuk memerankan Coppelius. Yang ada belum mendekat saja aku sudah disuruh berhenti di jarak lima meter dari mereka –aku langsung diusir seperti pengamen di lampu merah yang mengganggu ketertiban. Menyedihkan… “Sabar…”, ujar Andin sambil memijit-mijit bahuku yang kelelahan setelah menggeledah seisi sekolah. Semua nama telah dicoret dalam daftar. Nggak ada satupun pilihan yang bagus saat ini selain memohon sama Bu Mita supaya hukuman ini nggak diterusin. Tapi, yang jadi beban, karena pemeran Coppelius nggak ada, latihan terpaksa ditunda sampai dapat penggantinya. Semuanya jadi sama saja dan aku nggak tahan lagi. Istirahat siang selesai, pelajaran dilanjutkan. Guru Bahasa Indonesia, Pak Kusmadji masuk membawa tumpukan buku latihan yang dikumpul kemarin dan aku sama sekali nggak bersemangat. Aku ngantuk dan curi-curi kesempatan untuk sekedar merebahkan kepala di atas meja. Samar-samar aku melihat seseorang dengan mataku yang lelah dan menyadari sesuatu. Zimmy Adam Prawira–seorang teman sekelas yang duduk di sebelah kananku, cowok berkaca mata yang terkenal pendiam itu tengah melepas kaca mata yang selama ini bikin dia jadi kelihatan cupu. Aku baru sadar kalau dia cakep juga… “Ghazia!”, suara Pak Kusmadji yang khas membuatku seketika terbangun dan sadar ternyata aku ketiduran. Oh my… Semua orang di kelas tertawa, kecuali satu orang, Zimmy yang kelihatan nggak peduli apapun yang terjadi di sekitarnya. Kok aku nggak sadar, kalau ternyata dia bisa dimasukan ke daftarku –daftar terakhir. Dan bagaimana pun dia harus jadi Coppelius! “Sinting aja dipelihara!”, itu yang dikatakan Andin ketika aku berpikir untuk melakukan pendekatan sama teman sekelas kami itu, “Emang Zimmy itu keren?” “Dia keren kok, kalau nggak pakai kaca mata…”, kataku sambil memikirkan cara pendekatan yang ampuh dengan pengalaman terdahulu, “Dia cowok keren terakhir di sekolah yang harus bisa gue dapetin” “Gue yakin dia nggak mau”, Genta sependapat sama Andin. “Ah, lo berdua parah! Mau bikin gue patah semangat?”, aku mulai sebal. “Ya, bukannya gitu, Zi…”, ujar Andin, “Ya, lho tahu sendiri si Zimmy orangnya kayak gimana? Dia tuh pendiam dan susah dideketin. Lo mau pendekatan sama dia pakai cara apa?” “Makanya lo berdua diem deh, biar gue bisa mikir”, cetusku, “Sekali ini gue harus berhasil. Kalau nggak semua orang bakal nyalahin gue. Ini soal hidup dan mati gue di sekolah ini, tau nggak sih?” Sejak pertama kali sekelas, aku dan Zimmy memang nggak pernah bicara bahkan menyapa pun juga nggak pernah. Sebenarnya, aku paling pantang dengan tipe yang seperti ini –anak kaya yang nggak mau bersosialisasi. Makanya, aku nggak akrab sama Zimmy dan beberapa kali aku pernah ditegur karena berisik. Tapi, apa boleh buat. Aku sudah membuat skema di kepalaku supaya pendekatannya berhasil. “Hai, Zimmy…”, awalnya aku begitu yakin, sengaja menghampiri dia yang duduk di kelas sendirian di jam istirahat siang. Seperti biasa, cowok tinggi berambut hitam legam dengan potongan yang rapi itu sering terlihat membaca buku. Duduk dengan tenang, seperti seorang direktur perusahaan beromset milyaran, “Gue Ghazia” Dia sama sekali nggak mengalihkan pandangannya dari lembaran yang dia baca, untuk sekedar menghargai kehadiranku, “Saya tahu kamu siapa”, kata dia cepat, dan…ketus. Bah, menyebalkan!, aku nyaris menyerah karena dibandingkan cowok-cowok lain yang pernah aku dekati, yang satu ini bertingkah paling ekstrim. “Kamu mau apa?”, tanya dia, nggak ada keramahan sama sekali di nada suaranya yang dalam. Orang ini membuat aku kebingungan. Kalau sikapnya sudah begitu, gimana aku bisa menjelaskan dari awal masalah yang sedang aku alami?. “Kamu nggak lagi mikir gimana caranya saya nyelesaiin masalah yang udah kamu buat di klub kesenian kan?”, tebak dia, cepat, seperti anak panah yang langsung melesat ke jantungku. Akhirnya dia menoleh, memperlihatkan seraut memikat yang sempat terabaikan olehku. Aku terdiam, menatapnya tanpa bisa memikirkan satu alasan. Ini pertama kalinya aku berhadapan dengan orang yang bikin jantungku deg-degan. Nada suara yang ketus, ekspresi dingin dan sikap yang menunjukan bahwa ia nggak ingin disentuh siapapun; serta reputasi sebagai seorang heart breaker dan entah bagaimana dia luput dari perhatianku –sekarang dia menja di pilihan terakhir yang bagaimana pun juga harus aku dapatkan. “Aku sama sekali nggak pernah bikin masalah di klub drama”, kataku padanya dengan yakin, “Orang-orang cuma nggak tau kejadian yang sebenarnya. Aku lagi sial aja kok” “Yang sebenarnya?’, Zimmy terlihat sarkastis. Dia seolah menuduhku berbohong. Harus aku akui, aku memang sedikit nakal tapi aku belum pernah berbohong soal apapun itu, “Aku udah minta tolong ke sana kemari, capek tau”, kataku, setengah mengeluh agar ia nggak mengambang terlalu lama untuk mengungkit-ungkit kesalahanku, “Kita kan sekelas, kamu murid teladan pula, masa sih kamu nggak mau bantuin aku?” Zimmy berdiri dari bangkunya bersama buku yang ia genggam –entah buku apa itu. Dia menatapku dengan sinis dan baru sadar kalau dia mengingatkanku akan sosok Monalisa yang juga punya senyum mengerikan itu. Zimmy = Monalisa versi cowok! “Maaf ya, saya nggak berminat”, dia menegaskan. Lalu melewatiku begitu saja, seperti angin berbau lembut yang mungkin berasal dari wewangian yang melekat di tubuhnya. Di sana, aku terdiam beberapa saat sampai dia menghilang. Nggak lama, Andin dan Genta yang dari tadi mengintip, menghampiriku. Mereka menemukan aku yang sedang syok dan mulai parno. Kenapa kata-kata cowok itu sangat menusuk? Dia benar-benar bikin aku kesal setengah mati! “Zizi?!”, jerit Andin cemas saat aku menendang meja yang ada di depanku. Setelah cukup tenang, aku kembali ke tempat latihan. Beberapa orang sudah berada di sana dan cuma malas-malasan. Bu Mita nggak terlihat begitu juga dengan Coppelia. Dengan sedikit merasa bersalah, aku menghampiri mereka dan yang kudapatkan ketika aku ingin menunjukan bahwa aku menyesal adalah… “Ngapain lo ke sini?!”, Tia si pemeran Swanilda berdiri dari tribun dan sekarang berdiri di depanku. Aku menelan ludah. “Latihannya udah kacau gara-gara lo, lo mau apa lagi sekarang?”, teriak dia lagi. Tanpa sadar, kakiku membuat langkah mundur yang menjadikanku benar-benar salah di mata mereka. Pemeran-pemeran lain ikut berdiri, turun dari tribun, dan mengerubungiku dengan kemarahan. Beginikah rasanya melakukan kesalahan yang benar-benar fatal? Aku membiarkan diriku menerima amarah mereka sekalipun aku bisa saja mengatakan bahwa aku nggak sesalah itu. Aku terjatuh dan pantatku menghempas lantai dengan kasar. Beberapa saat aku tertegun menahan sakitnya pinggangku yang terhenyak. Lalu sosok mereka tampak menjulang di hadapanku seolah akulah yang mengecil di tengah-tengah mereka. Tia mendorongku dengan cepat dan dalam sesaat, semua keberanianku luntur oleh siraman air dari botol mineral yang beramai-ramai mereka buang di atas kepalaku sambil tertawa. “Rasain tuh!” Aku nggak bersuara, hanya kaget betapa dinginnya air itu membasahi baju seragamku dan nggak ada seorangpun yang mengeluarkanku dari sana. Dinding manusia di sekelilingku seolah semakin menjulang, hampir membuatku menangis, sebelum lingkaran itu melebar lalu terpecah mendadak, dan di antara mereka terlihat seseorang meretas kerumunan itu. “Apa-apaan nih?!”, teriaknya. Aku berusaha menyadarkan diriku bahwa ini mimpi –lantaran ini pertama kalinya aku di-bully di sekolah dan aku nggak melawan. Aku masih nggak percaya, sampai aku melihat Zimmy marah memandangi cewek-cewek itu satu persatu. Lalu menghampiriku untuk menarikku berdiri. “Kamu nggak apa-apa?”, tanya dia dan aku melongo. Apa aku nggak salah lihat? Tapi, itu benar. Saat Zimmy meraih tanganku, aku benar-benar yakin bahwa aku nggak sedang berhalusinasi. Zimmy datang menolongku setelah selama ini dia anggap aku pengganggu –dan dia juga nggak jauh beda dari cewek-cewek ini? Aku menggeleng. Itu cuma air. Walaupun aku jadi kelihatan kacau dan…kedinginan. Zimmy membawaku pergi dari kerumunan itu, menyeretku keluar tanpa mengatakan sesuatu lagi. Tapi, begitu kami berada di halaman depan sekolah, ia tampak nggak bisa lagi menahan kekesalannya yang entah pada siapa –padaku atau pada cewek-cewek itu. “Kenapa sih kamu harus mati-matian demi drama yang bikin kamu jadi kayak pecundang?!”, ternyata Zimmy marah padaku, “Kalau apa yang terjadi itu memang bukan salah kamu!” “Gimana pun juga pentasnya harus tetap jalan!”, kataku, hampir putus asa, karena sekarang bertambah satu lagi orang yang menyudutkanku dan itu Zimmy –orang yang aku pikir akan menyelamatkanku, “Ini acara tahunan! Apa kedengaran keren kalau pentas tahun ini gagal cuma gara-gara aku?!” “Saya bener-bener nggak ngerti deh…”, Zimmy geleng-geleng kepala. Aku mengernyit, “Kamu emang nggak ngerti. Aneh juga kalau kamu ngerti”, balasku, lalu menarik nafas panjang untuk selanjutnya pergi karena tubuhku menggigil, “Aku mau pulang…” “Saya antar kamu pulang…”, kata Zimmy tiba-tiba, “Kamu mau dipelototin orang sepanjang jalan pakai baju basah tembus pandang?” Aku kaget. Diantar pulang sama Zimmy? Aku nggak tahu hari ini entah aku sial lagi atau terlalu beruntung. Atau… inikah yang disebut sengsara membawa nikmat. Tapi, aku gamang melihat sebuah sedan keluaran Eropa berwarna hitam mentereng di depan gerbang sekolah sudah menunggu dan Zimmy mengajakku naik bersamanya. Aku menggeleng, “Nggak deh…”, dan ekspresiku pasti kelihatan konyol. “Udah deh, ayo”, ajaknya sedikit memaksa dan aku mundur beberapa langkah sambil menggeleng lagi. “Aku nggak apa-apa pulang sendiri”, kataku tersenyum, tapi jadi makin aneh karena suaraku gemetaran. Gila, aku makin menggigil lihat mobilnya Zimmy plus supir pribadinya yang rapi sekali. Aku memeluk diriku dan dengan ragu-ragu menjauh darinya. Lagi-lagi dia menarikku, dan terpaksa aku naik ke mobil itu. Terus terang –agak sedikit malu, ini pertama kalinya aku naik mobil mewah (Audi pula). Aku baru tahu kalau Zimmy super kaya. “Apa sih pentingnya pentas drama itu?”, tanya Zimmy memulai pembicaraan setelah aku nggak bicara sedikitpun karena canggung. Berusaha tenang dan menahan dingin karena AC-nya malah bikin tambah menggigil tapi terlalu segan untuk bilang supaya dikecilin sedikit. Pangkal hidungku dingin dan mungkin memerah, “Itu penting…”, kataku pelan, “Aku selalu ingin ikut pentas itu sejak pertama masuk walaupun aku nggak dapat peran penting…” “Iya, kenapa itu penting setelah kejadiannya begini?”, tanya Zimmy dan dia membuatku heran, kenapa dia juga peduli setelah sebelumnya dia menolak mentah-mentah permintaanku? Aku mendengus, “Kamu nggak bakal ngerti…”, jawabku singkat dan berhenti bicara, sampai tiba di depan gang dekat rumah, aku turun hanya dengan bilang terima kasih banyak. Sekilas dalam pandangan saat aku menoleh ke belakang –sebelum mobil mewahnya melaju begitu kacanya dinaikan dan menyembunyikan Zimmy, aku merasa dia sudah kembali menjadi dia yang biasanya. Pendiam dan angkuh. Aku jadi mempertanyakan kenapa dia tiba-tiba jadi peduli dan lebih aneh lagi ngapain juga dia ada di aula saat aku sedang menerima sangsi sosial-ku? Arash - Mengejar Putri Part 2.1 : Cupid Psikopat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun