Mohon tunggu...
RIFKY R TANJUNG
RIFKY R TANJUNG Mohon Tunggu... Penikmat Akal Sehat -

1) Iam Moslem 2) Penikmat Kajian Sosial Politik dan Budaya 3) Love Bangka Belitung 4) *Menulis Untuk Melawan Lupa*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Seks untuk Anak, Perlukah?

27 April 2016   16:34 Diperbarui: 19 Juli 2016   15:37 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak adalah anugerah dari Sang Pencipta, yang dianugerahkan kepada setiap keluarga sebagai bentuk regenerasi sosial yang akan melanjutkan perjuangan bangsa. Akan tetapi, kerap sekali “bocah” manis mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari pihak terkait, seperti  pelecehan seksual, terlebih lagi sangat ironi pelakunya berasal dari pihak terdekat anak itu sendiri, seperti yang ada dilingkungan keluarga, teman, bahkan sekolah.

Membaca mengenai kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur merupakan suatu hal yang tidak dapat kita prediksi kapan, dimana, dan kepada siapa hal itu akan terjadi, ditambah lagi telah ditetapkannya Indonesia menjadi darurat kekerasan seksual terhadap anak dengan melihat peningkatan kasus kekerasan anak yang terus meningkat di berbagai daerah. Bagian ini menjadi masalah yang cukup sulit, ketika orang tua tidak bisa mengidentifikasi anaknya yang telah menjadi korban.

Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) yang dilansir oleh (Majalahkartini.co.id) tanggal 30 Desember 2015 mencatat, dalam kurun waktu lima tahun ini Indonesia berada pada posisi darurat kekerasan terhadap anak dengan 21.689.987 data pelanggaran hak anak yang tersebar di 33 provinsi dan 202 kabupaten/kota. Hasil monitoring Lembaga Perlindungan Anak (LPA) menunjukkan 58% dari jumlah kasus tersebut merupakan tindak kejahatan seksual. Dalam Pusat data Komnas Anak juga mencatat pada tahun 2015 ada 2.898 kasus kekerasan terhadap anak dengan 59,30% kasus berupa kejahatan seksual dan 40,70% merupakan akumulasi dari kasus kekerasan fisik, penelantaran, penganiayaan, perkosaan, adopsi ilegal, penculikan, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, tawuran dan kasus narkoba. Dibandingkan dengan catatan kasus pada 2014, tindak kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan. Dalam siaran persnya, Komnas Anak mencatat bahwa pelaku kekerasan anak adalah anggota keluarga, tetangga, teman, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lain-lain. Umumnya tindak kekerasan tersebut terjadi di ruang privat sebesar 62% dan ruang publik seperti rumah, sekolah, panti asuhan, lembaga keagamaan dan lainnya sebanyak 38%.

Ini mengartikan bahwa anak seringkali didominasi oleh orang dewasa dan tidak berdaya karena kelemahan fisik dan pengetahuan yang mereka miliki. Mereka lemah karena masih memiliki ketergantungan dengan orang lain yang seringkali dimanfaatkan oleh pelaku pelecehan seksual sebagai alat pengancam terhadap korban agar tidak melapor kepada orang tuanya, sehingga trauma anak akan terus bersemayam dalam ketertutupan anak yang menjadi korban. Sangatlah tragis ketika pelaku sering menipu dayai anak – anak dibawah umur sebagai alat pemuas hasrat seks orang dewasa yang tidak bertanggung jawab.

Pada umumnya, anak yang telah mengalami kekerasan ataupun pelecehaan seksual menjadi sangat takut untuk melaporkan hal yang menimpanya kepada orang tua, sekalipun orang tua adalah orang terdekat di sekitar anak. Hal ini dikarenakan para pelaku terbiasa melakukan pendekatan persuasif dengan mengancam anak untuk melapor kepada orang tuanya, atau memberikan imbalan yang tidak berarti untuk anak.

Menjadi suatu pertanda bahwa masih perlu dilakukan penguatan – penguatan dari keluarga maupun sekolah untuk memberikan pengetahuan khusus mengenai identitas gender meliputi pengenalan kesehatan repoduksi kepada anak, dan tentang norma sosial yang hidup dimasyarakat yang berguna sebagai modal pengatahuan bagi anak untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual oleh pelaku.

Secara inti, hal itu dikarenakan pendidikan, pembentukan karakter, serta perlindungan terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh institusi sosial yang formal yaitu sekolah saja. Melainkan, dengan melakukan penguatan peran keluarga untuk mendidik anak khususnya mengenai pendidikan tentang seks karena masih sedikit sekolah yang menerapkan hal itu. Sangatlah mudah jika pendidikan tentang seks kepada anak dilakukan di rumah, karena keluarga memiliki potensi sebagai ruang private yang dipercaya oleh anak, dan karena keluargalah hubungan kasih sayang ibu, ayah dan anak terbangun.

Maka sebagai orang tua yang memainkan peran fungsi keluarga berupa institusi sosial terkecil yang mendidik dan melindungi anak dari kejahatan sosial diharuskan dapat membangun rasa kepercayaan kepada anak dan keterbukaan. Orang tua juga harus mampu mengidentifikasi anak yang mengalami kekerasaan seksual dengan mengenali perubahan psikologis dan biologis anak secara berkelanjutan. Artinya, jika gejala dan perbedaan tingkah laku maupun organ biologis anak terlihat tidak biasa, maka orang tua wajib untuk menanyakannya.

Menguatkan Peran Keluarga

Selanjutnya, dalam pola mendidik anak dengan mengajarkan maupun mengenalkan kesehatan reproduksi yang dapat diartikan melalui “pendidikan tentang seks” masih belum begitu dilakukan oleh keluarga. Mengingat pendidikan seks adalah hal – hal yang baru dan tak urung pula keluarga di sekitar kita masih ragu untuk menerapkannya, karena berbicara mengenai seks, banyak pertanyaan yang menjadi pro kontra bagi keluarga yaitu bagaimana anak bisa dihubungkan dengan seks? Selanjutnya sudah siapkah anak mengetahui sedikit banyak tentang seks? Bagaimana dampaknya jika anak terlalu mengetahui tentang seks?

Mengenai hal tersebut, perlu dipahami bersama bahwa pendidikan seks paling tidak dirasakan perlu untuk diterapkan. Saat ini, masih ada yang menganggap pendidikan seks adalah hal yang lucu, yang tabu, bahkan kontra. Tidak begitu sulit dan kompleks meski akan terlihat ambiguitas cara pandang orang tua terhadap pendidikan seks untuk anak. Ada orang tua yang masih ragu karena khawatir buah hati menjadi agresif, ada pula orang tua yang dengan mudah mampu mendidik anaknya terkait dengan kesehatan alat reproduksi, yang diajarkan secara psikologis saja, berimbang, dan proporsional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun