Mohon tunggu...
RIFKY R TANJUNG
RIFKY R TANJUNG Mohon Tunggu... Penikmat Akal Sehat -

1) Iam Moslem 2) Penikmat Kajian Sosial Politik dan Budaya 3) Love Bangka Belitung 4) *Menulis Untuk Melawan Lupa*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Surat Duka dari Hutan Orang Lom

2 Maret 2016   10:56 Diperbarui: 2 Maret 2016   13:20 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Lebih Baik Meninggal Dunia dengan Hutan yang Utuh, daripada Hidup dengan Hutan yang Tak Lagi Utuh.”

(Peribahasa oleh Tokoh Adat Orang Lom Dusun Air Abik)

Mendiskusikan hutan tidak lepas dari keberadaan komunitas dengan situasi sosial budaya, dinamika sejarah dalam pengelolaan hutan yang berkearifan lokal, yaitu masyarakat adat setempat. Tidak perlu jauh melihat negeri seberang, Bangka Belitung memiliki masyarakat adat Suku Lom, atau dengan kata bersahabat kita menyapanya “Orang Lom”. Orang Lom merupakan komunitas masyarakat adat yang berada di Pulau Bangka, tepatnya di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda dan Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan Kecamatan Belinyu yang sudah mulai terlembagakan dalam bentuk Komunitas Adat Suku Lom Air Abik dan Pejem.

Orang Lom memiliki hubungan yang kuat dengan lingkungan ataupun hutan yang berada pada kawasan wilayah teritori administratif dan wilayah adat mereka. Belantara hutan yang berada di dua wilayah adat Orang Lom, yakni Dusun Pejem dan Air Abik, memiliki kekayaan alam yang berlimpah seperti terdapatnya tumbuhan obat yang dapat diramu menjadi obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit luar dan dalam tubuh, selain itu terdapatnya areal-areal bersejarah dan dianggap sakral bagi masyarakat adat Lom merupakan kearifan lokal yang patut dijaga. Selain dari sisi kearifan lokal tersebut, Orang Lom masih menggantungkan hidupnya pada hutan untuk kegiatan ekonomi seperti berkebun dan berburu.

Hubungan yang erat dengan lingkungan termasuk hutan terlukiskan dari cara mereka dengan sistem pengelolaan tata guna lahan. Pertama, Orang Lom masih menggunakan cara-cara tradisional yang memasang “patok” sebagai tanda batas kepemilikan lahan atau wilayah adat yang dipahami dalam pengetahuan lokal mereka sejak dulu. Kedua, mereka masih menggunakan sistem pertanian ladang berpindah pada tanaman padi beras merah yang dianggap sakral secara tradisi mereka dengan tidak menjual hasil panen beras tersebut, melainkan untuk berbagi melalui sistem barter dengan komoditas yang sama maupun konsumsi keluarga. Teknik pertanian ladang berpindah diyakini mereka untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan mengurangi degradasi lahan.

Pola tradisional tersebut memiliki kelemahan dalam aspek legal formal saat ini. Artinya pemberian batas kepemilikan lahan dan teritorial tidak memiliki surat tanah kepemilikan lahan. Hal ini berimplikasi pada ketidakberdayaan kearifan lokal mereka yang kemudian menjadi ajang perebutan kepemilikan hutan atau tanah oleh pihak lain. Belajar dari sejarah mengenai diskursus perebutan hutan di tanah adat, sudah sejalan dengan sejarah penguasaan hak atas tanah di wilayah komunitas lokal sejak masa kolonial hingga pemerintahan saat ini. 

Berjuang Sepetak Hutan

Kebijakan tentang hutan di wilayah adat seluruh Indonesia berlatar belakang saat masa kolonial Belanda. Pada masa itu, Negara mulai memberikan regulasi terkait dengan penguasaan hutan sebagai sarana produksi dan industri daerah. Peluso dan Vandergeest dalam Jurnal Riscawati yang diterbitkan Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) pernah mencatat bahwa sejarah tersebut tentang lahirnya konsep hutan politik (Political Forest) yang ditetapkan melalui undang-undang kehutanan kolonial oleh Jawatan Kehutanan Belanda (Dienst van het Boschwezen). 

Konsep hutan politik tercantum bahwa hutan politik meliputi teritorialisasi penentuan batas antara lahan pertanian dan hutan, serta menyatakan bahwa semua wilayah yang belum diklaim oleh siapa pun dan wilayah hutan sebagai domain negara. Setelah batas-batas sebuah wilayah ditetapkan, wilayah itu akan menjadi tertutup dan negara melarang siapa pun untuk mengakses wilayah tersebut berikut sumber daya hutan di dalamnya, kecuali jika negara mengizinkan atau memberikan konsesi.

Konsep hutan politik juga diaplikasikan pada masa pemerintahan Orde Baru dikolaborasikan dengan konsep kehutanan berskala industri yang mengategori zona produksi mengikuti kapasitas sumber daya alam hutan yang bertujuan mempermudah kontrol Negara. Konsep tersebut ada pada produk hukum pada masa tersebut dan berdistorsi pada kebijakan pengelolaan hutan era pemerintahan saat ini di berbagai daerah, khususnya Bangka Belitung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun