Mohon tunggu...
Riswandi Yusuf
Riswandi Yusuf Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

melintasi batas waktu dengan menulis, maka kau akan tetap hidup walaupun dirimu sudah tiada...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sakralitas dan Otoritas Kitab Suci

2 April 2020   17:02 Diperbarui: 2 April 2020   17:00 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Otoritas berasal dari kata latin "auctoritas" yang mempunyai arti pengaruh, kuasa, wibawa. Secara terminologi seperti tercantum dalam kbbi, otoritas adalah kekuasaan atau wewenang untuk mengatur, mengontrol, atau memutuskan sesuatu. Berangkat dari kerangka makna dasar dari kata otoritas ini, diambil suatu pengertian bahwa otoritas kitab suci adalah bagaimana sebuah kitab dalam agama tertentu menjadi otentik dan diyakini dalam fikiran dan tindakan bahwa ia mempunyai kuasa, kekuatan dan pengaruh dalam mengarahkan jalan hidup manusia.

Kitab suci menjadi otoritatif karena telah disepakati sebagai satu satunya kitab yang autentik dan menafikan kitab kitab yang lain. Proses ini terjadi pada saat pengkodifikasian sebuah kitab. Dimana terjadi pemilihan dan pemilahan mana yang harus diambil dan mana yang harus diabaikan dan kemudian dikumpulkan menjadi kitab yang suci dan otoritatif. Dalam islam misalnya, pemutlakan pemakaian mushaf utsmani bagi seluruh umat islam menyebabkan mushaf-mushaf yang lain dihilangkan bahkan dalam sejarah mengatakan bahwa mushaf mushaf itu dibakar. Ini dilakukan demi memutlakan otoritas mushaf utsmani bahwa hanya mushaf ini yg harus dipakai, dipedomani bagi umat islam karna dianggap paling lengkap, sempurna, dan mutawatir. meskipun tujuan awalnya ingin menyatukan umat islam yang terpecah pecah ke dalam berbagai mushaf mushaf yang ingin mereka ikuti sendiri.

Sedangkan dalam Kristen dan yahudi, kitab otoritasnya adalah kitab yang disebut dengan kanonik. Kanon ini adalah suatu daftar kitab yang dianggap sebagai kitab suci yang berwibawa atau otoritatif yang menjadi "standar" atau "aturan" yang bersifat normatif bagi umat Kristen. Kanon Kristen adalah alkitab, dan kanon yahudi adalah Tanakh. Pembentukan kanon ini tidak tercipta begitu saja, tapi melalui proses yang sangat panjang melalui berbagai konsili konsili dan melibatkan banyak orang dengan berbagai polemik dan perdebatan yang menyertainya. 

Karna tidak semua kitab masuk dalam kategori kanonik, maka kitab kitab non kanonik ini tidak terlalu dipentingkan dan dipisahkan dari kitab kitab yg bersifat otoritas. Inilah yang disebut dengan kitab apokrif. Kitab apokrif ini dianggap tidak terlalu penting hanya sekedar dianggap sebagai dokumen religi dan historis yang bagus, namun tidak pada tingkat yang sama dengan kanon Alkitab. Kanon menjadi otoritatif karena memang diyakini benar benar berasal dari firman Tuhan dan roh kudus bukan berdasarkan otoritas maupun kekudusan dari gereja atau bahkan dari para nabi dan rasul.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, Menetapkan suatu kitab menjadi otoritatif juga secara otomatis menjadikan kitab itu menjadi suci atau disakralkan. Bahkan, sakralitasnya ini tidak hanya dari makna dan teks dan isinya, tapi juga dari segi materialnya, dalam artian ketika firman Tuhan ini sudah dibukukan menjadi kitab, maka kitab itu misalnya tidak boleh diletakkan disembarang tempat, harus ditempatkan ditempat yg pantas, tidak boleh disobek, dibuang, dll. Seperti contoh kitab alQur'an yang dengan penyakralan yang disematkan padanya sehingga etika sakralitasnya mewajibkan diletakkan ditempat yg tinggi dan paling atas, atau tulisannya yang dalam bentuk bahasa Arab tidak boleh dibuang sembarangan, atau tidak boleh dipegang kecuali hanya dalam keadaan suci atau berwudhu. Poin pentingnya disini adalah kitab yang sudah diyakini otentik dan otoritatif merupakan wahyu yang berasal dari Tuhan ini, maka wadahnya juga harus ikut disakralkan.

Sebuah kitab juga menjadi suci juga karena ada otoritas figur manusia, yang dianggap memiliki kekuatan dan pengaruh bagi siapa saja yang meyakini. Otoritas kitab suci, secara historis dan sosiologis, tidak berasal dari kitab itu sendiri, tapi berasal dari manusia atau orang-orang, mulai dari satu atau beberapa orang saja, sampai kemudian banyak orang yang menganggapnya sebagai otoritatif dan memiliki kekuatan dan pengaruh dalam kehidupan mereka.

Pengalaman keagamaan seorang figur Nabi, resi, dan sebagainya, menjadi pengalaman keagamaan otoritas dan kemudian para pengikutnya. Wahyu yang terbatas pada manusia-manusia tertentu---yang diyakini sebagai manusia-manusia pilihan---menjadi wahyu sebagai sumber ilmu dan inspirasi bagi manusia-manusia lainnya. Sebuah kitab pun menjadi kitab suci, scripture, atau kitab sakral.

Selain itu, kitab suci menjadi suci juga karena aspek oralnya, dibaca, didengar, bahkan dipertunjukkan. Selain al-Qur'an sendiri yang menyebut dirinya "Bacaan", ada praktik membaca (tilawah) yang kuat di masyarakat Muslim. Menurut Martin Luther (1546), Gospel atau bible adalah suara yang hidup (living voice), yang dibaca dan didengar. Sebagai firman yang diucapkan, kitab suci menjadi bagian dari kehidupan orang yang beriman, berpengaruh sangat penting terhadap kelestarian kitab suci itu dalam sejarah manusia.

Kitab suci juga memiliki berbagai dimensi: pikiran, rasa, dan bentuk fisik. Membaca kitab suci sebagai obyek bacaan melibatkan akal dan rasa manusia. Membaca secara keras atau membaca dalam hati atau lembut, bahkan menghapal ayat-ayat melibatkan pikiran dan rasa akan mencitkan suatu penghayatan spiritual tersendiri bagi umatnya masing masing. Dimensi oral ini sejak awal hingga kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kitab-kitab suci yang ada.

Akan tetapi muncul pemikiran yang meragukan pengsakralan akan kitab suci. Wilfred Cantwell Smith pernah menulis buku What is Scripture?: A Comparative Approach diterjemahkan menjadi buku "Kitab Suci Agama-agama". Smith tidak menyebutnya dengan istilah Holy Books tapi dengan istilah Scripture. Karena menurutnya, istilah kitab suci tidak ada dalam semua teks agama.

Ayya Santini (seorang biksuni Budha), dalam mengomentari buku Smith di atas mengatakan, bahwa Budha berkata, "Jangan percayai segala sesuatu, baik itu ajaran (damma dalam istilah Budha) sebelum kamu meneliti dan meyakini hal itu, termasuk apapun yang ada di dalam kitab suci manapun". Dengan demikian, posisi kitab suci dalam agama Budha tidak sakral sama sekali karena seluruh ajaran dalam kitab suci Budha seperti diajarkan Budha sendiri tidak harus diyakini sebelum benar-benar terbukti kebenarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun