Mohon tunggu...
Riswandi Yusuf
Riswandi Yusuf Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

melintasi batas waktu dengan menulis, maka kau akan tetap hidup walaupun dirimu sudah tiada...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antroposentrisme Ekologis

1 Mei 2016   16:31 Diperbarui: 1 Mei 2016   16:44 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasawarsa terakhir ini, masalah lingkungan hidup  banyak mendapat sorotan dari pelbagai kalangan. Hal ini disebabkan karena krisis ekologi yang terjadi merupakan isu global yang dampaknya sudah menimpa seluruh penghuni bumi masa kini dan generasi yang akan datang. Tentu saja hal ini bukan tanpa alasan, adanya permasalahan ekologi ini merupakan dampak dari perkembangan zaman yang semakin maju dan akibat ulah dari keserakahan manusia yang terlalu mengeksploitasi alam dan lingkungan tanpa mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan.

Padahal alam merupakan tempat manusia untuk hidup dan berkembang biak. Hubungan manusia dan alam pun saling terkait (simbiosis mutualisme). Dari alam manusia mendapat penghidupan, Tanpa dukungan dari alam, manusia dan makhluk lainnya akan terancam karena kebutuhan dasar manusia bersumber dari alam. Ketidakramahan manusia terhadap lingkungan harus dibayar mahal, terbukti dengan banyaknya bencana yang terjadi.

Gejala krisis ekologis atau krisis lingkungan hidup, yang dihadapi penduduk bumi sekarang ini, terjadi di seluruh dunia, dialami semua negara dan bangsa, bukan hanya menyangkut segi-segi materiil geografis dan geologisnya, melainkan juga sebab dan akibat yang ditimbulkannya di segi-segi ekonomi, politik, , hidup keagamaan, sosial, maupun moral.

Secara global, krisis ekologi tergambar dalam tiga bentuk kerusakan lingkungan yaitu, global warming, menipisnya lapisan ozon, dan hujan asam (acid rain). Bentuk kerusakan Lingkungan itu berdampak pada kerusakan sumber daya alam (tanah, air, udara), deforestasi,degradasihutan, dan kebakaran hutan pun makin sering terjadi , musnahnya berbagai spesies hayati, naiknya permukaan air laut, dan tenggelamnya beberapa pulau serta merebaknya berbagai jenis penyakit.

Di Indonesia, kerusakan lingkungan juga sudah menjadi masalah yang sangat krusial. Betapa tidak, sejak tahun 1985, terjadi pembabatan hutan sebesar 1,6 juta hektar pertahun , dan pada tahun 1997 meningkat tajam menjadi 2,83 juta hektar pertahun. Pada tahun 2007, Indonesia telah masuk dalam rekor dunia (Guinness World Records) nomor satu sebagai negara perusak hutan tercepat dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% dari luas hutan di dunia. Selama tahun 2000-2005 laju deforestasi(penurunan luas hutan) di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar/tahun dengan tingkat kehancuran hutan sebesar 2%/tahun atau sekitar 51 KM/hari. Tidak hanya itu, pada tahun 1998 negara Indonesia yang kaya dengan  beraneka ragam suku, budaya, dan kekayaan alam yang berlimpah tercatat sebagai negara tercemar nomor tiga di dunia, setelah Meksiko City dan Bangkok. dari 673 bencana yang terjadi  di Indonesia antara tahun 1998 dan 2004, lebih dari 65 persen disebabkan oleh kesalahan pengelolaan lingkungan, seperti banjir, longsor, dan kebakaran  hutan. Fakta ini menjadi bukti betapa menjaga lingkungan tidak pernah menjadi skala prioritas dalam pemban gunan.

Dengan melihat fakta yang disebutkan di atas, nyatalah bahwa hasrat manusia untuk menjaga dan merawat lingkungan hidupnya merosot tajam. Manusia telah lalai memelihara keseimbangan ekosistem, yang terjadi malah sebaliknya merusak keseimbangan dan keselarasan ekosistem. Manusia sudah tidak segan lagi melakukan penebangan hutan secara liar, penyelundupan kayu, perambahan suaka margasatwa, perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi, penghancuran terumbu karang, pembuangan sampah tanpa pengolahan, polusi air limbah industri dan pertambangan, asap dan kabut dari kebakaran hutan yang dapat menimbulkan polusi udara yang berakibat turunnya air hujan yang bersifat asam. Akumulasi dari semua kerusakan lingkungan ini, berakibat pada bencana yang akan terus-menerus dirasakan oleh penduduk bumi.

Mengapa krisis lingkungan sangat masif terjadi? Dan apa sebabnya konservasi atau  pelestarian lingkungan hidup begitu mudah diabaikan oleh manusia modern?  Sesungguhnya secara historis, proses eksploitasi berskala besar atas bumi kita baru mulai abad ke-19, ketika kemajuan industri dan ilmu pengetahuan saling menunjang dalam melahirkan revolusi teknologis, yang secara harfiah mengubah muka bumi. Sejak saat saat itu manusia semakin menampakkan superioritasnya atas alam. alam diperlakukan seakan sebagai tambang yang dapat dikuras sehabis-habisnya demi kepentingan manusia, khususnya dibidang kebutuhan materil (ekonomi). Tak heran berkembanglah sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi buta (tanpa etika), yang pada gilirannya menghasilkan suatu budaya ekonomistik-konsumeristik yang tidak sehat. Di era globalisasi dewasa ini kiranya tidak ada satu negeri atau bangsa pun yang masih kebal terhadap ancaman penularan budaya semacam ini.

Semenurut Emil Salim (mantan Menteri Lingkungan Hidup era Suharto), kerusakan lingkungan ada hubungannya dengan pembangunan. Beliau mengatakan bahwa dalam 200 tahun terakhir, seluruh negara di dunia membangun dengan merusak bumi yang hanya satu-satunya ini. Pemanfaatan tanpa batas minyak bumi dan batu bara sebagai penggerak utama pembangunan tanpa disadari telah menaikkan pelepasan gas rumah kaca dari hanya 280 parts per million (ppm) pada masa sebelum revolusi industri (1780) menjadi 380 ppm setelah masa revolusi. Kenyataan inilah menurut Emil Salim yang menjadi biang keladi terjadinya proses pemanasan global dan perubahan iklim yang kini mengancam hidup segenap penduduk bumi.

Pengeksplotasian alam tanpa batas dan tanpa etika sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku manusia yang keliru terhadap alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.

Manusia menempatkan dirinya terhadap alam dengan cara pandang antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat alam sesuatu. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia sehingga alam tidak seutuhnya dihargai, alam dihargai demi kepentingan manusia.

Persfektif antroposentris ini bersifat instrumentalistik, dalam pengertian pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun