Aku seorang remaja tanggung dari desa Sidoagung. Seperti biasa, sepulang sekolah dan beristirahat sebentar, aku menyambar sabit dan keranjang. Ya, tugasku sepulang sekolah adalah mencari rumput untuk dua ekor kambing. Hampir setiap hari aku pergi ke ladang, menyibak ilalang, menyabit rumput dan mengisi keranjang. Biasanya, aku dan teman-teman sebayaku ramai-ramai ke ladang. Jika kebetulan musim kemarau, kami akan membawa layang-layang, yang akan terbang selama kami menyibak ilalang.
Sayang, hari ini tak ada teman karena belum pulang dari sekolahan. Terpaksa aku berjalan sendirian dengan hati diliputi kesepian. Memang nggak enak mencari rumput tanpa sendau gurau kawan-kawan. Namun, apa mau dikata, ini adalah kewajiban yang harus aku laksanakan. Musim kemarau seperti ini rumput susah didapatkan.Sepanjang jalan menuju ke ladang, kutebarkan pandangan ke kiri ke kanan. Jika kulihat segenggam rumput menghijau, segera kulempar keranjang dan kusabetkan sabit di tangan.
"Kaakk.... Kaakkk...."
Kudengar suara di angkasa yang membuat telingaku pekak dan memaksa kepalaku mendongak. Di angkasa kulihat seekor burung rajawali besar yang membuat mataku terbelalak. Ia terbang ke arahku yang membuat kakiku tak lagi bisa berdiri tegak. "Matilah kau dimakan rajawali," ucapku di dalam benak.
Aku hanya bisa menunggu dan menghitung sambil memejamkan mata. Sekali lagi rajawali itu bersuara. Semakin dekat, semakin menggelegar suara yang dikeluarkannya. Satu, dua, tiga... tiga puluh tiga…. Kenapa aku masih bisa berhitung dan menghirup udara? Secara perlahan aku membuka mata. Kulihat rajawali itu mendarat tak jauh dari tempatku berada. Yang membuatku lebih ternganga, tampak dua orang turun dari punggung rajawali yang begitu perkasa. Satu perempuan dan satu laki-laki yang sama-sama mengenakan mahkota. Keduanya berjalan menuju ke arahku dengan langkah perkasa.
“Bukankah itu Mantili dan Brama Kumbara? Ya, benar itu mereka,” batinku penuh tanda tanya.
“Maaf kisanak, kalau kedatangan kami membuatmu terkejut,” tanya si lelaki yang kukira Brama.
“Apakah tuan ini Brama Kumbara, raja Madangkara?”
“Benar kisanak, saya Brama dan ini Mantili adik saya.”
“Tapi, bukankah Brama berasal dari ratusan tahun yang lalu, ketika Majapahit runtuh karena perang saudara?”
“Maksud kisanak, kami tidak lagi berada di zaman Majapahit yang menguasai Nusantara?” sahut Mantili yang sedari tadi tak bersuara.
“Kalau tidak salah hitung, kisanak hidup lebih dari 500 tahun silam,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
“Oh… kami memang sudah lama berputar-putar di udara. Kami sudah melihat puluhan daratan di atas lautan, tapi Kraton Majapahit tak tertangkap mata. Di tanah Jawa ini kami sudah melihat beberapa kraton, tapi itu bukan Kraton Majapahit sebagai ancer-ancer menuju Madangkara,” kata Brama.
“Anda tidak akan menemukan Majapahit, karena telah tertimbun tanah dan batuan hingga rata. Yang tersisa hanya gapura. Kraton yang Anda lihat bisa jadi itu Kraton Cirebon, Kraton Yogyakarta, atau Kraton Surakarta.”
“Tertimbun tanah hingga rata? Tidak adakah rakyat yang menjaga Kraton Majapahit yang kondang hingga Mancanegara?”
“Itu karena perang saudara. Perang perebutan kekuasaan yang membuat rakyat menderita. Jangankan menjaga warisan budaya, menjaga diri sendiri saja mereka merasa tak berdaya.”
“Tapi bukankah raja yang sekarang berusaha menggali Kraton Majapahit yang sangat berharga.”
“Sekarang adanya presiden, bukan raja. Upaya itu memang ada. Tapi, tetap saja Kraton Majapahit tak bisa seperti semula.”
“Kenapa,” tanya Mantili tiba-tiba.
“Karena tak ada uang untuk membangun dan menjaganya.”
“Negeri ini begitu kaya. Bagaimana mungkin tak ada uang untuk menjaga situs budaya?”
“Di sini, uang negara banyak yang ditilep pejabat negara. Uang negara hanya menjadi rebutan partai-partai berbendera. Entah bendera nasionalis atau bendera agama. Orang-orang seperti saya harus bekerja keras jika ingin terus menghirup udara.”
“Kasihan sekali nasib rakyat di sini, Nusantara yang kaya raya,” ku dengar Mantili lirih bersuara.
“Ya, begitulah nasib rakyat jelata. Oh ya, tuan Brama, bukankah dulu Madangkara makmur, aman, sentosa?”
“Sebagai raja saya memang berusaha keras membuat rakyat sejahtera. Syukurlah semua rakyat Madangkara dapat hidup dalam suasana yang damai, aman, tak ada yang sengsara. Jika ada pejabat yang menyimpang, saya langsung memerintahkan hukum mati untuknya.”
“Tuan Brama, maukah tuan menjadi raja Nusantara? Siapa tahun di tangan tuan, bangsa ini menjadi lebih sentosa.”
Dahi Brama berkerut seolah memikirkan sesuatu. Beberapa kali kulihat ia mengusap dagu. Apakah berat menjawab pertanyaan seperti itu?
Setelah beberapa saat, dengan suara berat Brama menjawab, “Kisanak, sepertinya saya tidak sanggup menjadi raja Nusantara. Menjadi raja adalah tugas yang sangat berat, meskipun mulia. Melihat kerusakan moral pejabat negara di sini, saya tidak akan mencalonkan diri menjadi raja. Bagi saya, lebih baik menjadi pertapa daripada menjadi raja tapi tak sanggup membuat rakyat sejahtera.”
Kami terdiam beberapa lama.
“Kakang, di sini kita sudah terlalu lama. Mari kita lanjutkan perjalanan kita,” kata Mantili kepada Brama.
“Kisanak kami mohon diri dan terima kasih atas waktu dan informasinya. Mari Mantili kita lanjutkan petualangan di angkasa.”
Mereka berdua kembali menuju sang Rajawali. Kini tinggal aku sendiri, memikirkan percakapan yang baru saja terjadi.
******
“CATATAN: Cerita ini hanyalah fiksi, dan murni hasil imajinasi saya belaka.”
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community.
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H