“Kalau tidak salah hitung, kisanak hidup lebih dari 500 tahun silam,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
“Oh… kami memang sudah lama berputar-putar di udara. Kami sudah melihat puluhan daratan di atas lautan, tapi Kraton Majapahit tak tertangkap mata. Di tanah Jawa ini kami sudah melihat beberapa kraton, tapi itu bukan Kraton Majapahit sebagai ancer-ancer menuju Madangkara,” kata Brama.
“Anda tidak akan menemukan Majapahit, karena telah tertimbun tanah dan batuan hingga rata. Yang tersisa hanya gapura. Kraton yang Anda lihat bisa jadi itu Kraton Cirebon, Kraton Yogyakarta, atau Kraton Surakarta.”
“Tertimbun tanah hingga rata? Tidak adakah rakyat yang menjaga Kraton Majapahit yang kondang hingga Mancanegara?”
“Itu karena perang saudara. Perang perebutan kekuasaan yang membuat rakyat menderita. Jangankan menjaga warisan budaya, menjaga diri sendiri saja mereka merasa tak berdaya.”
“Tapi bukankah raja yang sekarang berusaha menggali Kraton Majapahit yang sangat berharga.”
“Sekarang adanya presiden, bukan raja. Upaya itu memang ada. Tapi, tetap saja Kraton Majapahit tak bisa seperti semula.”
“Kenapa,” tanya Mantili tiba-tiba.
“Karena tak ada uang untuk membangun dan menjaganya.”
“Negeri ini begitu kaya. Bagaimana mungkin tak ada uang untuk menjaga situs budaya?”
“Di sini, uang negara banyak yang ditilep pejabat negara. Uang negara hanya menjadi rebutan partai-partai berbendera. Entah bendera nasionalis atau bendera agama. Orang-orang seperti saya harus bekerja keras jika ingin terus menghirup udara.”