Satu Mei merupakan "hari besar" bagi para buruh. Sehari sesudahnya adalah hari besar untuk para pendidik (guru), Hari Pendidikan Nasional. Entah sejak kapan, 1 Mei diisi dengan mengerahkan massa ke jalan untuk mengajukan tuntutan buruh. Sementara 2 Mei biasanya hanya diisi dengan upacara bendera.
Buruh dan guru (khususnya yang honorer) sebenarnya nasibnya tidak jauh berbeda. Bahkan, bisa dibilang nasib buruh jauh lebih baik daripada nasib guru honorer dengan UMR sekarang (contohnya UMR Tangerang Selatan). Coba kita hitung-hitungan sedikit mengenai gaji yang diterima buruh dan guru honorer. Ya, saya tahu sedikit mengenai gaji guru honorer karena saya mengenal seorang guru honorer di sekolah swasta di daerah Tangerang Selatan.
Kita tahu, di Tangsel, UMR buruh Rp2,4 juta-an per bulan untuk 40 jam kerja seminggu (40 Jam kerja sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Sumber: DI SINI). Namanya UMP tentunya diperuntukkan bagi pekerja baru yang masih lajang dengan tingkat pendidikan rata-rata SD-SMA.
Untuk guru honorer di tempat teman saya kerja itu, satu jam mengajar dibayar Rp12.500,-. Jam mengajar ini dihitung hanya untuk satu minggu. Ini adalah honor pokok. Jadi, misalnya seorang guru mendapat 40 jam pelajaran (standar minimal untuk mendapatkan tunjangan profesi 24 jam pelajaran) per minggu, maka: Honor pokok = 40 x Rp12.500,- = Rp500.000,-. Padahal, untuk mendapatkan 40 jam mengajar, guru jelas sangat kesulitan, apalagi di sekolah swasta. Jika ingin mendapatkan 40 jam mengajar, mereka harus mencari mengajar di beebrapa sekolah atau mengajar beberapa pelajaran. Sebab, sebagian besar sekolah swasta hanya memiliki sedikit kelas.
Honor pokok ini kemudian ditambah jam hadir, yang dihitung perbulan (anggaplah 4 x 1 minggu). Besarnya hanya Rp4.000,-. Upah hadir = 4 x 40 x Rp4.000,- atau Rp640.000,-. Untuk guru yang menjadi wali kelas, ada tambahan honor sekitar Rp100.000,- sampai Rp150.000,-.
Jadi, bila ditotal, untuk 40 jam pelajaran seorang guru hononer memperoleh honor sekitar Rp1.290.000,-. Belum lagi ada potongan koperasi, infak, dan lain sebagainya.
Memang, guru swasta masih mendapat uang lelah saat membuat soal dan mengoreksi Ujian Semester. Tapi, itu pun tidak seberapa, paling banyak Rp2 juta untuk tiap semester (6 bulan sekali). Itu pun harus mengoreksi ratusan lembar. Sebab, uang koreksi hanya dihargai sekitar Rp2.000,-an per lembar.
Dan, pekerjaan guru sebenarnya bukan hanya di sekolah saja. Di rumah, mereka juga disibukkan dengan pekerjaan, entah membuat administrasi mengajar, mengoreksi ulangan, dan sebagainya. Beruntunglah bagi guru yang sudah mendapat tunjangan profesi, ia akan mendapat tambahan Rp1,5 juta (dipotong pajak) tiap bulannya. Tapi yang belum? Ia hanya bisa mengencangkan ikat pinggang.
Jika dibandingkan dalam angka, jelas pendapatan buruh lebih besar daripada pendapatan guru hononer. Padahal, dari segi pendidikan, guru jelas lebih tinggi dibandingkan buruh. Dan, lebih dari itu, tugas seorang guru jauh lebih berat daripada tugas seorang buruh.
Untunglah guru-guru honorer itu tidak terlalu banyak menuntut dengan cara turun ke jalan. Sepertinya mereka cukup sabar untuk menanti niat baik dari pemerintah sendiri. Entah sampai kapan. Dan, tidak seperti buruh yang setiap tahun selalu menuntut kenaikan upah, guru honorer hanya bisa berusaha mencari celah untuk dapat menghemat pengeluaran yang semakin membuncah. Kalau saja mereka mau menuntut dengan cara turun ke jalan atau mogok kerja, entah berapa banyak siswa yang akan terlantar. Untunglah itu tidak terjadi.
Semoga ke depan, nasib buruh dan guru honorer di Indonesia menjadi semakin baik. Dan, semuanya mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H