Selain itu, di bagian ruang salat utama terdapat mihrab dari batu putih berukir motif bunga, tidak ketinggalan pula mimbar khasnya yang penuh dengan nilai budaya. Namun, sayang sekali ada beberapa oknum yang sengaja mencari keuntungan pribadi lewat sejarah Masjid Sang Cipta Rasa, beberapa bersedia menjadi tour guide dengan bayaran tertentu. Sudah kembali segar selepas terkena air wudhu, raga siap memanaskan diri lagi di bawah terik matahari untuk menelusuri tiap-tiap bagian di Keraton  Kasepuhan.
Di Trusmi, akan banyak sekali rumah-rumah pembuatan batik trusmi itu sendiri, pengrajinnya mulai dari muda, hingga ibu-ibu rumah tangga maupun bapak-bapak. Sembari mengobrol dengan salah satu pengrajin, tangan-tangan ahli itu tetap melukis kain dengan canting, semua mendarat tepat munutupi pola-pola yang sebelumnya sudah di buat. Kemudian di sisi lain, anak-anak muda sedang mencelup dan memanaskan kain batik yang hampir jadi itu.Â
Di Desa Sitiwinangun, sambutan yang diberikan pun tidak kalah hangat. Berjalan menelusuri tiap-tiap gang kecil di Sitiwinangun, pasti akan mudah untuk berjumpa dengan rumah-rumah pengrajin gerabah. Ada seorang nenek renta, namun di usia senjanya tetap mengrajin dan menghasilkan guci-guci cantik. Dahulu, di desa ini banyak sekali masyarakat yang pergi merantau sambil membawa hasil gerabah yang sudah berubah menjadi pajangan indah, kemudian menjualnya di tanah perantauan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hiasan-hiasan tersebut hanya dipasarkan di sekitaran Kota Cirebon. Meskipun begitu, pesanan dari luar daerah tetap datang, atau hasil-hasil kerajinan tersebut bisa juga dijual ke seorang mandor untuk kemudian di jual kembali di Jakarta. Sudah jarang anak-anak muda di Sitiwinangun yang melanjutkan profesi orang tuanya sebagai pengrajin gerabah.
Dari seluruh tempat yang sebelumnya sudah dikunjungi, ada satu tempat terbaik yang paling menarik perhatian dan banyak menimbulkan kesan. Yaitu, kampung nelayan Bondet. Tidak ada transportasi umum menuju tempat pelelangan ikan di kampung Bondet, bus pun dirasa tidak cukup untuk masuk karena hanya ada jalan setapak yang sempit. Berjalan sejauh kurang lebih 5 kilometer dari tempat bus terpakir hingga menuju ke bahu sungai tempat kapal-kapal nelayan bersandar. Diapit oleh ilalang, rumput liar, dan sungai yang panjang membuat perjalanan terasa segan untuk diabadikan, karena yang diinginkan kaki ini hanyalah duduk selonjoran dan berlindung diatap rumahan.Â
Setibanya di tempat pelelangan, ada sesuatu yang berhasil mencuri pandangan selain dari keberadaan nelayan-nelayan yang baru saja turun sambil mengangkut ikan, atau kucing-kucing yang sedang menggondol ikan bak si kancil. Di sana, ada tangan-tangan kecil yang mahir sedang mengikat umpan pada kail, ada pula yang sibuk bertukar tawa dengan teman sebaya yang ceria, ada yang baru saja selesai lari menggunakan atribut sepatu lengkap dengan kaos kaki meski itu sebenarnya masih tengah hari, dan ada yang sedang haus menyedot es teh dalam bungkusan plastik bening. Tidak mengerti perihal apa yang tengah mereka tertawai, perihal bagaimana cara mereka menikmati hari. Namun, melihat raut tulusnya saja sudah dapat menimbulkan banyak arti. Arti mengenai hidup itu tidak selalu tentang materi. Hidup di tengah lingkungan nelayan tidak membuat mereka bingung mencari penghibur diri. Mereka tetap tertawa meski tidak ada layar tipis canggih yang digenggam dan dapat disentuh dengan jari. Ketika ditanya soal "Kelas berapa?", alangkah tenang dan bersyukurnya hati ini saat tahu mereka tetap rajin dan semangat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang mampu membawa perubahan di masa yang akan datang. Tidak hanya untuk mereka anak-anak di Bondet, tetapi juga untuk daerah tempat mereka tinggal. Pertemuan dengan mereka akan menjadi kenang-kenangan mengasyikan yang sulit untuk dilupakan.
Terakhir, meski lelah menyelimuti selepas mengunjungi tiap-tiap tempat yang menjadi objek UAS fotografi, tetapi disana selalu terselip beragam pengalaman menarik dan membentuk diri menjadi pribadi yang mandiri serta bertanggung jawab dalam menunaikan setiap tugas dan kewajiban yang sudah diamanahkan. Empat hari berada di Kota Cirebon memang waktu yang cukup cepat namun terbilang sangat padat. Semoga lelah yang diukir disana bisa menjadi bentuk ibadah, sekaligus proses memetik buah untuk bekal presentasi sebagai bentuk perjuangan dalam ujian akhir semester dengan mata kuliah fotografi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H