Mohon tunggu...
Ristiara Shafwah Khairunnisa
Ristiara Shafwah Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - FIK UI

Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Stigma terhadap Pasien sebagai Ancaman Profesionalisme Perawat

17 Desember 2021   11:48 Diperbarui: 17 Desember 2021   12:50 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup dalam perspektif sosial menjadi tantangan tersendiri bagi manusia untuk dapat menghadapi dan memahami situasi di setiap kondisi. Dengan arti lain, sebagai makhluk sosial, tentu tidak ada satu pun manusia yang mampu menghindar dari respon sosial, tak terkecuali profesi yang sangat erat kaitannya dengan sosial, yaitu perawat. Perawat sebagai sebuah profesi memiliki nilai profesionalisme yang dijadikan sebagai acuan dalam menjalankan tugas profesi. Namun, ketika perawat dihadapkan dengan nilai-nilai yang tidak searah dengan tujuan profesi, hal tersebut dapat memicu stigma oleh dirinya terhadap pasien, sehingga profesionalisme perawat pun akan terancam.

Dalam Link & Phelan (2006), stigma diperkenalkan sebagai hasil dari sebuah proses dengan lima komponen pembangun. Komponen pertama adalah mengidentifikasi dan melabeli perbedaan pada suatu individu atau kelompok. Komponen ini sangat sering diartikan sebagai menciptakan perbedaan antara satu pihak dengan pihak lain yang pada akhirnya akan menimbulkan seleksi sosial. Contoh stigma yang paling sering ditemukan dalam praktik keperawatan adalah membedakan pasien berdasarkan penyakit yang diderita. Seperti halnya pada pasien dengan HIV/AIDS, masih banyak ditemukan kasus di mana petugas kesehatan terutama perawat memberi cemoohan, perbedaan pelayanan, hingga keberatan untuk merawat mereka karena takut tertular (Suratini, Wiarsih, & Permatasari, 2013).

Selanjutnya, komponen kedua dari stigmatisasi adalah membuat sebuah stereotip bagi individu atau kelompok yang telah diberi label. Pada komponen ketiga, suatu individu atau kelompok akan mulai membuat jarak dan memisahkan mereka yang telah distigmatisasi dari dirinya atau kelompoknya. Sehingga di komponen keempat, mereka yang telah mendapat stigma akan merasakan diskriminasi bahkan kehilangan status sosial. Akhirnya pada komponen kelima, hanya kekuatan sosial yang dapat membalikkan keadaan. Dengan arti lain, kelompok yang terstigmatisasi akan mencoba untuk membalikkan keadaan, namun tetap kekuatan sosial yang mampu membantunya (Link & Phelan, 2006).

Contoh lain dari kasus stigmatisasi pasien salah satunya dirasakan pada masa pandemi, yaitu diskriminasi terhadap pasien COVID-19. Meski perawat mengetahui bahwa peran profesinya termasuk salah satu yang sangat dibutuhkan saat pandemi, tidak menutup kemungkinan stigma terhadap pasien COVID-19 dapat terjadi. Stigmatisasi pada pasien COVID-19 terjadi salah satunya diakibatkan oleh kurangnya pemahaman perawat akan situasi dan kondisi pasien. Selain itu, beban kerja yang melebihi batas maksimal juga menjadi kecemasan tersendiri bagi perawat di masa pandemi sehingga stigmatisasi pada pasien bahkan profesinya pun tidak dapat terhindarkan (Yunere & Yaslina, 2020).

Perawat sebagai sebuah profesi, memiliki tanggung jawab berupa profesionalisme yang harus diterapkan dalam setiap tugasnya. Profesionalisme merupakan suatu karakter, hasrat, atau perilaku yang dicerminkan oleh seorang profesional dalam berkontribusi pada komitmennya terhadap profesi (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016). Dalam hal ini, sebagai bentuk profesionalisme, profesi perawat memiliki nilai-nilai profesionalisme dengan prinsip etik yang dapat memudahkan mereka dalam memberi asuhan keperawatan terbaik kepada klien. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa jika prinsip etik dan nilai profesionalisme dalam keperawatan mampu dipraktikkan dengan baik oleh perawat, maka kasus yang berkaitan dengan etik seperti stigmatisasi pasien pun dapat dicegah.

Beberapa prinsip etik keperawatan yang berkaitan dengan sikap perawat terhadap kasus stigmatisasi pasien adalah keadilan (justice) dan otonomi (autonomy). Prinsip etik keadilan (justice) mengarah pada kesetaraan perawat dalam memberi asuhan keperawatan kepada pasien, terlepas dari apapun ras, jenis kelamin, diagnosis medis, hingga tingkat ekonomi mereka (Aiken, 2004). Sedangkan, prinsip etik otonomi (autonomy) berkaitan dengan penghormatan perawat kepada hak-hak yang dimiliki pasien. Dalam prinsip ini, perawat harus memahami bahwa pasien memiliki hak untuk menerima pelayanan yang bermutu dengan jujur, adil, dan tanpa diskriminasi (Utami, Agustine, & Patriyani, 2016), maka perawat pun berkewajiban untuk memberi asuhan keperawatan yang dibutuhkan pasien.

Sama halnya dengan prinsip etik, nilai profesionalisme juga membentuk efektifnya praktik keperawatan. Nilai profesionalisme dalam keperawatan merupakan sebuah standar yang dipegang perawat untuk memberi arahan dalam praktik. Oleh karena itu, seorang perawat yang tidak menerapkan nilai profesionalisme keperawatan mungkin tidak akan memiliki arah praktik yang jelas. Karena dalam praktiknya, ilmu keperawatan memerlukan keterampilan, ketekunan, serta pengambilan keputusan yang baik (Black, 2017) sesuai dengan pemahaman perawat terhadap nilai profesionalisme serta kode etik keperawatan.

Berdasarkan pembahasan di atas, nampaknya kasus-kasus stigmatisasi pasien oleh perawat kerap terjadi karena kurangnya pemahaman atau pendidikan perawat terkait kondisi pasiennya. Terdapat berbagai cara yang dapat diambil untuk menumbuhkan pemahaman perawat, seperti mempelajari diagnosis pasien, lingkungan pasien, hingga pengalaman praktik dirinya atau perawat lain. Stigma buruk bukanlah suatu hal yang pantas dinormalisasi dalam masyarakat. Apabila perawat yang memiliki peran sebagai pemberi asuhan keperawatan bahkan advokat bagi pasien saja menghindari pasien, bagaimana dengan masyarakat di luar sana? Maka dari itu, perawat diharapkan dapat senantiasa memperbaiki kualitas pelayanan kepada setiap pasien, terlepas dari apapun perbedaan atau keberagaman mereka. Sehingga, kasus-kasus seperti halnya stigmatisasi pasien tidak akan lagi menjadi ancaman bagi profesionalisme perawat.

REFERENSI

Aiken, T. D. (2004). Legal, Ethical, and Political Issues in Nursing (2nd ed.). F. A. Davis Company.

Berman, A., Snyder, S. J., & Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing : Concepts, practice, and process (10th ed.). Pearson.

Black, B. P. (2017). Professional nursing : Concepts & challenges (8th ed.). Elsevier.

Link, B. G., & Phelan, J. C. (2006). Stigma and Its Public Health Implications. The Lancet, 367, 528. https://www.thelancet.com/action/doSearch?text1=Bruce+G+Link&field1=Contrib&startPage=0&sortBy=relevancy

Suratini,. Wiarsih, W., & Permatasari, H. (2013). Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS Mendapatkan Perawatan Keluarga: Studi fenomenologi. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, 9(1), 77-79. http://digilib.unisayogya.ac.id/2311/1/1jurnal%20JKK%20-juni13%20OK.pdf

Utami, N. W., Agustine, U., & Patriyani, R. E. H. (2016). Etika Keperawatan dan Keperawatan Profesional. KEMENKES RI.

Yunere, F., & Yaslina, Y. (2020). Hubungan Stigma Dengan Kecemasan Perawat Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Prosiding Seminar Kesehatan Perintis, 3(1), 5. https://jurnal.upertis.ac.id/index.php/PSKP/article/view/545/271

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun