"Iya iya."
Ratih dan teman-temannya kembali ke KCD.
Hari semakin terik. Keringat mengucur deras, seperti peribahasa "peluhnya menganak sungai". Tisu yang dibawa tak cukup menyeka keringat yang terus membanjiri wajah dan badan mereka. Gagang kacamata Ratih mulai terasa panas. Menyentuh kulit yang menutupi tulang baji. Lepas kacamata, pandangan tak jelas. Pakai kacamata, gagangnya terasa panas. Kulit Ratih mulai terasa perih. Mungkin ada yang lecet karena terlalu sering diusap menyeka keringat.
Masuk ke KCD, udara tiba-tiba menjadi sejuk. Semua melantai, sekedar memindahkan energi panas dari badan ke ubin keramik.
Tulilit tulilit.
Eh? Ada pesan masuk.
Terkirim. Bapak.
"Hoi! Ada sinyal!", Beli Gusti bersorak kegirangan.
Tepat pukul sebelas siang. Sontak semua berpencar, mengambil posisi mencari sinyal terkuat. Dipencetnya nomor ponsel, dikabari sanak keluarga di kampung halaman. Ada yang menelepon, ada yang sekadar berkirim pesan.
Di bawah tower jaringan seluler, terlihat Bang Jacky menelepon sambil menangis.
"Tadi makan pagi pakai daun pisang, hiks. Makan nasi sama mie instan, hiks. Ada sedikit abon ikan. Aku seperti orang miskin makan beralaskan daun pisang, hu.. hu.. hu.. "
Kang Arya cengar-cengir, asik merekam Bang Jacky yang menelepon sambil menangis di bawah tower. Oh, ternyata ini yang membuat Bang Jacky bermuram tadi pagi?
***