Air adalah kebutuhan dasar manusia, dan air minum tidak hanya memuaskan rasa dahaga, tapi juga menjaga kesehatan dan memperlancar pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan air minum adalah mandat Konstitusi, sehingga negara harus selalu hadir untuk menjamin bahwa warganegara, tanpa kecuali, mendapatkan akses atas air minum yang memenuhi empat asas: kualitas, kuantitas, kontinuitas dan keterjangkauan. Pemenuhan air minum juga merupakan hak asasi manusia. Tidak kurang dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada 28 Juli 2010, melalui Resolusi No 64/292 secara eksplisit mengakui hak asasi manusia atas air dan sanitasi dan juga mengakui bahwa air minum dan sanitasi adalah esensial dalam merealisasikan hak-hak asasi manusia tersebut.
Dalam situasi pandemi COVID-19 sekarang ini, air memegang peranan penting. Kesadaran untuk mencuci tangan pakai sabun, dalam upaya membatasi penyebaran virus korona, semakin meningkat pada semua lapisan masyarakat, dan himbauan untuk itu berulang-ulang disampaikan. Tentu saja himbauan itu akan kurang efektif kalau airnya tidak tersedia. Mau mencuci pakai apa kalau airnya tidak ada, meskipun sabun tersedia?
Untuk masalah air minum ini tampaknya kita masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup banyak. Pengelolaan dan pelayanan air minum yang dilakukan oleh perusahaan daerah air minum di kota-kota di Indonesia belum bisa memuaskan semua fihak, dan masih berkutat pada masalah manajemen dan profesionalisme jasa layanan publik. Masyarakat, terutama di perkotaan pada umumnya terpaksa menggunakan air kemasan untuk keperluan air minumnya sehari hari, meskipun harganya berpuluh kali lebih mahal dari air PDAM. Ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Masalah pelayanan publik yang satu ini selalu berputar-putar di tempat yang sama dan perkembangannya dirasa sangat lambat.
Mengingat bahwa pemenuhan air minum adalah mandat Konstitusi, mestinya kita sudah memiliki Peta Jalan atau Roadmap air minum untuk beberapa puluh tahun kedepan. Peta Jalan tersebut diperlukan untuk menetapkan arah kebijakan air minum di masa mendatang. Â Pada kurun waktu yang berbeda sebelumnya, sebenarnya upaya-upaya sistematis untuk menetapkan target-target pemenuhan air minum sudah pernah dilakukan, meskipun untuk periode yang relatif lebih singkat. Misalnya Dasawarsa Air Bersih (Water Decade) pada periode 1971-1980. Waktu itu ada komitmen yang kuat dari Pemerintah, yang melibatkan tiga Departemen terkait (waktu itu), yaitu Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Kesehatan, yang melakukan komitmen bersama berskala nasional dalam pengembangan kebijakan sektor air minum untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan. Begitu intensifnya kegiatan koordinasi pada waktu itu, sehingga tiga direktur jenderal dari ketiga Departemen tersebut disebut sebagai 'the Three Musketeers'.
Untuk periode 2000-2015, PBB meluncurkan Millennium Development Goals (MDGs), termasuk didalamnya ada Goal 7 yang menetapkan target-target air minum dan sanitasi, namun kita terlambat mengantisipasinya. Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yang merupakan kelanjutan dari MDGs, menetapkan target-target capaian sampai tahun 2030, dimana air minum dan sanitasi masuk dalam Goal 6. Untuk kali ini Pemerintah lebih siap. Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, merupakan komitmen yang kuat dari Pemerintah untuk melaksanakan TPB secara serius dan konsisten. Tapi ini belum cukup, target capaian TPB adalah tahun 2030, hanya tersisa sepuluh tahun dari sekarang, bagaimana arah kebijakan setelah tahun 2030? Mestinya kita memiliki Peta Jalan atau Roadmap Air Minum, paling tidak sampai 2045, atau dua puluh lima tahun dari sekarang, bertepatan dengan 100 tahun lahirnya Bangsa Indonesia.
Ternyata Pemerintah cukup tanggap, pada Rabu, 4 Maret 2020, sebagai hasil kerjasama Kementerian PUPR, Bappenas dan Bank Dunia, telah diselenggarakan Lokakarya Peta Jalan Air Minum, yang dihadiri oleh instansi terkait, para pakar dan akademisi, lembaga-lembaga internasional, serta praktisi air minum. Disadari bahwa masalah air minum melibatkan banyak pihak. Undang Undang  No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kembali urusan wajib pemerintah daerah kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar, termasuk di dalamnya pelayanan air minum. Pada pelaksanaannya, peran pemerintah pusat masih sangat dominan, khususnya dalam pendanaan. Terbatasnya kemampuan sebagian pemerintah daerah, pada umumnya menjadi bahan pertimbangan untuk dukungan pendanaan pemerintah pusat. Bukan saja keterbatasan kemampuan fiskal, akan tetapi juga keterbatasan pemahaman dan kurangnya kepedulian sebagian besar kepala daerah terhadap pelayanan air minum bagi masyarakatnya.
Di sisi lain, profesionalisme dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) sebagian besar PDAM, yang nota bene perusahaan milik daerah, juga masih rendah, yang antara lain disebabkan karena terlalu banyaknya jumlah PDAM di Indonesia, sedangkan skala operasinya terlalu kecil sehingga tidak layak secara finansial. Catatan Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Kementerian PUPR menunjukkan bahwa pada tahun 2017, dari 381 PDAM di Indonesia, hampir dua pertiganya (245 PDAM) memliki pelanggan kurang dari 20 ribu, padahal agar layak secara finansial, paling tidak perusahaan harus memiliki 50 ribu pelanggan.Â
Economic Consulting Associates (ECA), perusahaan konsultan dari Inggeris yang diminta menyusun Peta Jalan, merekomendasikan agar dalam jangka panjang perlu difikirkan penggabungan PDAM secara selektif atau berbasis provinsi. Rekomendasi ECA juga menyangkut aspek-aspek kebijakan, kelembagaan, investasi dan pengamanan air, dengan visi jangka panjang sampai 2045. Bappenas menargetkan pada tahun 2036 Indonesia bisa lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah ('middle income trap country'), untuk menyongsong era Indonesia Maju tahun 2045, dengan PDB sebesar 23.199 dolar AS. Dalam melaksanakan Peta Jalan tersebut, ECA menyarankan agar persiapannya sudah mulai dilakukan pada periode RPJMN 2020-2024. Sebagian dari rekomendasi ECA juga sudah masuk dalam RPJMN 2020-2024 yang telah terbit melalui Peraturan Presiden No 18 Tahun 2020.Â
Peta Jalan sudah dibuat dan langkah-langkah persiapan sudah dirancang, demikian pula program-program pendukungnya, seperti platform untuk pelayanan air minum di perkotaan, di perdesaan dan skema regional. Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, sebagian dari program-program tersebut akan terganggu, dan pendanaan terpangkas karena Pemerintah fokus pada penanganan dan pencegahan penyebaran virus korona. Yang perlu dilakukan adalah memelihara semangat dan  menjaga kerjasama lintas instansi, agar persiapan-persiapan yang sudah dan akan dilakukan, diteruskan setelah wabah berlalu. Masih ada waktu untuk menyusun kembali ingatan-ingatan yang terkoyak karena pandemi, dan diharapkan pada akhir 2024 kita sudah memiliki persiapan yang matang untuk melaksanakan Peta Jalan Air Minum Menuju Indonesia Maju, 2045.
Tapi kita tidak boleh menunggu, seyogyanya kualitas pelayanan air minum terus dilanjutkan dan ditingkatkan, karena air minum adalah kebutuhan dasar yang menjadi hak warganegara, tidak terkecuali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H