Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Ternyata Tidak Hilang dari Peta (Sebuah Tulisan Satire)

14 Desember 2009   15:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan salah seorang Kompasianer yang menyatakan bahwa Indonesia telah hilang dari peta dunia, saya penasaran dan membuka peta, ternyata tidak. Saya masih menemukan Indonesia dalam peta. Indonesia masih tetap ada! Akan tetapi sewaktu saya “zooming” peta tersebut, rupaya sedang ada gerakan tidak bersuara secara masal. Tidak ada satu suarapun yang terdengar. Rupanya inilah penyebab kenapa Indonesia hilang dari peta dunia, karena tidak ada suara manusia yang terdengar dari seluruh pelosok negeri yang besar ini, satelit ruang angkasa milik AS pun tidak mendeteki adanya suara manusia, sehingga mungkin disimpulkan bahwa negeri ini tidak lagi eksis!

Saya coba lagi “zooming” lebih dekat, ternyata di suatu tempat yang menyerupai kota Makassar sedang berlangsung demo yang sengit menggugat kasus Bank Century, tapi karena dilakukan tanpa bersuara, tidak terdengar suara apapun dari para demonstran, kecuali acungan-acungan kepalan tangan dan muka-muka yang sedang marah. Saya makin penasaran, saya coba lagi “zooming” ke tempat lain, kali ini sepertinya kota Jakarta, tepatnya gedung DPR yang megah di Senayan. Wah, ini lebih seru, karena DPR kebetulan sedang bersidang, tapi sidang berlangsung kacau, karena hujan interupsi para anggota DPR tidak digubris oleh Ketua Sidang. Tentu saja karena tidak ada suara apapun yang terdengar, kecuali suara meja yang dipukul-pukul dengan kepalan tangan.

Sasaran “zooming” saya berikutnya adalah kawasan yang tampak seperti Pasar Tanah Abang. Wah nyaman betul rasanya disini, meskipun ramai tapi tidak terdengar teriakan-teriakan penjual barang-barang kelontong di pinggir jalan, juga tidak terdengar teriakan kernet bis yang memanggil-manggil penumpang. Meskipun ramai, jalanan terasa sepi dari sumpah serapah orang yang terserempet motor. Andaikan gerakan tidak bersuara ini berlangsung lama, damai rasanya dunia.

Tapi saya terkejut sewaktu membuka Kompasiana, ternyata jumlah Kompasianer melonjak tajam. Kalau sebelumnya hanya sekitar tiga ribuan, sekarang jumlahnya meningkat lebih dari sepuluh ribu, hanya dalam dua hari, sampai Admin-pun kewalahan. Rupanya Kompasiana dijadikan sasaran berbagai keluhan dan unek-unek, yang tidak bisa disalurkan lewat kata-kata, karena menulis dan membaca tidak dilarang, karena tokh tidak ada suaranya.

(foto oleh penulis dari koleksi astrofoto)

Saya penasaran, lalu saya buka lagi peta yang saya pegang. Oh, ternyata yang saya sedang amati adalah peta bulan, pantas saja tidak ada suara apapun yang terdengar. Sayapun terbangun dari tidur sekejap di kursi malas begitu adzan Maghrib berkumandang. Rupanya saya hanya bermimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun