Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Robohnya Bangunan di Pasar Tanah Abang, Apanya yang Salah?

29 Desember 2009   00:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:44 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_44947" align="alignleft" width="300" caption="Pasar tanah Abang (www.adhi.co.id)"][/caption]

Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan robohnya salah satu bangunan di Pasar Tanah Abang, kompleks pertokoan grosir terbesar di Asia Tenggara, yang membawa korban jiwa dan luka-luka. Ingatan saya kembali ketika jembatan penghubung gedung Sarinah dan Djakarta Theater roboh pada tahun 1981 silam. Perbedaannya, jembatan penghubung Sarinah itu roboh setelah lama digunakan, sedangkan bangunan di Pasar Tanah Abang adalah bangunan yang belum selesai dan merupakan annex atau tambahan dari bangunan induk yang sudah ada. Setelah saya telusuri berita-berita seputar robohnya bangunan tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa bangunan tersebut ternyata tidak memiliki izin bangunan. Dalam kejadian itu Gubernur Fauzi Bowo, seperti dikutip Tempo Interaktif, mengatakan bahwa dalam setiap pembangunan pasar harus ada koefisien dasar bangunan. “Saya yakin kalau yang ada izinnya pasti tidak akan roboh. Kalau tidak ada izinnya pasti roboh," katanya.

Saya menilai ucapan Gubernur Fauzi Bowo itu benar tapi kurang tepat. Robohnya bangunan dan izin bangunan adalah dua hal yang berbeda. Robohnya bangunan disebabkan oleh berbagai hal. Pertama masalah perencanaan teknis atau rancang bangun. Bisa saja bangunan itu roboh karena ada kesalahan dalam rancang bangunnya, misalnya ukuran tulangan beton yang dipakai kurang besar, atau yang seharusnya menjadi tulangan tarik menjadi tulangan tekan, dan ini bisa sangat fatal akibatnya. Kedua adalah masalah pelaksanaan konstruksi, dimana kontraktor yang memenangkan tender pekerjaan tersebut tidak mengikuti spesifikasi teknis yang telah ditetapkan dalam dokumen pelelangan. Misalnya campuran beton tidak sesuai dengan yang tertuang dalam spesifikasi, atau bisa juga konsultan pengawas tidak mengawasi pekerjaan dengan benar, sehingga kesalahan dalam konstruksi luput dari pengawasannya. Untuk masalah yang pertama, yang bertanggung jawab adalah konsultan perencana, sedangkan untuk masalah yang kedua, kontraktor dan konsultan pengawas sama-sama bertanggung jawab. Untuk bangunan sederhana seperti ini, saya meragukan kalau ada kesalahan dalam rancang bangun maupun dalam pelaksanaannya. Lalu, apanya yang salah?

Katakanlah bangunan tambahan itu memiliki izin bangunan, apakah kesalahan rancang bangun dan konstruksi bisa terjadi? Bisa saja, apabila misalnya izin bangunan dikeluarkan terhadap pekerjaan yang rancang bangunnya dikerjakan oleh konsultan yang tidak berpengalaman, dan pelaksanaannya dilakukan oleh kontraktor yang dipilih tanpa melalui proses tender yang sesuai dengan aturan. Apabila izin bangunan diterbitkan karena kecerobohan atau ketidak-telitian dalam memeriksa dokumen, kita bisa mengangapnya sebagai human error, atau kesalahan manusia. Tapi apabila izin bangunan tetap diterbitkan padahal ada yang salah dalam rancang bangunnya, maka saya bisa mengatakan ini ada morality error, kesalahan moralitas, dan ini sangat berbahaya. Izin bisa tetap keluar karena adanya praktek kolutif antara peminta izin dan pemberi izin. Demikian pula dalam pelaksanaannya, morality error terjadi pada saat dilaksanakannya proses pelelangan, dimana praktek kolutif sekali lagi bisa menjadi penyebabnya.

Apabila memang izin bangunan tidak dikeluarkan, itu tentu sepenuhnya menjadi kesalahan fihak pemilik bangunan. Meskipun saya masih mempertanyakan kenapa kalau memang tidak ada izinnya pembuatan bangunan itu luput dari pengawasan Pemda DKI. Sewaktu lewat Pasar Tanah Abang kemarin, saya lihat ada papan pengumuman besar berwarna merah mencolok yang bunyinya: BANGUNAN INI DISEGEL, yang ditempel pada sebuah bangunan berlantai banyak yang masih berupa rangka baja. Jadi selama ini, bangunan yang baru dikerjakan tersebut, meskipun cukup mencolok, luput dari pengawasan? Bagaimana apabila bangunan annex kecil tadi tidak rubuh?Apakah konstruksi berlantai banyak yang sedang dibangun tersebut akan tetap dilanjutkan meskipun tanpa izin? Apakah ada human error disini, atau bahkan morality error?

Jadi izin bangunan dan robohnya bangunan adalah dua hal yang berbeda, yang pertama adalah masalah legal atau aturan, sedang yang kedua adalah masalah teknis. Tulisan ini, seperti tertera pada judulnya, bukan untuk mencari siapa yang salah, biarlah itu menjadi urusan polisi dan instansi yang berwenang. Yang saya pertanyakan adalah, apanya yang salah dengan robohnya bangunan tersebut? Dan dari analisis singkat tadi, kesalahan bisa terjadi karena human error, tapi juga bisa terjadi karena morality error, dua-duanya adalah kesalahan, tapi kesalahan yang kedua menurut saya menjadi hal yang serius, karena ini mencerminkan moralitas orang-orang yang terkait dengan robohnya bangunan, baik itu pemilik bangunan maupun instansi yang mengeluarkan izin bangunan. Mungkin juga analisis saya yang salah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun