Mohon tunggu...
Risscoklat
Risscoklat Mohon Tunggu... Petani - Perempuan.

Menulis adalah cara saya mengingatkan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hujan dan Kita

5 Januari 2020   12:05 Diperbarui: 5 Januari 2020   17:10 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sebenarnya tidak menyukai hal-hal sampai benar-benar menjadi ciri khasku. Beberapa orang boleh jadi menyukai kucing, doraemon, kartun lain, es krim, bunga, atau apa saja yang bisa membuat kita memikirkan orang tersebut hanya melihat barang atau hal-hal yang bersangkutan dengannya.

Tapi hari ini hujan, Sayang.
Aku tidak begitu menyukainya seperti seseorang yang bisa menyukai musik karena ada nyawa lain di dalamnya, seseorang menyukai kopi, senja, atau puisi.

Entah kenapa aku seolah menjadi terbiasa memperhatikan air yang menetes dan bunyinya keras sekali. Rasanya memang ada kamu di setiap semilir angin, tempias hujan yang masuk ke jendela kamarku. Kamu seolah mengikat dengan air-air itu.

Lalu aku mendadak menjadi perempuan yang menulis hujan, sambil mengingat hal-hal tentangmu. Kamu pernah bilang begini, "Riss, mau tahu rahasia konyolku?"

Aku mengangguk seperti biasanya. Aku mendengarkan dan meresapi apa yang kamu ceritakan. Sebagai teman yang baik, aku ingin ada di dekatmu dan kita saling berbagi tentang apa saja.

"Jangan bilang siapapun kalau aku menyukai hujan."

Spontan aku tertawa, jahat memang kalau sambil melihat wajah sangarmu yang melotot ke arahku. Kau sepertinya sedang membuat lelucon dengan mimik muka menggelikan, cemberut. Seperti anak muda saja  yang mengeluarkan jurus aneh ketika marah-marah.

Lagipula, hujan kali ini sedikit berbeda. Meskipun ada kamu, tetapi nyatanya ada kita yang dikoyak masa. Aku ingat genggaman tanganmu yang erat, meski aku memarahimu habis-habisan.

Aku bisa membaca wajahmu yang menyesal, keinginan meminta maaf, dan keinginan-keinginan lain yang kuabaikan begitu saja. Malam itu, kau yang sepertinya mabuk dihantam perasaan. Sedangkan aku masih waras, pikiranku masih berjalan ekstra demi menghalau kepayahan perkara kamu dan tetek bengeknya.

"Riss, kau nanti dengan siapa saja."
Bicaramu semakin melantur, tangan kita kembali bertaut, matamu yang biasanya nyalang itu meredup di hadapanku.

"Aku tetap mencintaimu, entah sampai kapan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun