Aku sebenarnya tidak menyukai hal-hal sampai benar-benar menjadi ciri khasku. Beberapa orang boleh jadi menyukai kucing, doraemon, kartun lain, es krim, bunga, atau apa saja yang bisa membuat kita memikirkan orang tersebut hanya melihat barang atau hal-hal yang bersangkutan dengannya.
Tapi hari ini hujan, Sayang.
Aku tidak begitu menyukainya seperti seseorang yang bisa menyukai musik karena ada nyawa lain di dalamnya, seseorang menyukai kopi, senja, atau puisi.
Entah kenapa aku seolah menjadi terbiasa memperhatikan air yang menetes dan bunyinya keras sekali. Rasanya memang ada kamu di setiap semilir angin, tempias hujan yang masuk ke jendela kamarku. Kamu seolah mengikat dengan air-air itu.
Lalu aku mendadak menjadi perempuan yang menulis hujan, sambil mengingat hal-hal tentangmu. Kamu pernah bilang begini, "Riss, mau tahu rahasia konyolku?"
Aku mengangguk seperti biasanya. Aku mendengarkan dan meresapi apa yang kamu ceritakan. Sebagai teman yang baik, aku ingin ada di dekatmu dan kita saling berbagi tentang apa saja.
"Jangan bilang siapapun kalau aku menyukai hujan."
Spontan aku tertawa, jahat memang kalau sambil melihat wajah sangarmu yang melotot ke arahku. Kau sepertinya sedang membuat lelucon dengan mimik muka menggelikan, cemberut. Seperti anak muda saja  yang mengeluarkan jurus aneh ketika marah-marah.
Lagipula, hujan kali ini sedikit berbeda. Meskipun ada kamu, tetapi nyatanya ada kita yang dikoyak masa. Aku ingat genggaman tanganmu yang erat, meski aku memarahimu habis-habisan.
Aku bisa membaca wajahmu yang menyesal, keinginan meminta maaf, dan keinginan-keinginan lain yang kuabaikan begitu saja. Malam itu, kau yang sepertinya mabuk dihantam perasaan. Sedangkan aku masih waras, pikiranku masih berjalan ekstra demi menghalau kepayahan perkara kamu dan tetek bengeknya.
"Riss, kau nanti dengan siapa saja."
Bicaramu semakin melantur, tangan kita kembali bertaut, matamu yang biasanya nyalang itu meredup di hadapanku.
"Aku tetap mencintaimu, entah sampai kapan."