Mohon tunggu...
Humaniora

Kelembagaan Penanggulangan Bencana di ASEAN

30 Oktober 2016   13:34 Diperbarui: 30 Oktober 2016   14:29 4078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana alam telah terjadi sejak zaman prasejarah, di banyak tempat, dan menyerang banyak negara. Bencana didefinisikan sebagai: "gangguan serius dari berfungsinya suatu komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian terhadap manusia, bangunan, ekonomi atau lingkungan yang luas yang melebihi kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasinya menggunakan sumber daya sendiri" (UNISDR, 2012). Dalam redaksi kalimat yang lain, pusat penelitian yang sudah cukup terkenal yaitu Center for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) mendefinisikan bencana sebagai: "suatu situasi atau peristiwa yang melampaui kemampuan masyarakat lokal, sehingga memerlukan bantuan dari tingkat nasional atau internasional, atau diakui oleh lembaga multilateral atau diakui setidaknya oleh dua sumber, seperti kelompok bantuan nasional, regional atau internasional dan dari media" (CRED 2012 di sini).

Dari dua definisi ini kita dapat memahami bahwa ada dua perspektif dalam memandang bencana, perspektif pertama berfokus pada bahaya dan kerentanan, serta perspektif yang kedua berfokus pada kemampuan dan kapasitas untuk mengatasi bencana. Terkait dengan perspektif kedua ini, Hyogo Framework for Action (HFA) jelas menyebutkan bahwa masalah pemerintahan dan kelembagaan merupakan bidang prioritas nomor 1 yang menjadi kebutuhan dasar untuk mencapai 4 bidang prioritas lainnya. Namun sayangnya pada periode 2007 - 2009, pencapaian bidang prioritas nomor 1 ini menunjukkan peningkatan yang paling kecil dibandingkan dengan bidang prioritas lainnya.

Mengacu pada prioritas nomor 1 HFA, ASEAN sebagai organisasi regional telah membuat kesepakatan yaitu ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) yang bertujuan untuk mengurangi korban jiwa dan kerusakan yang mempengaruhi, ekonomi, sosial, fisik, dan lingkungan dari negara-negara anggota ASEAN yang disebabkan oleh bencana alam. Tujuannya kini telah diwujudkan melalui pembentukan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance (AHA Centre) yang telah diratifikasi oleh 10 negara anggota ASEAN sejak tahun 2011.

Sebagaimana diatur dalam pasal 22 AADMER, maka setiap negara yang menandatangani dokumen itu harus menunjuk pihak berwenang sebagai National Focal Point (NFP) yang mewakili negara dalam AHA Center. NFP adalah lembaga atau organisasi yang diakui sebagai badan penanggulangan bencana nasional yang secara resmi ditetapkan oleh pemimpin masing-masing negara. lembaga ini akan berwenang untuk mengirim dan menerima informasi situasi bencana, informasi bantuan, dan informasi yang mewakili pemimpin negara. Badan-badan ini adalah:

  1. Brunei Darussalam, National Disaster Management Centre.
  2. Kamboja, National Committee for Disaster Management.
  3. Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
  4. Laos, National Disaster Management Office Departement of Social Welfare.
  5. Malaysia, National Security Council.
  6. Myanmar, Relief and Resettlement Departement.
  7. Filipina, National Disaster Risk Reduction and Management Council and Administrator.
  8. Singapura, Singapore Civil Defense Force.
  9. Thailand, Departement of Disaster Prevention and Mitigation.
  10. Vietnam, Directorate of Departement of Dyke Management and Flood, Storm Control.

Kesepuluh badan nasional penanggulangan bencana ini memiliki banyak karakteristik yang menarik yang akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

TIPOLOGI ANCAMAN BENCANA DI WILAYAH ASEAN

Sebelum membahas tentang karakteristik dan kapasitas badan penanggulangan bencana nasional di negara-negara ASEAN, akan lebih baik untuk memahami lebih dahulu jenis ancaman atau bahaya dan kerentanan sebagai dasar kebutuhan kapasitas penanggulangan bencana. Memang, Asia Tenggara merupakan wilayah yang rawan bencana sesuai dengan kondisi geografis, geologis dan sosio-demografisnya. Secara geografis, Asia Tenggara merupakan wilayah yang terdiri dari mayoritas lautan dan terletak di dekat garis khatulistiwa sehingga Asia Tenggara dipengaruhi oleh iklim laut tropis, terutama di Indonesia, yang persis di tengah-tengah khatulistiwa (Daldjoeni, 2003).

Kondisi iklim laut tropis menciptakan curah hujan di wilayah tersebut sehingga meningkatkan kerentanan terhadap banjir dan banjir pasang akibat curah hujan yang tinggi, dan tanah longsor karena hujan di dataran tinggi, khususnya di Indonesia, yang memiliki garis pantai terpanjang dan pengaturan topografi paling beragam (Lubis, 2009). Sementara itu, ketika musim kemarau saat curah hujan sangat rendah, potensi kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi lebih tinggi karena kelalaian manusia mengolah lahan pertanian atau perkebunan. Di wilayah Timur Laut dari ASEAN, pembentukan geografis ini menciptakan kerentanan terjadinya badai, misalnya topan Haiyan yang melanda Filipina pada tahun 2013.

Secara geologis, wilayah Asia Tenggara terletak di antara 3 dan 2 lempeng vulkanik, yang meliputi sirkum Pasifik dan sirkum-Mediterania (Winchester, 2006). Akibatnya, sebagian besar wilayah Asia Tenggara rentan terhadap bencana akibat aktivitas geologi yang tinggi, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi bawah laut, bahkan termasuk bencana yang disebabkan oleh lumpur di daerah eksplorasi PT Lapindo Brantas. Bahkan bencana geologi yang disebabkan oleh kerentanan pernah menyita perhatian dunia ke Indonesia ketika terjadi gempa 8,4 skala Richter yang diikuti dengan tsunami, yang melanda Indonesia, Thailand dan Malaysia pada akhir tahun 2004 yang mengakibatkan korban meninggal dan hilang lebih dari 200.000 penduduk. (Kompas, 23 Januari 2005).

Kemudian dari faktor sosio-demografis, Asia Tenggara juga sangat rentan. Kerentanan ini terkait dengan populasi Asia Tenggara yang memiliki lebih dari 610 juta orang (UN-ESCAP, 2013), yang tidak hanya dipisahkan batas teritorial tetapi juga etnis, agama, ras dan berbagai kelompok kepentingan. Segregasi sosial memiliki potensi untuk memicu konflik horisontal, ketika kontrol sumber daya sangat tidak merata, sehingga masalah kepentingan ekonomi di tingkat masyarakat bisa memicu konflik besar seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 80-an di Monterado, tahun 90-an di Kecamatan Sanggau Sampit dan juga Ambon, Poso dan Ternate pada awal tahun 2000 (LEAD-UNDP, 2006). Dalam pola yang sama, konflik antar-etnis atau agama juga terjadi di Filipina, serta konflik antara militer dan sipil di Myanmar dan Thailand.

Selain itu, ada juga jenis lain dari ancaman yang umum di beberapa negara yang tidak terekspos secara signifikan seperti bencana alam, yaitu kegagalan teknologi dan wabah penyakit. Beberapa negara yang memiliki perkembangan industri teknologi tinggi di daerah yang terbatas—seperti di Singapura dan Malaysia—relatif berisiko tinggi terhadap bencana akibat kegagalan teknologi. Sementara itu, beberapa negara di mana frekuensi mobilitas keluar dan masuk cukup tinggi, seperti Singapura, Indonesia, Malaysia dan Thailand, menjadi sangat rentan terhadap penyebaran wabah penyakit, seperti flu burung (virus H5N1), SARS, flu babi, dan virus ebola. Faktor lain selain faktor mobilitas manusia adalah faktor kelemahan kebijakan dalam pengawasan kesehatan seperti di Myanmar, Laos dan Vietnam sehingga juga rentan terdampak wabah penyakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun