“Every risk is worth taking as long as it’s for a good cause, and contributes to a good life” (Richard Branson)
Dalam empat tahun terakhir, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bersama pemangku kepentingan bencana nasional telah memilih momentum untuk menjadikan bulan Oktober sebagai bulan PRB (Pengurangan Risiko Bencana). Penentuan bulan PRB ini mengacu pada penetapan tanggal 13 Oktober sudah ditetapkan sebagai hari peringatan Pengurangan Risiko Bencana Internasional oleh UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction) sejak tahun 2009.
PRB memang sudah menjadi sebuah tema pengarusutamaan penanggulangan bencana nasional yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 37, UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan juga didokumentasikan dalam Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2015 – 2019. Hal ini diperkuat juga dengan telah tersusunnya dua kali dokumen Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB), yakni pada periode 2006 – 2009 dan periode 2010 – 2012.
Upaya PRB ini juga sudah sejalan dengan amanat kesepakatan internasional yang tertuang dalam Hyogo Framework for Action (HFA) 2005 – 2015, yang kemudian dilanjutkan ke dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015 – 2030, yang juga dikenal dengan HFA-2. Meskipun publik secara umum tidak terlalu mengetahui pencapaian dari mandat dokumen HFA, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mendapatkan trofi Global Champion of Disaster Risk Reduction dari PBB pada tahun 2011. Hal ini berarti bahwa Indonesia telah mendapat pengakuan atas kemampuan melaksanakan PRB.
Ironisnya, peringatan bulan PRB tahun ini justru diawali dengan sejumlah kejadian bencana yang mengakibatkan kerugian materil dan korban jiwa hingga puluhan orang. Seperti misalnya longsor di Purworejo pada bulan Juni yang lalu dan juga kejadian banjir bandang yang terjadi di Garut akhir September, hingga ke banjir di Bandung dalam bulan Oktober ini. Demikian pula ancaman bencana hidro-metereologi yang tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Potensi hujan yang akan mengakibatkan banjir dan juga longsor di beberapa daerah di Indonesia tampaknya belum akan berakhir hingga akhir tahun ini.
Paradoks ini pada akhirnya memunculkan pertanyaan besar, apakah memang upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan selama ini sudah benar-benar mengurangi risiko yang ada di tengah masyarakat Indonesia yang umumnya memang hidup berdekatan dengan ancaman bencana?
Gagasan vs Tindakan
Sebagai sebuah wacana pada tataran gagasan, PRB memang telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Pengetahuan tentang kebencanaan sudah semakin sering diperbincangkan di tataran publik hingga ke forum-forum ilmiah. Kesadaran untuk lebih mengenali ancaman bencana agar dapat menurunkan kerentanan dan pada saat bersamaan meningkatkan kapasitas pengelolaan bencana, telah diintrodusir dengan baik hingga ke tingkat pemerintahan kabupaten / kota.
Namun sayangnya, kesadaran akan arti penting PRB ini belum secara optimal diikuti dengan tindakan nyata mengurangi risiko bencana hingga ke tingkat tata kelola pemerintahan daerah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yang hidup dekat dengan ancaman bencana. Hal ini terbukti dengan masih linearnya data kegiatan upaya PRB yang memang meningkat, dengan kerugian dan jumlah korban yang terdampak bencana alam yang belum juga menurun secara signifikan.
Pertemuan antara gagasan PRB dengan tindakan PRB adalah sebuah awal dialektika yang sangat baik bagi upaya PRB. Tanpa gagasan, tindakan PRB akan menjadi tidak terarah dan tanpa makna (meaningless). Sementara tanpa tindakan yang nyata, gagasan PRB hanya akan menjadi penambah luka yang dirasakan para korban bencana.
Secara konsepsi, PRB seharusnya melekat pada perencanaan pembangunan daerah yang mencakup gagasan dan sekaligus tindakan. Namun harus diakui bahwa PRB di Indonesia masih didominasi oleh dialektika gagasan yang belum mampu benar-benar menurunkan risiko bencana dalam koteks pembangunan daerah.
Faktanya, ancaman bencana yang sangat beragam akan terus ada di berbagai daerah di nusantara tercinta ini: ratusan gunung api, ribuan patahan tektonis dan jutaan galon air yang jatuh disaat musim penghujan berkepanjangan, yang dapat merendam daerah tertentu dan juga memicu terjadinya tanah longsor. Oleh karena itu, PRB pada tataran tindakan harus terus didorong untuk melengkapi gagasan ideal tentang PRB, khususnya pada tingkat pemerintah daerah yang teridentifikasi memiliki ancaman bencana tertentu.
Evidence-based Policy Making
Dialektika PRB pada tataran tindakan ini tentunya akan semakin optimal ketika pengambilan kebijakan penanggulangan bencana oleh BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) benar-benar dilakukan secara cerdas. Yakni dengan mengambil keputusan berdasarkan pembelajaran dari informasi dan data yang valid tentang ancaman, kerentanan dan kapasitas penanggulangan bencana.
BNPB sudah 2 kali merilis database kebencanaan per kabupaten / kota, yaitu Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) pada tahun 2011 dan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) pada tahun 2013. Perbedaan kedua indeks ini terletak pada dasar penetapan rangking kabupaten / kota. Pada IRBI tahun 2011 rangking ditentukan hanya berdasar potensi ancaman bencana, sedangkan pada IRBI 2013 rangking ditentukan atas perhitungan risiko yang terdiri dari: potensi ancaman bencana, variabel kerentanan dan kapasitas penanggulangan bencananya.
IRBI ini seharusnya bisa menjadi semacam rapor bagi pentingnya PRB di daerah kabupaten / kota tertentu. Ketika sebuah kabupaten / kota berada pada rangking teratas dari indeks tersebut, itu artinya adalah mereka sedang mendapat nilai merah yang harus segera diperbaiki agar tidak perlu ada korban jiwa jika terjadi bencana yang sama di masa yang akan datang.
Untuk itu, peringatan bulan PRB ini seharusnya bisa menjadi momentum pengingat bagi para pemangku kepentingan kebencanaan hingga ke tingkat daerah, agar menjadikan PRB tidak lagi hanya berdialektika pada tingkat gagasan, tetapi juga dilengkapi dengan dialektika tindakan yang pada akhirnya menciptakan sintesis berupa zero risk.
Artinya, mengacu pada kutipan Richard Branson di atas, meskipun pernah mengalami risiko bencana yang paling menyakitkan sekalipun, seharusnya risiko itu layak menjadi pembelajaran pengambilan kebijakan untuk dapat benar-benar mengurangi risiko—terutama korban jiwa—pada kejadian-kejadian bencana berikutnya.
Semoga Indonesia semakin tangguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H