Mohon tunggu...
Risqi Ariansyah
Risqi Ariansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Universitas Dian Nusantara

Mengkoleksi barang antik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kepemimpinan: Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme_Max Weber

27 November 2024   22:15 Diperbarui: 27 November 2024   22:19 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri, Prof Apollo,2014
Dokpri, Prof Apollo,2014

Dokpri, Prof Apollo,2014
Dokpri, Prof Apollo,2014

dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah memengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun, devosi keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan. Mengapa hal ini tidak terjadi dengan Protestanisme? Weber membahas apa yang kelihatan sebagai paradoks ini dalam bukunya.

Ia mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas pada budaya Barat bila hal itu dipandang sebagai sikap individual, tetapi bahwa upaya individual yang heroik demikian ia menyebutnya tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang sederhana. Seperti yang ditulisnya dalam esainya:

Apa suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari kapitalisme… dapat mendominasi gaya hidup yang lainnya, ia harus muncul dari suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi yang terpisah saja, melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan kelompok manusianya.
Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme', Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya telah mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan perkembangan komersilisme.

Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan — logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.

Weber menelusuri asal usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang idividu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas irarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius keagamaan" seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.

Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun.

Dalam pengertian yang sederhana "paradoks" yang ditemukan Weber adalah:

Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekuler dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.
Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemewahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandang negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.
Cara memecahkan paradoks ini, demikian Weber, adalah menginvestasikan uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme.

Pada saat ia menulis esai ini, Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan penghematan, tetapi pada umumnya tidak mengandung isi rohani.

Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.

Perlu dicatat bahwa Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama Puritan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antara observasi dengan matematika, aturan-aturan ilmiah dan yurisprudensi, sistematisasi rasional terhadap administrasi pemerintahan, dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi dari magi, pembebasan dari ilusi dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya Barat.

Weber menyatakan dalam catatan kaki terakhirnya bahwa ia meninggalkan penelitian terhadap Protestanisme karena rekannya Ernst Troeltsch, a seorang teolog profesional, telah mulai menulis buku Ajaran Sosial Gereja-gereja Kristen dan Sekte. Alasan lain untuk keputusan Weber ini ialah bahwa esainya telah memberikan perspektif untuk perbandingan yang luas antara agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya dalam karya-karyanya berikutnya (studi tentang agama di Tiongkok, India, dan agama Yudaisme.)

Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional, kekayaan. Pada suatu titik tertentu, rasional ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.

Esai ini juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx dan teori-teorinya. Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia - termasuk agama - didasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika Protestan memalingkan kepalanya dari teori ini dengan menyiratkan bahwa gerakan keagamaan memperkuat kapitalisme, dan bukan sebaliknya.

Tindakan sosial adalah salah satu konsep penting dalam sosiologi yang dikemukakan oleh Max Weber, seorang ahli sosiologi dan sejarah Jerman. Weber melihat sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tindakan sosial antar hubungan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Tindakan sosial memiliki makna subjektif bagi pelakunya dan dipengaruhi oleh situasi dan konteks sosial.

Weber membedakan empat tipe tindakan sosial yang ideal, yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Tipe-tipe ini dibedakan berdasarkan motif, tujuan, cara, dan nilai yang melandasi tindakan sosial. Dalam artikel ini, kita akan membahas ciri-ciri dan contoh dari masing-masing tipe tindakan sosial tersebut.

Mengapa tindakan sosial instrumental-rasional adalah tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan. Dalam hal ini, pelaku memilih cara yang paling efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara rasional. Pelaku tidak terikat oleh nilai-nilai, tradisi, atau emosi, melainkan oleh logika dan kalkulasi. Contoh dari tindakan sosial instrumental-rasional adalah bekerja keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup, berinvestasi di pasar saham untuk mendapatkan keuntungan maksimal, atau memilih sekolah terbaik untuk menjamin masa depan yang cerah.

Tindakan sosial berorientasi nilai adalah tindakan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar dalam masyarakat. Dalam hal ini, pelaku melakukan tindakan sesuai dengan keyakinan, prinsip, atau ideologi yang diyakini secara pribadi. Pelaku tidak mempertanyakan tujuan atau nilai dari tindakannya, melainkan hanya memperhatikan cara yang sesuai dengan nilai tersebut.
Contoh dari tindakan sosial berorientasi nilai adalah beribadah sesuai dengan agama yang dianut, berpartisipasi dalam gerakan sosial untuk membela hak-hak tertentu, atau mengorbankan diri demi kepentingan nasional.

Tindakan sosial tradisional adalah tindakan yang tidak rasional karena berorientasi pada tradisi masa lalu. Dalam hal ini, pelaku melakukan tindakan berdasarkan kebiasaan, adat istiadat, atau norma sosial yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pelaku tidak mempertimbangkan akibat atau alternatif dari tindakannya, melainkan hanya mengikuti apa yang sudah menjadi tradisi.
Contoh dari tindakan sosial tradisional adalah membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua, merayakan hari raya tertentu sesuai dengan kalender tradisional, atau menikah sesuai dengan aturan adat.

Tindakan sosial afektif adalah tindakan yang ditentukan oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar Dalam hal ini, pelaku melakukan tindakan berdasarkan dorongan hati, afeksi, atau impuls spontan. Pelaku tidak memperhitungkan rasionalitas atau nilai dari tindakannya, melainkan hanya mengikuti apa yang dirasakannya.
Contoh dari tindakan sosial afektif adalah jatuh cinta pada seseorang tanpa alasan yang jelas, menangis saat sedih atau tertawa saat gembira, atau marah dan memukul seseorang yang menyakiti perasaannya.

Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku orang lain. Tindakan sosial memiliki makna subjektif bagi pelakunya dan dipengaruhi oleh situasi dan konteks sosial. Weber membedakan empat tipe tindakan sosial yang ideal, yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif.
Teori tindakan sosial Weber memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah teori ini dapat menjelaskan berbagai macam fenomena sosial dengan memperhatikan makna dan motif dari tindakan individu. Teori ini juga dapat menggabungkan perspektif subjektif dan objektif dalam menganalisis realitas sosial. Kekurangannya adalah teori ini sulit untuk diuji secara empiris karena makna dan motif bersifat subjektif dan tidak dapat diukur secara pasti. Teori ini juga cenderung mengabaikan struktur sosial yang membatasi pilihan dan peluang individu.

Dokpri, Prof Apollo,2014
Dokpri, Prof Apollo,2014

Dokpri, Prof Apollo,2014
Dokpri, Prof Apollo,2014

Dokpri, Prof Apollo,2014
Dokpri, Prof Apollo,2014

Power (kekuasaan) dan otoritas dominasi adalah konsep yang berkaitan erat dengan hubungan sosial dan politik, tetapi memiliki nuansa yang sedikit berbeda.

1. Power (Kekuasaan):
   Kekuasaan merujuk pada kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi, mengendalikan, atau mengarahkan tindakan orang lain sesuai dengan keinginan mereka. Kekuasaan dapat bersifat formal (seperti yang ditemukan dalam struktur hierarki organisasi) atau informal (seperti pengaruh sosial). Kekuasaan bisa dipertahankan melalui berbagai cara, seperti persetujuan, paksaan, atau pengaruh yang muncul dari sumber daya tertentu.

   Contoh: Seorang pemimpin negara yang memiliki kemampuan untuk memutuskan kebijakan nasional atau seorang manajer yang mengontrol jalannya sebuah perusahaan.

2. Otoritas Dominasi:
   Otoritas dominasi merujuk pada otoritas yang diberikan kepada seseorang atau kelompok untuk mendominasi atau mengendalikan situasi, individu, atau kelompok lain. Ini biasanya mencakup kontrol yang diterima atau diakui oleh pihak yang berada di bawah otoritas tersebut. Konsep ini sering kali terkait dengan hierarki sosial, di mana pihak yang dominan memiliki kekuasaan yang lebih besar dan dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang lebih besar.

   Dalam hal ini, dominasi lebih menekankan pada kontrol yang lebih kuat dan bersifat lebih mutlak dibandingkan kekuasaan biasa yang bisa lebih bersifat fleksibel atau terbatas.

Perbedaan utama:
- Kekuasaanlebih luas dan bisa terjadi dalam berbagai bentuk relasi sosial dan politik, baik dengan atau tanpa persetujuan dari pihak yang dikendalikan.
- Otoritas dominasi lebih mengarah pada bentuk kekuasaan yang diterima atau diakui oleh pihak yang dikuasai, sering kali terkait dengan hierarki atau kontrol yang lebih kuat dan permanen.

Secara singkat, kekuasaan bisa digunakan dalam berbagai cara untuk mempengaruhi orang lain, sementara otoritas dominasi mengacu pada hak atau kemampuan untuk mendominasi dan mengendalikan secara sah atau diakui.

Hubungan antara ekonomi dan agama memang dapat bersifat positif maupun negatif, tergantung pada konteks dan cara kedua hal ini saling berinteraksi. Mari kita lihat kedua sisi tersebut:

1. Hubungan Positif antara Ekonomi dan Agama:

- Etika Kerja dan Nilai Moral:
  Beberapa agama mendorong nilai kerja keras, kejujuran, dan kewajiban untuk membantu sesama. Nilai-nilai ini dapat meningkatkan produktivitas dan menciptakan fondasi untuk pertumbuhan ekonomi. Contohnya, dalam agama Kristen, Protestanisme sering dikaitkan dengan etika kerja yang kuat dan nilai kapitalisme modern (Max Weber).
 
- Pengentasan Kemiskinan dan Keadilan Sosial:
  Banyak agama mengajarkan tentang pentingnya mendukung mereka yang miskin atau tertindas. Prinsip ini mendorong kegiatan amal, zakat (dalam Islam), atau pelayanan sosial yang dapat membantu mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Secara lebih luas, ajaran agama dapat memperkuat sistem sosial yang mendukung kesejahteraan bersama.

- Keseimbangan dan Keteraturan Ekonomi:
  Beberapa ajaran agama mengajarkan pentingnya keseimbangan, seperti menghindari akumulasi kekayaan yang tidak adil atau mengurangi ketimpangan sosial. Dalam hal ini, agama bisa berperan sebagai pengingat untuk menjaga kesejahteraan sosial, keadilan, dan keberlanjutan dalam perekonomian.

2. Hubungan Negatif antara Ekonomi dan Agama:

- Eksploitasi dan Ketidakadilan Sosial:
  Dalam beberapa konteks, agama bisa digunakan untuk membenarkan ketidakadilan ekonomi atau eksploitasi. Misalnya, dalam beberapa masyarakat, ajaran agama mungkin digunakan oleh kelompok dominan untuk mempertahankan status quo yang tidak adil, seperti sistem kasta di India yang mungkin dipertahankan dengan alasan agama. Ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi.

- Penolakan terhadap Kemajuan Ekonomi:
  Beberapa interpretasi agama mungkin menolak perubahan atau kemajuan teknologi yang dapat mempengaruhi ekonomi, jika dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, ajaran agama konservatif bisa menentang inovasi yang dianggap merusak nilai-nilai moral atau sosial, sehingga bisa memperlambat kemajuan ekonomi.

- Ketergantungan pada Kehidupan Setelah Mati:
  Beberapa ajaran agama mungkin terlalu menekankan kehidupan setelah mati, yang bisa mengurangi motivasi individu untuk berpartisipasi aktif dalam perekonomian atau memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Hal ini dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan kemajuan ekonomi jika individu atau kelompok lebih fokus pada aspek spiritual daripada perkembangan material atau ekonomi.
Kesimpulan:
Hubungan ekonomi dan agama dapat saling menguntungkan apabila agama memberikan nilai positif yang memperkuat etika kerja, kesejahteraan sosial, dan keadilan ekonomi. Namun, dalam beberapa kasus, agama dapat juga menjadi alat untuk mempertahankan ketidaksetaraan atau menghambat kemajuan ekonomi. Sebagai hasilnya, hubungan ini sangat bergantung pada bagaimana ajaran agama diterjemahkan dan diterapkan dalam konteks sosial dan ekonomi yang spesifik.

Etika Protestan adalah konsep yang pertama kali dikemukakan oleh sosiolog Max Weber dalam bukunya yang berjudul The Protestant Ethnic and the Spirit of Capitalism(1905). Menurut Weber, etika Protestan, terutama yang berkembang dalam cabang Protestanisme seperti Kalpinisme, memiliki hubungan yang erat dengan lahirnya kapitalisme modern di Eropa.

Weber mengemukakan bahwa ajaran-ajaran agama Protestan, terutama yang menekankan kerja keras, disiplin, dan pengelolaan sumber daya secara efisien, memberikan landasan moral bagi perkembangan kapitalisme. Beberapa poin utama dalam etika Protestan adalah:

1. Pentingnya Kerja Keras dan Disiplin:Etika Protestan, khususnya dalam ajaran Calvinisme, mengajarkan bahwa kerja keras adalah salah satu bentuk panggilan hidup yang mendalam. Pekerjaan dilihat bukan hanya sebagai cara untuk mendapatkan penghasilan, tetapi juga sebagai cara untuk memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, individu yang menjalankan pekerjaannya dengan serius dan berdisiplin dipandang sebagai orang yang menjalankan kehidupan religius yang baik.

 2. Asketisme dan Pengendalian Diri:Etika Protestan mendorong penghindaran terhadap kemewahan dan hidup sederhana. Orang-orang Protestan, terutama dalam aliran Kalvinis, cenderung lebih fokus pada tabungan, investasi, dan pengelolaan keuangan yang bijaksana, bukan pada konsumsi berlebihan. Asketisme ini berarti menahan diri dari pengeluaran yang tidak perlu dan lebih mengutamakan reinvestasi keuntungan untuk berkembang.

3. Predestinasi:Dalam ajaran Kalpinisme, terdapat konsep predestinasi, yaitu keyakinan bahwa Tuhan telah menentukan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang tidak. Untuk membuktikan bahwa mereka adalah bagian dari orang yang terpilih, individu Protestan berusaha menunjukkan tanda-tanda keberhasilan material atau "berkat Tuhan" melalui kerja keras dan pencapaian mereka. Keberhasilan ekonomi sering kali dianggap sebagai indikator dari pemilihan ilahi.

4. Individualisme:Etika Protestan menekankan pentingnya individu dalam mencari panggilan hidup dan menjalani kehidupan secara mandiri. Masyarakat Protestan lebih mengutamakan pengembangan diri dan kesuksesan pribadi melalui usaha sendiri, yang mendukung pembentukan kapitalisme dengan memotivasi individu untuk mencapai keberhasilan ekonomi.
 

5. Rasionalitas dan Pengelolaan yang Efisien:Pengaruh etika Protestan dalam perkembangan kapitalisme modern juga terlihat dalam sikap rasional dan efisien dalam mengelola usaha dan sumber daya. Keinginan untuk mengelola waktu dan sumber daya secara efektif berkaitan dengan etika Protestan yang mendukung organisasi dan perencanaan yang cermat dalam bekerja.

Hubungan dengan Kapitalisme:Weber berpendapat bahwa etika Protestan memainkan peran penting dalam menciptakan "semangat kapitalisme" modern, di mana individu tidak hanya bekerja untuk bertahan hidup, tetapi juga berusaha untuk mendapatkan keuntungan dan memanfaatkan kesempatan secara efisien. Prinsip efisiensi dan penundaan kepuasan pribadi demi keuntungan jangka panjang menjadi landasan bagi pengembangan kapitalisme industri.

 Kritik dan Kontroversi:
Walaupun teori Weber cukup berpengaruh, ada kritik terhadap pandangannya, yang menganggap bahwa kapitalisme muncul karena faktor ekonomi dan struktural lainnya, bukan hanya akibat etika Protestan. Namun, pengaruh etika Protestan dalam membentuk nilai-nilai sosial dan ekonomi di dunia Barat tetap menjadi topik yang menarik dalam studi sosiologi dan sejarah ekonomi.

Sumber:

(1) Makalah Tindakan dan Interaksi Sosial antarindividu dan antarkelompok [DOC] | Academia.edu Link
(2) Tindakan sosial menurut Max Weber [PPT] | Academia.edu Link
(3) Tindakan sosial [DOC] | Academia.edu Link
(4) Analisis Tindakan Sosial Max Weber di Lingkungan Sekitar Masyarakat Makassar dalam Kehidupan Sehari-hari [PDF] | Academia.edu Link
(5) RPP – Tindakan Sosial di Dalam Masyarakat | Academia.edu Link
(6) Proses Proses Sosial Nilai dan Norma Sosial | Academia.edu Link

Dokpri, Prof Apollo,2014
Dokpri, Prof Apollo,2014

Dokpri, Prof Apollo,2014
Dokpri, Prof Apollo,2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun