Mohon tunggu...
Risqi Ariansyah
Risqi Ariansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Universitas Dian Nusantara

Mengkoleksi barang antik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Kepemimpinan Mangkunegaran IV

2 Oktober 2024   16:45 Diperbarui: 2 Oktober 2024   16:48 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama: Risqi Ariansyah 

Nim: 111211240


Taufik Pasiak, dan Ary Ginanjar telah menulis sebuah buku yang berusaha menyatukan tiga model kecerdasan ESQ (Emotional Spritual Quotient), yang menjelaskan bahwa pentingnya menyeimbangkan dan meningkatkan fungsi otak yang sangat kompleks, ketiganya merupakan sarana yang penting untuk membangun kepribadian manusia yang unggul dalam berbagai bidang. K.G.P.A.A. Mangkunegara IV (1811-1881) telah merumuskan konsep tersebut dengan karya-karyanya yang berbentuk Serat-serat, satu diantara dari Serat-serat tersebut, yaitu: Serat Wedhatama yang memiliki manfaat bagi calon pemimpin atau para pemimpin, untuk membentuk “manusia utama” (manusia sempurna) yang salah satu diantaranya berkaitan erat dengan “kepemimpinan” yang berbalut dengan kebudayaan, dan tanpa meninggalkan aspek teologis (agama) sebagai tuntunan kehidupan umat manusia di dunia. Serat Wedhatama merupakan sebuah jawaban Jangka Jayabaya ciptaan Prabu Jayabaya (1135-1157) terhadap realitas zaman yang berkaitan erat mengenai kepemimpinan, yang sekarang ini memasuki zaman Kala Sumbaga. Suatu kegelisahan penulis dalam memperhatikan realitas akademik yang cenderung mengagungkan pemikiran-pemikiran Barat dalam kebudayaan manusia, padahal negeri ini memiliki tokoh-tokoh, karya-karya, dan kebudayaan yang sangat agung, yang lebih unggul dalam memahami realitas kehidupan, oleh karena itu atas dasar inilah penulis berniat mengangkat nilai-nilai local wisdom atau khasanah kebudayaan negeri tercinta ini yang berada di tanah Jawa. Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui pemikiran K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, dan memahami sebuah pemikirannya tentang konsep kepemimpinan Jawa dalam Serat Wedhatama yang tidak lepas dari sumber ajaran agama Islam, eksplorasi tersebut dikaji melalui dua pendekatan, yaitu: pendekatan historis dan filosofis. Pendekatan historis dipakai untuk memetakan secara kronologis sisi-sisi sejarah yang mengitari suatu konsep, baik sebelum maupun sesudahnya. Pendekatan filosofis digunakan untuk menganalisis dan mengungkap sebuah makna dibalik teks dalam jangkauan yang lebih radik, implisit, dan objektif. Dari kedua pendekatan tersebut telah diketahui bahwa tentang konsep kepemimpinan religius Jawa dalam Serat Wedhatama. Tetapi terdapat tahapantahapan dan persyaratan untuk mencapai tingkatan tersebut, begitu pula dengan hal tersebut, tidak terlepas dari esensi historisnya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV sebagai raja Mangkunegaran yang beragama Islam. Di dalam konsepnya terdapat prosedur-prosedur untuk mencapainya yang sejati yaitu: Sembah raga dengan cara salat lima waktu. Sembah cipta untuk untuk membersihkan hati. Sembah jiwa merasakan sukma sebagi laku batin. Dan Sembah rasa atau rasa sejati yaitu: rasa yang halus (kedamaian batin). Untuk memujudkan manusia sebagai pemimpin religius yang berpadu dalam budaya sebagai jatidiri bangsa.

Mangkunegara IV lahir pada 3 Maret 1811 dengan nama Raden Mas Sudira. Mangkunegara IV adalah anak ketujuh dari Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli yang merupakan anak dari Mangkunegara.  II

R.M. Sudira pada masa kecilnya tidak mendapatkan pendidikan formal, namun pendidikan diberikan secara privat. Ia juga mendapatkan tuntunan dari orang-orang Belanda yang didatangkan oleh K.G.P.A.A. Mangkunagara II, yang selain untuk menuntun Pangeran Riya yang dipersiapkan sebagai K.P. Prangwadana III, juga ditugasi mendidik R.M. Sudira. Pengajaran yang diterimanya antara lain bahasa Belanda, tulisan Latin dan pengetahuan lainnya. Para ahli bahasa Dr. J.F.C. Gericke dan C.F. Winter adalah termasuk juga guru-gurunya.

Sebagaimana para putera bangsawan tinggi Mangkunagaran, pada umur 15 tahun R.M. Sudira menjadi kadet di Legiun Mangkunagaran. Menurut tulisan Letnan Kolonel H.F. Aukes, para kadet dilatih sendiri oleh para perwira senior Legiun, sementara instruktur Belanda hanya ditugasi membantu memberikan pendidikan pelajaran. Setelah lulus pendidikan selama setahun, R.M Sudira ditempatkan di kompi 5 sebagai perwira baru

Beberapa bulan setelah R.M. Sudira bertugas di kancah pertempuran, ia menerima kabar bahwa ayahandanya K.P.H. Hadiwijaya I wafat. Ia mendapatkan izin kepada kakeknya, K.G.P.A.A. Mangkunagara II yang sekaligus menjadi panglimanya, untuk pulang dan memberikan penghormatan terakhir kepada ayahandanya.

Setelah pemakaman, R.M. Sudira kembali ke kancah pertempuran. Pasukan Legiun berhasil mengalahkan dan menangkap Panembahan Sungki, yaitu pemimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro.

Beberapa bulan setelah R.M. Sudira bertugas di kancah pertempuran, ia menerima kabar bahwa ayahandanya K.P.H. Hadiwijaya I wafat. Ia mendapatkan izin kepada kakeknya, K.G.P.A.A. Mangkunagara II yang sekaligus menjadi panglimanya, untuk pulang dan memberikan penghormatan terakhir kepada ayahandanya.

Setelah pemakaman, R.M. Sudira kembali ke kancah pertempuran. Pasukan Legiun berhasil mengalahkan dan menangkap Panembahan Sungki, yaitu pemimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro.

Setelah mendapat gelar Pangeran nama R.M Sudira diubah menjadi K.P.H. Gandakusuma. Ia menikah dengan R.Ay. Semi, dan dikaruniai 14 anak. Tidak lama setelah KGPAA Mangkunagara III meninggal tahun 1853, K.P.H. Gandakusuma diangkat menjadi KGPAA Mangkunagara IV. Kurang lebih setahun bertahta kemudian menikah dengan R.Ay. Dunuk, putri dalem (anak kandung) Mangkunagara III.

Pada masa pemerintahan Mangkunegara IV muncul ide untuk mengabilalih tanah apanage. Tanah apanage yang awalnya digunakan sebagai gaji bagi narapraja diambilalih sebagai modal awal industri tebu milik Mangkunegaran. Sebagai gantinya narapraja menerima gaji bulanan. Selain dari pengambilalihan tanah apanage. Penarikan tanah dilakukan secara bertahap, dimulai dari keluarga raja. Kemudian dilanjutkan dari anggota narapraja lainnya termasuk para anggota Legiun Mangkunegaran. Sebagai gantinya, mereka menerima tunjangan dalam bentuk uang. Jumlah uang yang diterima beragam, tergantung luas tanah dan kualitas tanah yang dimiliki.[3]

Penghapusan tanah apanage ini menimbulkan rasa tidak puas di kalangan pejabat Mangkunegaran karena kebiasaan memegang uang dari upeti apanage tak dapat dirasakan lagi sehingga untuk memenuhi gaya hidup mewah mereka harus berutang kepada para pengusaha Eropa meskipun mereka telah digaji oleh Mangkunegaran

Reformasi pemerintahan
sunting
Pada masa pemerintahannya diadakan pembaruan organisasi pemerintahan Mangkunegaran. Dalam Pranatan tanggal 11 Agustus 1867 ditetapkan departemen-departemen dalam pemerintahan di luar Kesentanaan dan Legiun yang disebut Kawedanan yang dipimpin oleh Wedana. Kawedanan-kawedanan tersebut, yaitu:[6]

Kawedanan Hamongprojo. Kawedanan ini dibagi menjadi tiga Kemantren, yaitu: Sastrolukito, bawahan carik yang bertugas menulis dan menghitung; Reksa Pustoko, bertugas merawat dan menyusun surat-surat yang dianggap penting; Pamongsiswo, mengembangkan kesenian dan sastra. membawahi para guru, murid, pelukis, pemahat, yang ada di wilayah Mangkunegaran
Kawedanan Kartapraja. Kawedanan ini dibagi menjadi dua Kemntren, yaitu: Kartahusada, bertugas meningkatan sumber pendapatan Mangkunegaran; Martanimpuna, bertugas menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa Mangkunegaran.
Kawedanan Martapraja. Kawedanan ini hanya terdiri atas satu Kemantren, yaitu Reksahardana yang bekerja menyimpan dan mengetahui uang yang berada di gedong serta mengatur keluar masuknya uang Mangkunegaran.
Kawedanan Karti Praja. Kawedanan ini membawahi satu Kemantren, yaitu Kartapura yang bekerja dalam perbaikan kota dan penanganganan kebakaran.
Kawedanan Reksawibawa. Kawedanan ini membawahi empat Kemantren, yaitu: Reksawarastra, bertugas memelihara senjata; Reksawahana, bertugas menjaga kendaraan dan suku cadangnya; Reksabusana, bertugas merawat dan melengkapi pakaian Praja dan tentara; Langen Praja, bertugas merawat dan melengkapi gamelan.
Kawedanan Madrapura. Kawedanan ini terbagi menjadi empat Kemantren, yaitu; Mandrasana, bertugas merawat perkakas; Reksa Pradipta, bertugas membuat dan menghidupkan lampu; Sabpandaya, mengurusi masalah minuman Praja; Reksasunggata, mengurusi penyediaan makanan istana.
Kawedanan Prababaksana. Kawedanan ini membawahi tiga Kemantren. Reksabaksana yang bertugas memelihara dan membagi bahan pangan. Wreksapandaya, bertugas menyediakan kayu jati untuk bahan bangunan. Tarutala, bertugas membagi sirih, rumput, dan padi.
Kawedanan Yogiswara. Kawedanan ini membawahi tiga Kemantren. Ketib, bertugas menikahkan orang yang akan menikah, mengurusi mayat, dan menyelesaikan perkara yang akan dibawa ke surambi. Naib, berwenang menyelesaikan talak, wasiat, dan semacamnya. Ia membawahi para kaum yang mempelajari agama serta memelihara makam dan tempat suci. Ngulama, bertugas berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan Mangkunegaran.

Dokri_Apollo,2012
Dokri_Apollo,2012

Dokri_Apollo,2012
Dokri_Apollo,2012

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun