Mohon tunggu...
Risqi Andy S. S.
Risqi Andy S. S. Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

D4 K3

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi Buku Yes to Life : In Spite of Everything

1 Desember 2022   08:21 Diperbarui: 1 Desember 2022   08:39 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Frankl memberikan tiga kuliahnya di Wina pada 1946, hanya dalam kurun waktu sembilan bulan setelah pembebasannya dari kamp konsentrasi Nazi. Bersama-sama dengan penerbit Franz Deuticke, Kuliah-kuliah tersebut diedit menjadi buku yang salah satunya adalah Yes to Life. Ungkapan "Yes to Life" berasal dari lirik lagu yang dinyanyikan secara sotto voice (sepelan mungkin), agar tidak memancing kemarahan sipir penjaga. Lagu ini seolah mampu memberikan harapan di tengah penderitaan para penghuni kamp konsentrasi yang seakan tidak pernah berakhir. Dikenal sebagai "logoterapi", Frankl melakukan pendekatan untuk membantu orang yang ingin bunuh diri menemukan makna melalui kreativitas, cinta, dan penderitaan.

       Mungkin terasa ganjil bagi para pembaca bahwa Frankl menghabiskan banyak waktu untuk mempersoalkan asumsi-asumsi yang melatari euthanasia bukan dalam makna harfiahnya, kematian yang baik, lembut, dan tanpa rasa sakit, melainkan dalam arti negatifnya. Bahwa ada kehidupan tertentu yang tidak lagi memiliki nilai, termasuk kehidupan orang yang menderita gangguan mental, gangguan perkembangan, sehingga kematian mereka dapat diterima. Nazi telah membunuh orang-orang seperti itu. Hingga akhirnya menyadarkan Frankl bahwa tidak ada yang berhak menilai hidup seseorang itu tidak berarti, atau menganggap orang lain tidak layak memiliki hak untuk hidup. Ini bukan hanya konstruksi intelektual tetapi pola yang dia amati terus pada pasien-pasiennya dan dimanifestasikan dalam hidupnya sendiri.

       Frankl memegang pandangan tentang pentingnya memberi makna dalam hidup bahkan sebelum ia mengalami kekejaman kamp konsentrasi. Sehingga, ketika dia di dalamnya itu akan semakin menguatkan dan memperdalam keyakinannya itu. Fatalisme diatasi, Frankl menegaskan, masing-masing individu bisa menciptakan makna. Namun, ini lebih rumit daripada mencapai kepuasan, karena dalam pandangan hidup "neraca", saat-saat buruk lebih penting daripada yang baik. Karena itu, kebahagiaan tidak bisa menjadi tujuan, katanya. Alih-alih sekedar mencari kebahagiaan, dia mengemukakan bahwa manusia bisa mencari tujuan yang disajikan untuk hidup mereka. Kebahagiaan sendiri tidak termasuk dalam kategori tujuan hidup, kesenangan tidak memberikan makna yang lebih pada hidup mereka. Sebaliknya, dia menegaskan bahwa episode-episode kehidupan tergelap dan tanpa kesenangan sekalipun bisa menjadi masa-masa bagi seseorang untuk menjadi dewasa dan menemukan makna. Semakin sulit masalah dan tantangan hidup yang seseorang alami, maka semakin banyak makna yang mereka temukan di dalamnya. Pertanyaan "Apa yang bisa saya harapkan dari kehidupan?" dia menganjurkan untuk membalik pertanyaan menjadi "Apa yang diharapkan hidup dari saya?" Sukacita datang dari memenuhi tugas itu.

       Frankl memberikan contoh kehidupan nyata dari seorang pria yang dikirim untuk hukuman seumur hidup. Frankl mengharapkan tahanan kemudian akan menganggap keberadaannya tidak berarti, namun ketika kebakaran terjadi di kapal penjara, dia menyelamatkan 10 nyawa. Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa "tidak ada dari kita yang tahu apa yang menunggu kita" dan bunuh diri adalah "satu-satunya hal yang tidak masuk akal." Lebih jauh lagi, penyakit dan penderitaan menawarkan kesempatan untuk pertumbuhan spiritual, baik melalui perlawanan atau kematian tidak dapat dihindari sehingga menjadi penerimaan.

       Frank pernah berbicara pada seorang kawannya tentang pengalamannya di kamp konsentrasi, kawannya sendiri belum pernah merasakan berada di kamp, dia hanya melakukan pertempuran di Stalingrad. Dan sebagaimana perkataannya yang disampaikan kepada frankl, dia merasa malu saat membandingkan dirinya sendiri dengan Frankl. Manusia memang tak bisa mengarahkan nasib mereka dan menggambarkan nasib sebagai sesuatu yang tak mungkin bisa dipengaruhi, yang selalu mampu menghindar dari kuasa kemauan setiap individu. Sebagaimana sudah diketahui, makna hidup manusia sebagian besar tergantung pada cara mereka terhubung dengan hal-hal diluar sana. Namun pertanyaannya apakah segala sesuatu yang terjadi diluar sana memiliki makna pula? Frankl menjelaskan bahwa orang dapat berdebat tentang makna sejati dunia. Dengan mengacu pada pernyataan logika dapat dibenarkan maupun tidak dibenarkan. Sebenarnya, keputusan yang akan kita hadapi bukan lagi sebuah keputusan logis. Akan sangat logis untuk berdebat membela yang satu sebagaimana logisnya membela yang lain. Karenanya tidak ada sesuatu yang menjadi dasar dalam menentukan hal ini. Manusia melayang-layang di atas ketiadaan tetapi pada saat yang sama dalam keputusan ini manusia dapat berdiri di garis makna sejati. Tidak ada gunanya membicarakan perbedaan tingkat penderitaan. Perbedaan yang benar-benar penting adalah antara kebermaknaan dan ketidakbermaknaan penderitaan itu sendiri, yang bergantung sepenuhnya pada masing-masing individu.

       Frankl mengutip seorang pasien yang sakit parah yang tidak bisa lagi bekerja tetapi menemukan makna dalam membaca, musik, dan percakapan. Manusia memiliki kebebasan untuk menyesuaikan diri dengan nasib dan lingkungannya, jika ia mau dan mampu menggunakan kemampuan dirinya serta tidak hanya membiarkan tekanan memaksanya, maka itulah kebebasan yang sesungguhnya sebagaimana tidak bisa dirampas darinya. Lewat tulisan serta kuliah-kuliahnya Frankl ingin membimbing orang lain ke jalan ini, menyemangati mereka untuk menemukan jalan keluar mereka sendiri, keluar dari penderitaan tahun-tahun sebelumnya meskipun mereka masih harus menghadapi masa-masa yang genting pada saat itu maupun dimasa yang akan datang.

       Untuk pembaca modern, banyak kalimat mungkin tampak berbelit-belit. Sementara format lisan menjelaskan sedikit pengulangan. Namun, studi kasus yang ada dapat dihubungkan dan sudut pandang keseluruhan akan sangat meyakinkan bagi pembaca. Pengantar psikolog Daniel Goleman, meskipun isinya terlalu panjang, tetapi  dapat memberikan konteks yang berguna bagi pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun