Ketika saya kecil, nenekku pernah memberikan teguran kepada saya seperti ini, "Ngono Yo Ngono Nanging Ojo Ngono", dan nasehat ini sering saya dapat dari nenek ketika saya melakukan kenakalan-kenakalan yang kelewat batas.
Kalimat 'Ngono Yo Ngono Nanging Ojo Ngono"Â kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi "Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu". Kalau kita perhatikan sekilas kata tersebut terkesan membingungkan dan aneh serta tanpa makna. Tetapi buat saya dan mungkin sebagian besar anak-anak Jawa sangat memahami betul filosofi sindiran tersebut.
Saya lebih suka menyebutnya sebagai kata sindiran daripada sebuah nasehat, karena kalimat sederhana yang bisa di anggap sebagai filsafat jawa ini mempunyai makna yang sangat dalam, dengan pertimbangan kerugian atau kerusakan yang paling sedikit. Dalam sindiran yang disampaikan nenek saya ketika melihat kenakalan kecil saya, yang kemudian sangat membekas dalam karakter saya saat ini, yang initinya nakal, boleh tapi masih dalam nakal yang wajar dan tidak melampaui batas sampai merugikan orang lain. Nenek saya faham betul dalam mendidik cucunya yang asli orang kampung dan bermain hanya di kebun dan sungai. Kenakalan-kenakalan yang wajar dianggap oleh nenek saya sebagai bagian dari pendidikan karakter, karena dari kenakalan yang saya perbuat, saya selalu diberi nasehat hikmah dibalik kenalan saya, sehingga diajarkan untuk terus belajar dari kesalahan tetapi tidak untuk diulang kesalahan yang sama.
Secara kata perkata mungkin dapat diterjemahkan sebagai berikut
Ngono Yo Ngono / Begitu ya begitu
Kata tersebut bisa diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada siapapun untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri yang konotasi pada perbuatan atau tindakan yang menjurus pada pelanggaran norma atau etika. Masing masing individu mempunyai kebebasan bertindak, berbicara, berkehendak dan sebagainya. Kalau menurut ajaran filsafat dari nenek saya, kalimat "Ngono Yo Ngono" penekanan sudah lampu kuning atau peringatan dini terhadap kenakalan yang saya perbuat.
Nanging Ojo Ngono / Tetapi jangan begitu
Tetapi yang perlu di ingat bahwasannya setiap kebebasan haruslah ada batasan batasan yang mengikutinya untuk dijadikan rambu rambu agar kebebasan tersebut tidak kebablasan atau melampaui batas baik norma ataupun aturan yang kita anut. Karena, segala sesuatu yang melampaui batas pastinya tidak akan membawa kebaikan.
"Ngono Yo Ngono Nanging Ojo Ngono"
Dalam bahasa gaul saat ini, mungkin bisa diartikan "Bebas berekspresi dan melakukan apapun tapi harus ada batasannya". Jadi segala sesuatu yang akan kita lakukan, tetap harus memikirkan dampak yang akan timbul kepada orang lain, ingat kita hidup sebagai makhluk sosial. Kalau kita ingin berbuat sesuka hati anda , semua itu tidak masalah, tetapi yang jadi masalah adalah apabila perbuatan anda itu berdampak negatif bagi orang lain.
Ketika baru lulus kuliah, saya langusng diterima kerja di sebuah BUMN, dimana saat itu masih awal reformasi, sehingga "aroma" orde baru dengan budaya korupnya masih sangat terlihat nyata dan hal yang biasa, dengan alasan klise,"gaji kita kan sedikit, mau darimana lagi cari uang tambahan, kalau tidak korupsi".  Waktu itu, ada seorang karyawan, saat itu dia sudah mau pensiun, melihat kondisi yang seperti itu sampai nasehatnya kedengaranya jadi aneh buat saya,"Kalau memang terpaksa mau korupsi maka korupsilah dengan gantle, korupsi 10 juta yah perusahaan dirugikan 10 juta, tapi jangan sampai korupsi 10 juta tetapi perusahaan dirugikan 100 juta ........Ngono Yo Ngono Nanging Ojo Ngono".
Sikap melampaui batas termasuk dalam masalah harta dan selainnya, Allah Ta'ala mengingatkan hamba hambaNya dari perbuatan tersebut untuk tidak berlebihan," Ngono Yo Ngono Nanging Ojo Ngono" Â :
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al A'raaf : 31)
"Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al An'aam : 141)
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian ". (QS. al Furqaan : 67)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H