Daripada memikirkan apa saja aturan yang sudah keluar dan sampai kapan semua aturan itu berlaku, sebenarnya paling gampang memang: ya udah di rumah saja. Iya, gak semua orang bisa di rumah saja. Tapi banyak juga masih orang-orang yang seharusnya bisa di rumah saja, memilih untuk tidak di rumah saja karena alasan: bosan ah di rumah saja. Atau mungkin mereka menganggap yang di rumah saja itu sama virus aja takut? Atau mereka yakin kalau mereka keluar rumah dengan memakai masker dan rajin cuci tangan pasti aman.
Sayangnya, kalau tidak semua orang sepakat untuk menurut himbauan di rumah saja, ya usaha sebagian besar orang yang di rumah saja akan jadi sia-sia, karena pemerintah makin kalang kabut dengan bertambah banyaknya jumlah pasien setiap hari, bertambah banyaknya jatuh korban termasuk dari tenaga kesehatan.Â
Bertambahnya kebutuhan untuk alat pelindung diri buat tenaga kesehatan yang kabarnya hanya bisa sekali pakai (kebayang sampahnya ada berapa banyak). Dan tentunya ekonomi yang makin terpuruk. Terus akhirnya yang dipersalahkan siapa? kembali lagi selalu orang lain yang salah.
Saya tidak bisa bayangkan, kalau sampai 100 hari di rumah saja dan selalu memikirkan untuk jaga jarak aman, entah bagaimana perasaan nantinya setelah boleh berinteraksi seperti dulu lagi. Apakah saya malah jadi orang aneh yang akan selalu takut untuk salaman atau ngumpul-ngumpul dengan teman-teman.Â
Berapa lama setelah larangan ini dicabut, saya akan berani untuk pergi ke gereja? Berapa lama setelah larangan ini dicabut saya akan ajak anak-anak untuk ke tempat kursusnya lagi? Berapa lama setelah larangan ini di cabut, kami berani untuk ke tempat bermain anak-anak lagi. Baru 3 minggu saja saya sudah selalu memikirkan: "ih kok ga jaga jarak aman sih!".
Kemarin, saya dapat kabar dari pembantu saya kalau menantunya kehilangan bayinya di usia kehamilan 7 bulan. Ceritanya menantunya ini sudah 2 kali sebelumnya hamil dan belum 3 bulan keguguran. Untuk kehamilan ke-3, sejak usia kehamilan 5 bulan dokter sudah bilang kalau amniotik nya agak kurang dibandingkan normal, tapi bayinya masih sehat dan berkembang.
Bulan lalu, menantunya tidak ke dokter kandungan (atas arahan dari dokternya), alasannya apalagi kalau bukan: sekarang ini di rumah sakit ada banyak bahaya lain, jadi selama bayi terasa bergerak, semua baik-baik saja. Lalu, hari Minggu lalu dia pendarahan. Tengah malam di bawa ke rumah sakit dan menurut pemeriksaan bayinya masih baik-baik saja. Ada beberapa pilihan: tetap dipertahankan sambil menunggu waktunya, atau dioperasi caesar tapi ada bahayanya untuk bayi dan juga ibuya. Kemungkinan hidupnya hanya 50 persen untuk bayi dan ibunya.
Di saat mereka masih mempertimbangkan apa langkah yang harus dilakukan, ternyata bayinya membuat keputusan sendiri. Bayinya keluar sendiri dan sudah tidak bernyawa lagi.Â
Saya mendengar ceritanya sedih bukan kepalang. Apalagi katanya bayinya sudah lengkap. Mereka memberi nama bayi itu dan menyerahkan urusan penguburan ke rumah sakit. Kenapa? ya kenapa lagi kalau bukan karena situasi Covid-19 ini. Bahkan untuk berduka saja saat ini orang-orang tidak bisa berduka dengan normal!. Dan semua ini akan tambah lama berlangsungnya kalau tidak semua orang bisa tertib mengikuti himbauan dan aturan yang ada.
Lalu, hari ini kalau bahasa Inggrisnya Good Friday -- diterjemahkan langsung jadi hari yang Jumat yang baik, tapi di dalam bahasa Indonesia kita terjemahkan sebagai Jumat Agung, salah satu hari besar yang diperingati oleh umat Kristiani. Dan hati ini terasa semakin sedih.
Hari Jumat Agung bukan merupakan hari libur di Thailand, biasanya kami juga tidak sempat untuk datang kebaktian karena kebaktiannya jam 7 malam. Hari ini kami bisa mengikuti kebaktian online (bahkan kalau mau bisa memilih beberapa kebaktian online lainnya dari gereja yang ada di Indonesia). Tapi tetap saja rasanya hati ini sedih.