Tugas ini disusun oleh Rismayanti Khomairoh, Aileen Sonya Hanugrahaeny, Dhimas Purnomo Adjie dan Elsa Silvana Amalia
Latar Belakang
Amerika Serikat merupakan negara federal yang terletak di Benua Amerika Utara. Amerika Serikat dikenal menjadi negara adidaya global yang memiliki pengaruh kuat terhadap stabilitas politik, ekonomi dan teknologi di seluruh dunia. Ibukota negaranya ialah Washington DC dengan bentuk pemerintahan republik konstitusional federal dan memiliki 50 negara bagian (Hussein, 2013). Batas negara Amerika Serikat di sebelah Selatan ialah Meksiko, sedangkan sebelah Utara Kanada. Kemudian, di sebelah Barat ada Samudera Pasifik, sedangkan sebelah Timur adalah Samudera Atlantik. Jumlah penduduk Amerika Serikat mencapai 309 juta jiwa dengan luas wilayahnya 9,83 juta km. Selain menjadi salah satu negara terluas dan terbesar di dunia, Amerika Serikat juga menjadi negara yang multietnis karena pengaruh dari aktivitas migrasi yang tinggi.
Penduduk asli Amerika Serikat adalah suku Indian yang sudah menghuni Benua Amerika sejak beribu-ribu tahun sebelumnya. Hingga kemudian, pada abad ke-16 Benua Amerika didatangi oleh orang-orang Eropa yang bermigrasi. Berawal dari peristiwa tersebut, sejarah terbentuknya Amerika Serikat dimulai. Rombongan penjelajah dari Eropa seperti Christopher Colombus sebagai salah satu orang Eropa pertama yang tiba di Benua Amerika dan kemudian mengawali kolonisasi Eropa di wilayah yang sekarang menjadi Amerika Serikat. Koloni-koloni tersebut kemudian memerdekakan diri dari Kerajaan Britania Raya pada tanggal 4 Juli 1776. Dari 13 koloni yang berhasil memenangkan perang kemerdekaan Amerika Serikat, kemudian membentuk Federasi Amerika dan mengembangkan sistem politik ekonomi sendiri yang terlepas dari Inggris.
Kemudian pada abad ke-19, di Amerika Serikat terjadi ekspansi besar-besaran khususnya penduduk dari Eropa yang mulai memadati kawasan Amerika. Hal tersebut menyebabkan penduduk asli Amerika mulai tersingkirkan dan perluasan wilayah pun terjadi dengan dibelinya beberapa daerah teritori baru oleh Amerika Serikat. Kondisi tersebut tidak selamanya menjadi masa keemasan Amerika Serikat karena tidak berselang lama terjadi perselisihan antar negara bagian, khususnya kubu Utara dan kubu Selatan. Permasalahan yang menjadi latar belakang ialah mengenai hak-hak negara bagian. Pada abad ke-19, juga terjadi perubahan sosial yang ekstrem di Amerika Serikat karena tercipta sistem perbudakan yang menjadi sumber permasalahan bagi Amerika Serikat. Akibatnya ialah muncul berbagai gerakan reformasi seperti anti-perbudakan, gerakan hak sipil dan gerakan hak suara untuk perempuan.
Di tengah tingginya gejolak politik di Amerika Serikat, keberadaan pemimpin nomor satu di negara tersebut menjadi persoalan yang sentral. Presiden Amerika Serikat yang berkuasa pada saat itu ialah Abraham Lincoln (Prakoso, 2021). Ia memenangkan kursi pemerintahan dengan diusung partai republik dan pada tahun 1960 ia berhasil mendapatkan kursi kemenangan. Misi yang dibawa oleh Abraham Lincoln ialah menghapuskan sistem perbudakan di Amerika Serikat. Abraham Lincoln merupakan sosok pemimpin yang kuat bagi Amerika Serikat ditengah merebaknya gejolak permasalahan yang menghadang. Ia tidak hanya cerdik menghadapi serangan dari luar, namun juga cakap dalam mengorganisir sistem pemerintahan Amerika Serikat, sehingga negara tersebut mampu resisten menghadapi gejolak politik yang semakin tinggi.
Adanya sistem perbudakan di Amerika Serikat pada dasarnya telah ada sebelum Abraham Lincoln menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Hanya saja, konflik yang muncul kembang kempis, terkadang ada namun kemudian hari reda kembali. Diperkirakan, konflik antara kubu Utara dan Selatan terkait perbudakan sudah ada sejak tahun 1850. Ketika kondisi di Amerika Serikat semakin memanas, maka pada awal tahun 1860-an, mulai muncul tanda-tanda perang besar. Hingga kemudian perang benar-benar meletus pada tahun 1861. Perang antara kubu Utara dan Selatan disebut dengan perang saudara karena dua kubu tersebut masih dalam satu kawasan wilayah Amerika.
Wilayah Amerika Serikat bagian Selatan memiliki potensi unggul di bidang pertanian dan perkebunan, sehingga memerlukan support tenaga kerja yang banyak. Oleh sebab itu, front Selatan pro terhadap sistem perbudakan. Hal tersebut berbeda dengan wilayah Utara yang memiliki tanah tandus dan tidak berpotensi dijadikan ladang perkebunan dan pertanian. Maka dari itu, wilayah Utara tidak membutuhkan sumber daya manusia, sehingga kontra terhadap sistem perbudakan. Amerika bagian Utara menganggap sistem perbudakan ialah pelanggaran terhadap moral dan hak asasi manusia. Selain itu, sistem perbudakan juga bertentangan dengan asas demokrasi di Amerika Serikat. Hal tersebut didukung oleh kuatnya pengaruh presiden Amerika Serikat yang memimpin, yakni Abraham Lincoln.
Meletusnya Perang Saudara di Amerika Serikat Tahun 1861-1865
Civil War merupakan perang saudara atau perang sipil yang terjadi di Amerika Serikat. Secara garis besar, penyebab utama perang ini adalah perbudakan yang membelah dua kubu, yaitu kubu Utara dan Selatan. Perang saudara terjadi selama empat tahun, yaitu tahun 1861-1865. Pasca kemerdekaan, Amerika Serikat menjunjung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, namun perbudakan yang telah ada sejak abad ke 17, tepatnya masa penjajahan Inggris di Amerika sulit terhapuskan utamanya di Amerika bagian Selatan. Wilayah tersebut mayoritas menggantungkan mata pencahariannya dalam sektor perkebunan dan pertanian, sehingga budak dibutuhkan di wilayah tersebut. Bagi masyarakat Amerika Selatan, fenomena perbudakan sudah ada sejak tahun 1850 dan tugas mereka hanya mengajari para budak berbahasa Inggris serta membentuk perwakilan kaum budak (Liani, et.al, 2023).
Sedangkan Amerika bagian Utara, mayoritas masyarakatnya bekerja di bidang industri dan manufaktur, oleh karenanya mereka tidak mementingkan aspek perbudakan. Front Utara menganggap perbudakan akan bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Pro dan kontra perbudakan ini banyak disuarakan oleh tokoh-tokoh ternama di masing-masing wilayah, misalnya di Selatan negarawan terkemuka yaitu John C. Calhoun memberikan pendapatnya di depan senat, yaitu negara di Selatan mempunyai hak untuk melindungi perbudakan, manusia tidak diciptakan sesuai dengan Declaration of Independence karena ras kulit hitam berdasarkan fisik dan psikisnya berbeda dengan ras kulit putih. Â Kemerdekaan juga bukan dari hukum alam, tetapi suatu anugerah sosial dengan jaminan kemampuan menjadi patriot dan kelebihan lainnya (Krisnadi dalam Franklin, 1958). Selain itu, pemuka agama turut serta dalam mengemukakan pendapatnya terhadap perbudakan. Menurutnya, orang kulit putih dianugerahi Tuhan tanah di wilayah Selatan dan Tuhan menciptkan bangsa Negro sebagai pekerja kasar serta orang kulit putih melakukan pebudakan untuk orang-orang Negro yang menyembah berhala agar masuk Nasrani (Krisnadi, 2012). Peperangan ini diikuti oleh sebelas negara bagian yang ada di Selatan dan dua puluh tiga negara bagian di Utara.
Ketegangan antara pihak Selatan dan Utara menjadi semakin tinggi sejak Abraham Lincoln menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat yang diketahui sebagai orang yang menolak perbudakan atau kontra perbudakan. Peperangan pertama terjadi pada tahun 1861 saat pasukan konfederasi melakukan serangan terhadap Benteng Sumter dan dibalas oleh armada yang dikirimkan oleh Lincoln (Ningsih & Nailufar, 2021). Pada 21 Juli 1861, kemenangan sementara didapatkan kubu Selatan. Konfederasi (Selatan) pada periode 17 bulan pertama mendapatkan banyak kemenangan, kemungkinan Inggris akan membantu kubu Selatan pada 1862 dan hal tersebut menjadi sebuah ancaman bagi front Utara. Hingga pertengahan 1863, kemenangan perang masih dipegang oleh pihak konfederasi, namun pada pertempuran selanjutnya yang dikenal sebagai dua hari berdarah pihak konfederasi yang dipimpin oleh Robert Lee berusaha untuk masuk ke wilayah Utara dan dihentikan oleh pasukan Utara (federal) di daerah Gettysburg serta benteng konfederasi berhasil diduduki oleh Jenderal Federal Ulysses di Vicksburg (Krisnadi, 2012).
Proclamation Emancipation: Titik Terang Keadilan di Amerika Serikat
Abraham Lincoln yang pada saat itu tengah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat sangat menentang adanya perbudakan di Amerika Serikat sendiri. Ia menganggap bahwa dengan adanya perbudakan, maka ada perbedaan hak yang mereka (orang kulit hitam) terima dari orang kulit putih. Maka kemudian, ia segera mencanangkan kebijakan politik yaitu penghapusan perbudakan dan bersumpah demi mempertahankan keutuhan Negara Federal Republik Amerika. Pada menjelang tahun 1862, akibat terjadinya perang saudara tersebut kemudian menimbulkan argumentasi-argumentasi yang mulai mendapat dukungan. Hingga suatu ancaman mengincar kubu Utara karena terdapat kemungkinan Inggris akan ikut campur dan memberi bantuan kepada kubu Selatan sebagai pemasok kapas terbesar bagi industri tekstil di Inggris.
Sementara di Utara, mengalami kejenuhan dan keputusasaan yang menurunkan semangat juang mereka. Abraham Lincoln kemudian membuat kebijakan terhadap perbudakan dengan menjauhkan kaum radikal dari Partai Republik. Pihak Kongres kemudian setuju dengan maksud Lincoln yang menentang adanya perbudakan di tahun kedua perang tersebut (Krisnadi, 2012). Pihak kongres menetapkan dua keputusan, yakni anti perbudakan dan penyitaan yang diresmikan pada September 1862 dan Presiden Lincoln kemudian memproklamirkan emansipasi sementara yang mana isinya menegaskan kepada seluruh budak yang ada di negara bagian yang memberontak hingga 1 Januari 1863 jika mereka akan dibebaskan. Kehebatan Jenderal Lee sebagai komandan dan ahli dalam hal taktik berperang membuat pihak Lincoln tidak mampu menemukan komandan pasukan Federal yang benar-benar kompeten, maka perang saudara terjadi hingga pertengahan tahun 1863 yang dimenangkan oleh pihak konfederasi.
Seusai perang saudara berakhir, Presiden Lincoln menyiapkan pengembalian ke bentuk federasi, membubarkan konfederasi, dan memberikan pengampunan kepada tokoh-tokoh yang ikut terlibat dalam mempertahankan bentuk negara konfederasi. Akhir 1862, pemerintah federal menyiapkan para prajurit dari golongan kulit hitam untuk mendaftar sebagai prajurit tentara Union. Mereka bersama dengan pasukan Union terjun langsung dalam perang besar. Dengan adanya keterlibatan pasukan kulit hitam Utara, sangat mendorong ke arah proses pembebasan para budak yang ada di Selatan (Krisnadi, 2012). Selama tahun 1864-1865, pasukan Negro mampu unjuk keberanian dan ketetapan hati mereka dengan kemampuan perang yang luar biasa yang mereka miliki. Pada akhirnya, prestasi tentara kulit hitam mendapatkan kehormatan bagi bangsa mereka sendiri, membantu memastikan datangnya emansipasi dan mendorong pihak Utara untuk memperjuangkan persamaan hak yang adil.
Pasca terjadinya perang saudara antara kubu Utara dan kubu Selatan, kemudian menimbulkan permasalahan pokok baru yang dihadapi pemerintah Amerika Serikat, yakni bagaimana caranya memulihkan kesatuan nasional yang telah bercerai berai hancur akibat peperangan dan segera dilakukan rekonstruksi untuk pemulihan pada masyarakat yang ada di wilayah Selatan yang sangat terdampak akibat mendapatkan kekalahan perang. Dalam upaya rekonstruksi di wilayah Selatan, kemudian muncul pertentangan sengit antara pihak eksekutif yang dipimpin oleh presiden Andrew Johnson dan pihak legislatif (kongres). Mereka saling bertentangan dalam melakukan suatu kebijakan. Ketika perang belum berakhir pun, presiden Abraham Lincoln telah mengupayakan melakukan rekonstruksi terhadap wilayah Selatan dengan mengeluarkan Emancipation Proclamation dan Ten Percent Plan. Akan tetapi, pihak kongres merasa bahwa kebijakan yang diutarakan oleh presiden Abraham Lincoln tersebut dianggap tidak konstitusional karena tanpa melalui persetujuan kongres. Maka sejak itu, hilang sudah harapan Lincoln yang awalnya dirasa dengan adanya dua kebijakan tersebut perang saudara berakhir dan Selatan kembali ke jalan Union (Heryati, 2019).
Guelzo menganggap Lincoln berkeinginan tinggi untuk mengakhiri perbudakan. Ia dinilai mengklaim proklamasi tersebut sebagai milik Lincoln karena alasan yang lebih mendalam daripada sekedar karena ia menandatanganinya. Guelzo juga menegaskan kembali tanggung jawab Lincoln atas emansipasi sebagai tanggapan terhadap Ira Berlin, Barbara Fields, dan sejarawan lain yang menyatakan bahwa budak membebaskan diri mereka sendiri dan memaksa Lincoln untuk mengakui hak mereka secara de facto atau kebebasan terhadap klaim Lerone Bennett bahwa Lincoln adalah musuh emansipasi supremasi kulit putih. Guelzo mungkin mengartikan bahwa Lincoln adalah teman kulit putih Amerika yang paling berarti. (Guelzo, 2004).
Penekanan Guelzo pada tekad Lincoln untuk mengakhiri perbudakan sejak ia dicalonkan sebagai presiden dan pada kehati-hatiannya dalam melakukan manuver menuju tujuan tersebut cenderung menjadikan perang sebagai bagian dari emansipasi, bukan sebaliknya. Guelzo secara persuasif menceritakan pengaruh perang terhadap kebijakan emansipasi Lincoln dan tekadnya untuk melindungi kebebasan mereka yang dibebaskan. Guelzo sangat informatif dalam menjelaskan kekhawatiran Lincoln tentang nasib akhir emansipasi di bidang hukum. Ia juga memberikan analisis yang sangat bagus mengenai peralihan dari toleransi nyata terhadap pemberontakan budak dalam proklamasi awal ke peringatan akhir proklamasi yang memerintahkan "rakyat yang dinyatakan bebas untuk tidak melakukan segala bentuk kekerasan, kecuali jika diperlukan untuk membela diri". Lincoln tidak memulai perang, tapi dia menolak menghentikannya sampai pasukan pemberontak dikalahkan. Untuk tetap berperang, ia mengeluarkan Proklamasi Emansipasi. Kebijakan Lincoln yang bersatu melalui perang, bukan tanda-tanda dari Tuhan, memerlukan emansipasi. Pencapaian terbesar Lincoln adalah menyelamatkan persatuan melalui perang tanpa henti, berdarah, dan mahal yang menurut penilaiannya pada akhirnya mengharuskan "membebaskan beberapa budak dan membiarkan yang lain sendirian". Dalam gambaran besar emansipasi, perang bukan kehati-hatian melainkan yang utama.
Dampak Kebijakan Proclamation Emancipation Terhadap Pemerintahan Amerika Serikat
Polemik perbudakan yang terjadi di negara Amerika Serikat berhasil menorah banyak perhatian publik, sehingga menarik untuk dikaji. Pertentangan di dalam tubuh Amerika Serikat tentang cara pola berfikir kemanusiaan antar negara bagian Utara dan negara bagian Selatan melahirkan perang saudara atau civil war yang berlangsung dari tahun 1861-1865. Negara bagian Utara bernafaskan anti perbudakan. Menurutnya, perbudakan adalah sistem yang tidak manusiawi dan telah mencoreng hak hidup manusia, selain itu hal tersebut telah bersimpangan dengan prinsip kemerdekaan Declaration of Independence. Begitu pula pihak Selatan, beranggapan budak harus diberlakukan karena merekalah yang menjadi garda terdepan dalam mengelola perkebunan. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi alamnya yang kaya akan komoditi hasil bumi. Naiknya Abraham Lincoln tahun 1860 sebagai Presiden Amerika Serikat, secara resmi memberikan kebijakan anti perbudakan di Amerika Selatan. Dengan adanya kebijakan tersebut, melahirkan beberapa dampak yang berkepanjangan, diantaranya:
- 11 negara bagain Selatan harus keluar dari sistem negara federal. Tepat pada 4 Februari 1861, wilayah Selatan secara resmi menyatakan keluar dari sistem negara federal. 11 negara bagian Selatan tersebut diantaranya Missippi, Karolina Selatan, Karolina Utara, Albama, Tennessee, Virginia, Texas, Arkansas, Florida, Georgina & Louisiana. Kemudian 11 negara tersebu membentuk aliansi sendiri yang dimpin oleh Jefferson Davis dengan sistem pemerintahan konfederasi dengan Virginia ditetapkan sebagai ibu kota konfederasi.
- Klimaks dari perang saudara antar negara bagain Utara dengan negara bagian Selatan. Penyerangan dimulai oleh negara konfederasi (wilayah selatan) terhadap pos tentara Amerika Serikat yang berlokasi di Benteng Fort Sumter pada 12 April 1861.
- Proklamasi emansipasi, dua tahun perjalanan perang pihak Utara dan Selatan memberikan dampak merugikan. Pihak Utara atau union harus mengalami kejenuhan berperang (Krisnadi, 2011). Untuk mengembalikan esensi peran, Lincoln dan kongres mengambil tindakan dengan mengumumkan Proklamasi Emansipasi yang merupakan keputusan anti perbudakan yang secara otomatis menghapus sistem perbudakan di Amerika Serikat, termasuk negara konfederasi yang sedang memberontak. Moment tersebut menjadi tonggak kebebasan para budak yang kemudian menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dan berlindung di Union. Beberapa dari mereka juga berpartisipasi aktif dan bergabung dengan satuan perang negara bagian Utara.
- Penghargaan tentara kulit hitam. Pasukan tentara hitam memiliki keberanian dan ketetapan hati yang besar. Andil mereka dalam peperangan sangat berdampak bagi negara Union dengan hasil yang menggembirakan. Mereka membantu dalam pembebasan budak yang terperangkap di bagian Selatan. Penghargaan diberikan kepada mereka atas jasanya dalam membantu memastikan datangnya emansipasi dan mendorong pihak Utara untuk memperjuangkan persamaan hak. Sayangnya, pasca peperangan Lincoln harus terbunuh di gedung Theater Ford di Washington DC, sehingga kedudukan presiden digantikan oleh wakil presiden, Johnson. Presiden Johnson tidak yakin orang berkulit hitam dapat menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta bisa sejajar dengan warga kulit putih, sehingga proses status kewarganegaraan kaum Negro masih diombang-ambing (Yusuf, 2020). Sebagai warga Utara juga tidak menunjukkan sikap yang tegas dalam klaim hak warga Negro. Berjalannya waktu mulai terlihat status kejelasan dengan dibuktikan salah satu warga kulit hitam tampil sebagai anggota parlemen.
- Kerugian sosial dan ekonomi. Peperangan ini merampas 620.000 jiwa dengan pasukan federal kehilangan 364. 511 prajurit tewas, sedangkan dari sisi konfederasi kehilangan 133.821. Secara ekonomi, bagian Selatan menjadi pihak yang cukup terpuruk karena ladang ekonomi mereka berbasis lingkungan alam harus rusak.
- Penghapusan sistem budak. Pasca peperangan sistem perbudakaan secara resmi dihapuskan selamanya di negeri Paman Sam. Rentetan cita - cita Lincoln tentang kemerdekaan dan demokrasi suatu negara telah tercapai. Pasca peperangan, juga muncul berbagai gagasan untuk memperbaiki kehidupan politik, sosial dan ekonomi utamanya di wilayah Selatan. Dapat disebut pasca perang negara tersebut telah memasuki masa rekonstruksi.
- Masa rekonstruksi (1865 - 1877), Presiden Jhonson sebagai pengganti Lincoln terus untuk beranjak dan membenahi Amerika pasca peperangan. Ia mulai memperbaiki tatanan sosial, ekonomi dan politik dimana seluruh negeri Amerika tidak ada lagi sistem perbudakan. Seluruh budak bebas dan hak pemisahan negara bagian dari Union  dihapuskan. Tanggal 2 Maret 1867 dikeluarkan Reconstruction Act, yang berisi dihapuskannya negara - negara bagian dalam konfederasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan bergabungnya negara bekas konfederasi pada Union.
DAFTAR SUMBER
Buku
Guelzo, A. Lincoln's Emancipation Proclamation: The End of Slavery in America. New York: Simon & Schuster, 2004.
Heryati. Sejarah Amerika Serikat. Palembang: Stikes Aisyah, 2019.
Krisnadi, I. G. Sejarah Amerika Serikat. Yogyakarta: Lembah Manah, 2011.
Krisnadi, I. G. Sejarah Amerika Serikat. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Prakoso, L. K, et.al. Sejarah Perang. Surabaya: CV. Pustaka Media Guru, 2021.
Artikel
Hussein, S. "Eksistensi Amerika Serikat Sebagai Kekuatan Global", Global and Policy Journal of International Relations, Vol. 1, No. 1, 2013.
Liani, H. N., Ribawati, E., & Noeriman, T. "Perang Saudara Amerika Pada Tahun 1861-1865 dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Perekonomian Amerika", Jurnal Pendidikan Bhinneka Tunggal Ika, Vol. 1, No. 6, 2023.
Ningsih, W. L. & Nailufar, N. N. "Perang Saudara Amerika: Penyebab, Jalannya Pertempuran dan Dampak" dalam Harian Kompas, 03 Juli 2021 [Online], https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/03/080000479/perangsaudara , diakses pada 28 Mei 2024.
Yusuf, M. Rusydi. "Pengaruh Perang Saudara Terhadap Perkembangan Perekonomian Amerika", Laporan Akhir Penelitian di Fakultas Sastra Universitas Darma Persada, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H