Penolakan adanya Federasi Malaysia, serta kemarahan Indonesia atas tuduhan sebagai fasilitator pemberontakan Azahari dari Malaya tersebut menjadi dua buah faktor dikeluarkannya ultimatum "Ganyang Malaysia" dalam beberapa pidato Soekarno. Peristiwa Ganyang Malaysia sebagai sikap yang diambil oleh Indonesia dalam menghadapi permasalahan dengan Malaysia, dalam peristiwa tersebut terdapat kontak senjata antara Indonesia yang bekerjasama dengan Filipina melawan Malaysia yang dibantu Inggris. Kontak senjata tersebut berada di wilayah Kalimantan (Tanah Borneo) dengan basis militer utama dari Indonesia berada di wilayah Kalimantan Barat (Superman, 2017).
Mengulik Strategi Operasi Militer Indonesia dalam Konfrontasi Ganyang Malaysia di Tanah Borneo Tahun 1963-1966
Dalam melancarkan aksi Ganyang Malaysia, Indonesia telah menyiapkan strategi operasi militer dengan melibatkan beberapa aspek utama, yakni infiltrasi, penggunaan sukarelawan dan melakukan koordinasi dengan pasukan reguler. Adapun strategi umum yang dilakukan Indonesia ialah menggunakan teknik infiltrasi dan pasukan sukarelawan yang telah mendapatkan pelatihan khusus dari TNI Angakatan Darat Indonesia. Strategi tersebut bertujuan intuk memanfaatkan keterampilan lokal dan mendukung berjalannya operasi militer. Operasi militer yang dilakukan harus secara hati-hati dan terorganisir, kemudian melakukan kampanye operasi militer secara luas. Tidak hanya itu, strategi umum yang dilakukan ialah melalui penumpukan pasukan Indonesia di perbatasan Kalimantan. Strategi umum operasi militer Indonesia dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia mencerminkan kombinasi dari taktik gerilya, taktik lawan hingga pada tahap negosiasi (Kusmayadi, 2017).
Adapun taktik operasi militer yang digunakan ialah infiltrasi dan sabotase. Indonesia melakukan kampanye infiltrasi ke Kalimantan melalui pengiriman pasukan sukarelawan dan pasukan reguler serta melakukan sabotase infrastruktur dan kekuatan militer Malaysia (Putra, 2016). Indonesia juga pernah melakukan serangan mendadak ke pos tentara di Kalabakan, Tawau dan Sabah pada 29 Desember 1963. Beberapa tokoh militer utama Indonesia selama konfrontasi dengan Malaysia antara lain Presiden Soekarno, Jenderal Soeharto, Komandan Omar Dani dan Abdul Haris Nasution (Hasanah, 2020).
Berakhirnya Ganyang Malaysia di Tanah Borneo
Setelah sekian banyak operasi militer digencarkan, aksi penolakan dibentuknya Federasi Malaysia mengalami perubahan politik karena terjadi pergantian kepemimpinan di Indonesia dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Presiden Soeharto beranggapan bahwa konfrontasi Indonesia-Malaysia yang berlangsung selama ini sangat merugikan, sehingga perlu untuk segera diselesaikan dengan jalan damai. Perundingan untuk mendamaikan negara yang terlibat dalam konfrontasi dilaksanakan melalui konferensi Bangkok yang terselenggara selama tiga hari mulai dari 29 Mei- 1 Juni 1966. Perwakilan Indonesia dipimpin oleh Adam Malik, sedangkan perwakilan Malaysia dipimpin oleh Tun Abdul Razak (Arifina, 1994). Kemudian pada tanggal 11 Agustus 1966 ditandatangani perjanjian Jakarta atau Jakarta Accord sebagai hasil dari konferensi Bangkok. Penandatanganan perjanjian Jakarta menjadi tanda berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia membawa dampak bagi Indonesia dan khususnya Kalimantan, yaitu tingginya angka inflasi hingga berakibat pada naiknya harga bahan pangan terutama beras. Masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia kala itu disebabkan pengeluaran pemerintah yang cukup besar untuk membiayai jalannya aksi konfrontasi dan berakibat pada defisitnya anggaran negara (Sutrisno & Nasution, 2013). Selain itu, wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia juga terganggu stabilitas keamanannya.
Daftar Sumber
Buku
Departemen Penerangan RI. Gelora Konfrontasi Mengganjang "Malaysia". Jakarta: Pradnjaparamita, 1964.
Artikel & Skripsi