Fakta sosial yang menunjukkan masih banyaknya sarjana yang menganggur setelah lulus kuliah, menjadi salah satu faktor keengganan seseorang untuk melanjutkan pendidikan dengan berkuliah. Sebab, fakta ini menimbulkan stigma bahwa dengan kuliah pun tidak menjamin seseorang akan mudah mendapat pekerjaan yang nyaman dan memiliki penghasilan yang tinggi. Sehingga, siswa cenderung mencari jalan lain seperti langsung bekerja dan meninggalkan opsi berkuliah setelah tamat dari tingkat sekolah menengah atas.
5. Akses informasi tentang institusi perguruan tinggi dan program beasiswa yang terbatas
Ketika seorang siswa berminat melanjutkan pendidikan tinggi, maka ia harus memilih perguruan tinggi yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Tentu, memilih perguruan tinggi yang dijadikan tujuan bukan perkara mudah. Maka, diperlukan akses informasi yang cukup untuk menunjang pengetahuan tentang berbagai macam perguruan tinggi beserta seluk-beluk dan kualitasnya. Jika akses informasi kurang, maka dapat memengaruhi minat siswa untuk berkuliah karena anggapan-anggapan dan rasa ragu-ragu untuk memilih dan menentukan tempat tujuan. Begitupun dengan akses informasi program beasiswa, seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa akses informasi program beasiswa berhubungan dengan faktor ekonomi. Ketika, ekonomi siswa kurang mendukung, maka informasi program beasiswa mutlak diperlukan agar dapat menunjang pendidikan siswa. Sebaliknya, jika akses informasinya sangat terbatas, tentunya tidak dapat menjadi solusi kesulitan biaya berkuliah, yang berakibat pada pilihan untuk tidak berkuliah.
6. Bekerja dianggap lebih menjanjikan
Salah satu faktor penghambat minat siswa untuk berkuliah, yakni asumsi bahwa bekerja lebih menjanjikan. Tentu, faktor ini berkaitan dengan keadaan lingkungan pergaulan atau teman sebaya. Misalnya, ketika seseorang memiliki teman sebaya yang notabene setelah tamat sekolah langsung bekerja, entah menjadi pegawai kantor, pegawai toko, kartawab pabrik, membuka usaha, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak memerlukan ijazah sarjana. Fakta ini dapat menimbulkan kecenderungan siswa tersebut untuk meniru dan tidak lagi berminat untuk berkuliah. Karena, berkaca pada pengalaman teman-temannya yang sudah bekerja dan tidak perlu bersusah-susah kuliah beserta anggapan “Toh, nantinya juga harus mencari pekerjaan”. Apalagi, jika figur teman-teman sepergaulan tersebut terlihat hidup nyaman dan memiliki penghasilan yang memadai, tentu akan mendorong seseorang itu untuk meniru pola-pola itu dan mengabaikan berkuliah.
7. Anggapan masyarakat bahwa berkuliah itu membosankan dan sulit
Melanjutkan pendidikan tinggi memang tidak mudah. Banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi, baik dalam dunia akademik maupun nonakademik. Terutama melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tetapi, bukan berarti proses-proses tersebut selamanya menyulitkan. Asumsi bahwa berkuliah itu sulit dan membosankan memberikan pengaruh pada penurunan minat seseorang untuk berkuliah. Karena, orang tersebut sudah memiliki pandangan negatif terhadap proses pembelajaran di perguruan tinggi. Sehingga, dia akan menghindari hal-hal tersebut dan tidak berminat untuk berkuliah.
8. Pernah mengalami penolakan di berbagai perguruan tinggi
Seseorang yang sudah berminat melanjutkan pendidikan tinggi pun dapat menjadi enggan untuk berkuliah, karena ia sudah berkali-kali mendaftar pada program studi dan institusi yang diimpikan dan ternyata berkali-kali ditolak. Sehingga, penolakan itu menyebabkan ia putus asa dan tidak bersedia untuk berkuliah.
Sumber: Tulisan ini hanya bermaksud mengungkapkan secara fakta fenomena di masyarakat berdasarkan sudut pandang penulis. Tidak ada maksud menyinggung pihak manapun, dan tidak mengandung unsur SARA, pornorgrafi, serta hal-hal yang melanggar hukum dan norma yang diakui secara umum. Terima kasih atas kunju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H