Mohon tunggu...
Rismawati
Rismawati Mohon Tunggu... Guru - Universitas Negeri Malang

Sekali-kali jangan pernah mengaku paling suka membaca, jika menulis satu kalimat saja kamu tau bisa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sapuih Ijuak

27 Januari 2024   21:59 Diperbarui: 28 Januari 2024   18:23 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata perjalanan ke Jakarta tidak semulus yang aku bayangkan. Aku mengira bahwa Jakarta akan seperti Kota Padang, ternyata di luar prediksiku. Kota ini begitu padat dan sesak. Kemana aku akan pergi. Aku memutuskan untuk mencari masjid ataupun musala untuk istirahat sejenak. Nasi yang dibungkus daun pisang buatan amak masih tersisa satu lagi. Aku akan makan terlebih dahulu sebelum mencari cara untuk sampai ke alamat Pak Etek Burhan. Setelah berjalan lumayan lama aku akhirnya menemukan masjid tidak jauh dari terminal pemberhentian bus. Sebenarnya ada musala di sekitar terminal, tapi aku ingat pesan amak untuk tetap berhati-hati apalagi di sekitar terminal. Kejahatan memang bisa terjadi di mana-mana, namun kejahatan di terminal biasanya lebih mudah terjadi apalagi kepada pendatang baru seperti aku.

Nikmatnya rendang asli minang ternyata jauh lebih enak jika dimakan jauh dari ranah minang. Ingin rasanya aku menghabiskan semua rendang ini, tapi pesan amak tidak boleh aku ingkari bahwa rendang juga ada untuk Pak Etek Burhan dan keluarganya. Setelah menjilati jari untuk menikmati sisa-sisa rendang aku mengemasi kembali semua perkakas yang telah kukeluarkan. Untung saja pengurus masjid tidak memarahi aku yang makan di teras masjid. Mungkin dia tahu bahwa aku tunawisma yang baru datang ke Jakarta. Sembari merapikan tas seperti semula, aku berpikir mungkin aku bisa berkerja di masjid yang ada di Jakarta sebagai marbut. Pasti ada masjid yang membutuhkan marbut di Jakarta yang padat dan sesak ini. Aku pasti akan diterima, setidaknya jadi muazin karena suara azanku sangat merdu dan pernah mendapatkan juara 1 lomba azan tingkat kecamatan. Opsi pekerjaan pertama sudah terpikirkan olehku. Saatnya aku menghubungi pak etek untuk memberitahu aku sudah tiba di Jakarta.

Pak Etek Burhan datang menjemput beberapa waktu kemudian. Mungkin beliau iba melihat kemenakannya terluntang-lantung di hiruk pikuknya Kota Jakarta, atau takut aku hilang dan akan beliau akan dimarahi oleh orang sekampung. Pak etek bukan orang berada, berbekal ijazah SMA juga dia memberanikan merantau ke Jakarta hingga menikah dan membangun keluarga di sana. Beliau mudik tiga atau lima tahun sekali. Bekerja sebagai juru kunci sebuah perusahaan membuat ekonomi keluarganya pas-pasan bahkan terkadang tidak cukup untuk menampung hidup bertiga di kota metropolitan. Keadaan itulah membuat istrinya harus membantu perekonomian keluarga dengan berjualan roti hingga membuka toko roti di rumah. Empat tahun yang lalu ketika pak etek dan keluarganya pulang kampung beliau sempat bercerita bahwa toko roti yang dibuka laris manis dan sekarang menjelma menjadi toko roti besar. Bahkan penghasilan dari toko roti jauh lebih besar daripada penghasilan pak etek sebagai juru kunci. Nanti akan kulihat seberapa besar toko roti itu, batinku penasaran.

Sepanjang perjalanan menju rumah, pak etek sangat semangat menceritakan keadaan keluarganya. Dik Amel yang katanya sudah masuk sekolah dasar. Pak Etek Burhan termasuk sosok yang aku sayang dan hormati selain bapak, amak, dan Ahmad, adikku. Saking semangatnya bercerita ketika sudah memasuki gang yang kian lama mulai menyempit, motor yang dikendarai Pak Etek Burhan hampir saja menabrak seiringan angsa. Tentu saja angsa-angsa itu marah dan mengambil ancang-ancang mengejar kami. Untung gang sepi dan pak etek bisa melajukan motornya. 

“Pak etek, ado juo angso di Jakarta kironyo yo,” (Pak Etek, di Jakarta ada angsa juga ya) teriakku sambil berpengangan erat pada motor.

“Jiko tingga di tapi Jakarta, sagalo binatang waang bisa basuo, Cup!” (Jika tinggal di tepi Jakarta, semua binatang akan kamu temukan) jawab pak etek tak kalah kuat.

Ternyata suasana ini belum seberapa karena masih berada di pinggiran Kota Jakarta. Nanti akan kujelajahi kota ini untuk membuka cakrawalaku, batinku dengan optimis.

Kami tiba di rumah Pak Etek Burhan dengan wajah mulai membaik. Gerombolan preman berbaju putih tersebut akhirnya menyerah mengejar ketika di perempatan gang menuju rumah pak etek. Tentu saja aku disambut oleh penghuni rumah dengan baik. Dik Amel segera mengajakku untuk bermain ketika aku baru menginjakkan kaki ke teras rumah. Mak etek tidak kalah sumringah melihat kedatanganku, karena sebelum Dik Amel lahir aku sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh sepasang suami istri ini meskipun jarang bertemu. Dan ternyata benar kata pak etek, toko roti yang dimiliki mak etek ternyata cukup besar. Toko itu berdiri di samping rumah pak etek, bahkan ukurannya hampir sama besar dengan rumah pak etek. Berbagai jenis roti dan kue dipajangkan pada etalase toko. Opsi pekerjaan kedua telah kutemukan. Jika tidak menjadi marbut, aku akan mejadi karyawan di toko roti istri pak etek sekalian membantu.

Malamnya setelah makan malam dengan rendang yang dibawa dari kampung, aku mengutarakan dua opsi pekerjaan yang sudah terpikirkan. Pak etek sangat senang karena aku berniat membantu dalam usaha toko roti keluarganya, tetapi beliau ternyata sudah mempunyai pekerjaan yang sangat cocok untuk parasku, meskipun sebenarnya bekerja di toko roti membuatku juga akan keren. Pak etek bilang dia mengenal seorang produser film yang sedang membutuhkan pemeran pendukung sebuah sinetron. Pak etek menyarankan aku dengan menunjukkan foto latar merah ijazah SMA. Entah angin apa yang membuat produser menerimaku sebagai pemeran pendukung sebelum melihat keadaanku. Besoknya bersama Pak Etek dan aku bertemu dengan produser tersebut. Aku sebenarnya tipikal tidak suka keramaian, dan sulit bersosialisasi dengan orang baru. Demi pekerjaan pertama, aku coba untuk menepis fobia itu. 

Hari demi hari terlampaui, Ucup si anak kampung kini sudah sibuk bekerja sebagai pameran pendukung sebuah sinetron yang sedang naik daun. Amak memberi kabar bahwa orang-orang di kampung sangat bangga kepadaku. Tak hanya keluargaku dan orang di kampung saja yang bahagia, keluarga Pak Etek Burhan juga sangat bahagia dengan kemajuan karirku, meskipun sebenarnya masih sebagai pemeran pendukung yang kadang hanya numpang lewat dalam dialog pemeran utama. 

Terlintas di pikiranku, jika aku tidak pernah mengasah kemampuanku dalam dunia ini, maka peranku akan tetap sebagai pemeran pendukung hingga esoknya. Keluargaku dan orang-orang di kampung sudah terlanjur bahagia, batinku. Aku teringat perkataan amak tentang sapuih ijuak. Meskipun sapu tradisional, namun sangat besar manfaatnya. Amak menyuruhku untuk mengambil pelajaran dari sapuih ijuak bukan berarti tanpa sebab. Sapuih ijuak terbuat dari kumpulan ijuk enau yang disatukan dan disusun dengan erat sebelum bisa digunakan untuk menyapu. Oleh karena itu aku juga harus memulai membangun hubungan dengan orang-orang sekitar supaya bisa bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun