Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Suci Akhir Pekan

20 November 2020   15:49 Diperbarui: 20 November 2020   15:52 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau tahu apa beda diskotik, club, pub, bar dan lounge? Kalau kau tidak tahu, tak perlu kau cari tahu. Beruntunglah kau yang tak mengenal semua itu. Pertahankan! Mengapa kubilang begitu? Artinya kau tidak merasa butuh terhadap itu semua, dan itu bagus. Karena banyak diluaran sana yang membutuhkan tempat-tempat itu layaknya rumah suci. Yah, Aku menyebutnya rumah suci akhir pekan.

Mereka mendatangi tempat-tempat itu lebih sering dari mereka mendatangi rumah suci mereka. Mereka mungkin lupa kapan terakhir mendatangi masjid atau bahkan tidak pernah sama sekali.

Tak perlu seruan layaknya azan untuk memanggil. Mereka datang dengan sukarela tanpa paksaan, walau harus merogoh kocek. Bahkan beberapa telah melakukan reservasi terlebih dahulu. Hal itu adalah sesuatu yang tak pernah ada di rumah ibadahmu kan?

Mereka tenggelam dalam lantunan irama EDM. Berjamaah diimami oleh sang DJ dengan headphone yang selalu melingkar di leher. Mimbarnya adalah perangkat Pioneer CDJ 2000 Nexus atau sejenisnya. Tenggelam dalam kontemplasi berselimutkan tata cahaya yang atraktif dari konsol Madrix. Shaf mereka berbaur antara pria dan wanita. Disini bahkan sudah jamak bila diimami oleh wanita alias female DJ yang berpenampilan menggoda.

"Woy, bengong aja Lo dari tadi. Sudahlah, ngga usah terlalu dipikirin. Kita disini kan buat have fun. C'mon, Bro!" Suara Yoga menghentikan kelana pikiranku. Ia mengangkat gelas dan mengajakku bersulang. Aku sambar gelasku yang berisi Tequila tanpa garam, lalu menyambut ajakan bersulang Yoga. Kusesap minuman beralkohol itu dan segera memenuhi kerongkonganku. Damn! Keras sekali minuman ini. 

Obrolan santai dan gelak tawa memenuhi meja kami berlima. Kepulan asap rokok menyeruak diantara remang cahaya. Sejenak melupakan segala masalah masing-masing. Membenamkannya pada alkohol dan berharap akan segera luruh. Tentu saja itu hanya delusi.

"Arah jam sebelas, dari tadi dia ngeliatin Lo terus," kata Doni setengah teriak. Asisten manajer sebuah perusahaan advertising itu lalu menenggak Martel favoritnya. Aku mengarahkan pandang ke arah yang dimaksud Doni. Seorang wanita berparas cantik menatapku sedikit sayu. Wajahnya mengingatkanku pada aktris Tara Basro. Selama tiga detik kami saling pandang, dan di detik ke empat Aku memalingkan pandangku.  

"Apa pun minuman Lo malam ini, Gue yang bayar, kalau Lo berhasil mengajak dia kenalan," tantang Yoga, si pick up artist abal-abal.

"Gue kasih Lo sejuta, kalau Lo berhasil dapetin nomor Whatsapp-nya," tantang Rio, si playboy KW super.

"Gue kasih Lo dua juta, kalau Lo berhasil mengajak dia nge-dance berdua," tantang Marco, si bodat yang pandai nge-dance.

"Gue kasih Lo sepuluh juta, kalau Lo bisa mengajak dia tidur malam ini," tantang Doni, si fakboi hampir insyaf.

Semua mata tertuju padaku dengan tatapan menantang. Mereka pasti mengira Aku tak akan berani menerimanya. Well, dalam keadaan normal mungkin Aku tak akan berani. Tapi entah karena pengaruh Tequila atau apa, keadaannya jadi di atas normal.

"Deal," kataku singkat. Aku lalu bangkit dan menghampiri meja gadis itu. Ia datang bersama dua orang wanita dan dua orang pria. Kedatanganku sepertinya mengganggu mereka.

"Menatap mata orang yang tidak dikenal selama lebih dari tiga detik itu tidak sopan," kataku datar tanpa ekspresi.

"Oh, maaf. Wajah dan perawakan Lo mengingatkan Gue dengan seseorang," kata gadis itu dengan perasaan bersalah. Dua orang pria disebelahnya memasang wajah defensif. Mereka seperti bersiap mengusirku.

"Gue mau menatap Lo lebih dari tiga detik. Agar tidak dibilang tidak sopan, kita harus saling kenal. Gue Satria," ujarku sambil mengulurkan tangan.

"Gue Sandra," ucap gadis itu yang ternyata bernama Sandra.

"OK, Sandra.... Gue pengen mengenal Lo lebih jauh, tapi disini jelas bukan tempat yang tepat. Mungkin lain kali Gue bisa mengajak Lo ke tempat yang lebih cocok. Nomor Whatsapp Lo?" kataku sambil mengeluarkan gawaiku. Sandra menatapku. Mungkin ia coba menerka niatanku. Lalu ia mengambil gawaiku dan mengetikkan sederet angka.

"Thanks Sandra, nice to meet you." Aku lalu kembali ke mejaku. Keempat temanku menyambut dengan riuh. Obrolan kami makin seru. Mereka memprovokasi agar Aku menerima tantangan Marco dan Doni. Tak ada alasan untuk menolaknya. Aku kembali mendatangi Sandra.

"Gue ngga bisa nge-dance. Mau jadi guru privat Gue ngga? Gue bayar tiga belas juta," kataku pada Sandra. Ia kembali menatapku heran. Namun ia kembali tak menolak permintaanku. Sandra menggamit lenganku dan menyeretku ke dance floor.

Sandra mulai bergoyang mengikuti irama. Sial! Ternyata dia lihai sekali. Gerakannya begitu atraktif membuatku terlihat seperti amatiran. Tapi Aku ikut bersemangat dan berusaha mengimbanginya. Sejenak Aku lupa pada tantangan teman-temanku. Peluh mulai menghiasi tubuh indahnya yang dibungkus gaun Sabrina warna biru.

"Lagi banyak masalah?" kataku. Sandra tertawa lepas memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Aku baru saja dipecat hari ini. Perusahaan tempatku bekerja melakukan pengurangan pegawai," jawab Sandra sambil tetap bergoyang. Selanjutnya Aku dan Sandra terlibat percakapan. Akhirnya Sandra menyetujui apa yang menjadi tantangan dari teman-temanku. Setelah sama-sama lelah, kami pun kembali ke meja masing-masing.

"Guys, Gue pulang duluan yah," kataku pada keempat temanku.

"Mau kemana? Baru juga jam segini," sergah Doni.

"Gue mau nge-date sama Sandra. Don, siap-siap transfer sepuluh juta ke rekening Gue. Dah yah, Gue cabut dulu." Aku lalu menemui Sandra, berpamitan pada teman-temannya dan pergi. Kemana Aku pergi? Menunaikan tantangan Doni tentu saja.

***

Akhirnya uang tigabelas juta masuk ke rekeningku. Satu juta dari Rio, dua juta dari Marco dan sepuluh juta dari Doni. Aku lalu men-transfer uang sejumlah dua puluh juta kepada Sandra via mobile banking. Aku lalu menelepon Sandra.

"Barusan Aku transfer dua puluh juta. Yang tiga belas juta untuk biaya privat nge-dance. Yang tujuh juta buat bantu biaya operasi adik kamu," ujarku sambil tersenyum, meski pun Aku tahu Sandra tak bisa melihatnya.

"Terima kasih yah, mas Satria. Sandra ngga tahu mau ngomong apa. Kalau sempat, datang yah ke rumah sakit. Biar adik Sandra kenal, siapa orang baik yang sudah membantunya," kata Sandra. Sepertinya ia berkata sambil terisak. Setelah beberapa kalimat, percakapan via telepon pun usai.

Kalian tentu menyangka Aku berhasil meniduri Sandra. Tidak, sama sekali tidak. Ketika kami berdua melantai, Sandra bercerita tentang adiknya terbaring di rumah sakit. Ia butuh sejumlah uang untuk biaya operasi. Lalu Aku ceritakan tentang tantangan Doni. Sandra pun menyetujui rencanaku. Aku pun mengatur tipu muslihat agar Doni percaya bahwa tantangannya telah kutunaikan.

Kau juga tentu bertanya mengapa Sandra menatapku lama. Hmm... kalau itu sih rahasia. Yang jelas, tak seperti yang ada di pikiranmu. Percayalah!        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun