Ritual bertajuk wine wine solution pun dimulai. Galih membuka segel dan penutup gabus botol red wine asal New Zealand itu. Dituangkannya cairan berwarna merah keunguan itu kedalam gelas wine yang ada dihadapan Ghea. Sayup-sayup terdengar musik jazz instrumental dari perangkat home theatre mengalun lembut. Angin malam pun lembut menerpa kedua insan itu.
Ghea memegang tangkai gelas wine lalu menggoyangkannya dengan gerakan memutar.  Ia lalu menghirup dan menikmati aromanya sejenak. Ghea lalu memulai tegukan pertama setelah berkumur. Minuman dari anggur berjenis Pinot Noir itu pun memenuhi rongga mulut Ghea. Rasa anggur, kayu manis dan mint membelai lidah Ghea. Teksturnya medium dengan sedikit rasa masam ceri dan sepat. Minuman seharga ratusan ribu itu juga meninggalkan sedikit rasa cola pada after taste-nya.
"Setiap masalah selalu datang dengan solusinya, Beb. Tapi bukan dengan cara seperti ini," tutur Galih sambil memegang botol dan membaca labelnya. Ghea yang sedang menikmati wine tampak acuh. Kamu tidak tahu kalau masalah yang aku alami ini tidak ada solusinya, paling tidak untuk saat ini, begitu benak Ghea.
Ghea terus menenggak minuman berkadar alkohol 14% itu. Semakin lama kesadarannya makin tergerus, tapi ia tak ingin berhenti. Saat setengah mabuk, ia mulai meracau. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Galih hanya menatap tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkin ini yang dibutuhkan oleh Ghea malam ini, begitu pikirnya.
Tak berapa lama, Ghea pun ambruk. Beruntung Galih dengan sigap menahannya. Galih pun membopong Ghea ke kamar dan membaringkannya di ranjang. Ia lalu duduk disamping dan membelai rambut panjang Ghea. Setelah yakin Ghea terlelap, Galih menatap wajah Ghea dan berkata lirih.
"Jangan pikir Aku tak tahu apa alasanmu berbuat seperti ini, Ghea. Kamu memiliki segalanya yang bisa membuatku terpesona. Maafkan Aku yang belum bisa seperti yang kamu mau." Galih lalu mengecup kening Ghea dan kembali menuju balkon.
Sudah hampir tengah malam, lalulintas jalan M.H. Thamrin Tangerang masih saja ramai. Â Dari lantai delapan apartemen Kota Ayodhya, pikiran Galih bertamasya ke masa lalu. Disaat sendiri seperti ini, ada satu wajah yang selalu menghampirinya. Disaat seperti ini, ada satu nama yang selalu ia sebut dalam lirih. Bukan, bukan Ghea.
Bunyi nada dering Twinkle memutus lamunan Galih. Siapa pula yang menelpon di waktu seperti ini, benaknya. Ia meraih gawainya, dan satu nama tertera disana. Nama yang selama ini jadi lamunan dirinya. Ada rasa bahagia bercampur was-was ketika Galih menerima panggilan itu.
Raut wajah Galih berubah suram setelah menerima panggilan itu. Ada rasa yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Ada kata yang pernah tak bisa ia ucapkan. Ada rindu yang tak pernah ia sampaikan. Dan itu terasa lebih meremas-remas hatinya.
Diliriknya botol wine yang masih menyisakan setengah isinya. Sepertinya malam ini Aku juga butuh wine wine solution, benak Galih. Â
 Â