Aku bergegas menuju dapur. Secangkir kopi panas sepertinya bisa meredakan pikiran liarku. Sayup terdengar suara dua insan saling bercumbu. Sesaat kemudian tak terdengar lagi. Mungkin mereka pindah menuju kamar.
Dugaanku benar, Asih dan pak Budi sudah masuk kamar. Pakaian keduanya bertebaran di sofa. Sudahlah, apa yang terjadi bukan urusanku. Apa yang mereka lakukan, tak ada hubungannya denganku. Dengan pekerjaanku lebih tepatnya.
***
Pagi hari yang biasa. Aku sedang beristirahat setelah mencuci mobil ketika Asih menghampiriku. Dengan hanya dibalut kimono dan rambut yang masih terlihat berantakan, tak mengurangi keindahan parasnya.
"Kang, Asih mohon untuk merahasiakan apa yang Akang lihat. Jangan ceritakan pada Ibu dan orang-orang di kampung. Tolong...." Asih memohon sambil menyodorkan amplop, yang aku yakin isinya adalah uang. Aku menatap Asih beberapa saat, mencoba membaca apa maksud semua ini.
Selintas pikiran pragmatisku berkata untuk menerima amplop yang disodorkan Asih. Jumlahnya mungkin cukup untuk membayar SPP kedua anakku selama beberapa bulan. Bisa juga untuk membelikan beberapa stel pakaian Kirana, istriku. Atau mengganti gawai lawasku dengan seri yang lebih anyar.
Tapi itu hanya sekelebat saja. Akal sehatku seketika itu juga meringkus pikiran pragmatisku. Memasukkannya dalam sel nurani, paling tidak untuk sementara waktu.Â
Seperti yang kubilang diawal, Jakarta membuat orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya, tak akan pernah menjadi orang yang sama lagi. Tak terkecuali aku. Sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu, tidak menghalangi tujuanmu, bukan menjadi urusanmu. Nilai itulah yang kupegang sekarang.
"Ini semua tidak perlu, Asih," kataku menolak halus pemberiannya.
"Tolong terima, Kang. Kalau jumlahnya kurang, sebutkan saja jumlahnya, nanti Asih transfer. Yang penting, ini akan jadi rahasia kecil kita saja. Tak perlu ada orang lain yang tahu." Asih kembali menyodorkan amplop yang digenggamnya. Aku menghela nafas, mencoba menata apa yang akan kukatakan selanjutnya.
"Satu hal yang kamu perlu tahu, Asih. Jakarta juga menyimpan semua rahasia kita tanpa pernah menghakimi. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan," kembali aku menolak halus penawaran Asih. Aku menatap Asih dengan tatapan bersahabat, mencoba meyakinkannya. Sepertinya berhasil.