"Ternyata kau masih ingat, kupikir sudah lupa. Eh, jangan panggil pak ustadz dong. Panggil Leo aja," ujar Leonard sambil menepuk bahuku.
"Aku hampir tak mengenalimu dengan pakaian jubah dan sorban. Bacaan Al Qur'an-mu bagus sekali, Leo" kataku menatap kagum tranformasi penampilan Leonard yang berubah drastis.
"Andai aku tahu kehadiranmu, pasti akan kuminta kau yang menjadi imam. Aku yakin bacaanmu pasti lebih bagus," puji Leo. Aku tersenyum bersyukur datang sholat terlambat, bila tidak, entah apa yang terjadi.
"Aku sudah tidak seperti dulu, kawan. Seperti dirimu, aku sudah banyak berubah. Kamu berubah ke jalan yang lebih baik, sedang aku sebaliknya," lirihku. Leo menatapku seakan prihatin. Melalui mataku, ia seperti menyelami masa lalu. Entahlah, mungkin juga aku yang terbawa perasaan.
"Angin apa yang membawamu kesini, Dho?" tanya Leo memecah suasana lengang.
"Aku tinggal di apartemen Kota Ayodhya. Sudah beberapa waktu ini, aku selalu terbangun karena suara murottal dari masjid ini. Biasanya aku hiraukan, tapi entah mengapa kali ini aku tergerak untuk mendatangi asal suara itu. Dan kebetulan sekali aku bisa bertemu teman lamaku disini," paparku panjang lebar.
"Masyaa Allah, tidak ada yang kebetulan di dunia ini saudaraku. Semua sudah diatur oleh Dzat yang Maha Mengatur segalanya. Dan hatimu tergerak hanya dengan mendengar lantunan ayat suci, sungguh lembut hatimu wahai saudaraku."
"Kau berlebihan kawan. Andai kau tahu dosa-dosa yang aku perbuat, niscaya kau akan membenciku. Paling tidak, kau akan menjauhiku," sergahku.
"Percayalah..., Aku pernah berada di posisimu, kawan. Bahkan mungkin posisiku lebih buruk lagi. Aku yakin, dosa yang kau perbuat, aku juga pernah melakukannya. Bahkan dalam dosis yang lebih tinggi," mata Leo menerawang.
"Narkoba, alkohol, dan wanita penghibur dulu jadi keseharianku. Aku bahkan pernah melakukan tindakan kriminal dan merasakan kerasnya hotel prodeo. Waktu itu, tak pernah terlintas akan dosa di pikiranku. Namun satu peristiwa mengubah semuanya," tutur Leo dengan setengah berbisik. Mungkin ia tak ingin orang lain mendengar pengakuannya.
"Malam itu, aku hampir mati karena overdosis. Malaikat mau telah bersiap menyeretku. Bayang-bayang siksa kubur terlihat jelas dalam pandangku. Di tepi kematian, sayup kudengar panggilan yang selama ini kuabaikan. Panggilan yang selama ini kuanggap mengganggu. Sekuat tenaga aku bangkit. Aku tak ingin mati. Aku belum siap untuk mati. Dan memang aku belum ditakdirkan mati malam itu."