Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamu Cukup

19 Oktober 2020   06:00 Diperbarui: 19 Oktober 2020   06:23 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak kusangka akan menginjakkan kaki lagi di kota ini. Kota yang membuat hidup dan cintaku tak sama lagi. Kota yang menyimpan salah satu episode kelam dalam hidupku. Tiga tahun lalu kota ini kutinggalkan untuk melupakan seseorang.

Konyolnya saat ini aku kembali untuk seseorang yang dulu aku coba lupakan. Kadang seseorang menemui takdirnya justru saat ia berusaha menjauhinya. Isn't it ironic?

Dari balik kaca taksi, aku memandang keluar. Kulihat gedung-gedung tinggi kawasan Slipi berdiri angkuh. Mereka semua tampak meremehkan dan menertawakan aku. "Pecundang itu kembali pulang dengan segala kebodohannya," begitu mungkin tutur mereka padaku. "Memang aku ini seorang pecundang. Puas kau!" benakku menatap nanar pada gedung-gedung angkuh itu.

Lamunanku terhenti oleh nada dering gawai. Karin yang duduk dibaris belakang bersama Dona, menerima telepon dari seseorang. Ia berbisik seperti tidak ingin terdengar olehku. Cukup lama dia berbicara dan sepertinya penting.

"Jadi lo semua belum mau cerita nih? Gue masih bingung, darimana lo semua bisa dapat alamat gue," tanyaku sambil memutar badan kebelakang menatap Karin dan Dona bergantian.

"Udah deh, nanti juga Aa Ferdi akan tahu semuanya," ujar Karin sambil memalingkan wajahnya menghidari tatapanku. Dona pun begitu.    

Setengah kesal, aku memutar kembali posisi duduk. Kulirik Tag Heur-ku saat taksi memasuki pintu masuk sebuah rumah sakit di bilangan Bendungan Hilir. Sepuluh menit lewat dari pukul tujuh malam. Kuikuti langkah cepat Karin dan Dona menyusuri selasar rumah sakit yang cukup megah, lalu menaiki lift menuju lantai delapan.

Didepan sebuah kamar VIP, langkah Karin dan Dona terhenti. Karin memberi isyarat padaku agar masuk kedalam. Kuhirup nafas dalam, lalu kuhembuskan perlahan sebelum membuka pintu. Saat aku masuk, seorang pria duduk membelakangiku disebelah ranjang tempat Meira terbaring. Ia lalu menoleh, dan membuatku terkejut dan heran.

"Pak... Gusman...? Anda pak Gusman Arya Wisesa?" tanyaku ragu. Pria itu nampak santai, lalu tersenyum mengangguk padaku. Ia seperti sudah siap menyambut kedatanganku. Ia lalu bangkit dan mempersilahkanku duduk di sofa.

Pria pemilik perkebunan kopi tempatku bekerja itu menatapku hangat. Aku balas menatapnya sehangat mungkin, walau puluhan tanya masih mengitariku.

"Apa kabarmu nak Ferdi? Kebun kopi di Lampung Barat sana aman-aman saja kan?" tanya pria berusia sekitar limapuluhan tahun itu sambil menghirup espresso yang tersaji di meja.

"Oh iya, silahkan diminum nak Ferdi. Itu kopi kesukaanmu kan?" lanjutnya. Di meja telah tersaji 2 cangkir kopi dan beberapa L'clair au chocolat.

"Kabar saya baik Pak. Kebun juga aman, walau hujan seringkali tak sesuai prediksi. Pak Gusman kok bisa ada disini?" ucapku setelah menghirup cappucino dihadapanku.

 "Jadi begini nak Ferdi. Meira itu sebenarnya---" ucapan pak Gusman terputus karena tiba-tiba Meira memanggil namaku berulang kali, lalu terjaga. Pak Gusman memberikan isyarat agar aku menemui Meira.

Perlahan kudekati gadis yang masih saja terlihat cantik saat sakit begini. Rambut coklat sebahunya terlihat berantakan. Wajahnya tampak lebih tirus. Selang infus dan alat bantu pernafasan menghiasi tubuhnya. Pergelangan tangannya diperban, dan kulihat bekas darah yang menembus.

Saat tiba ditepi ranjang, Meira bangkit dan duduk menatapku. Matanya berkaca-kaca. Aku balas menatapnya dingin. Dihadapanku ada gadis yang menyakiti bukan hanya hati, tapi juga membuat ragaku tak sempurna lagi.

Tak lama kemudian Meira melepas selang infus dan alat bantu pernafasannya. Ia lalu  berhambur memelukku. Air matanya jatuh berderai membasahi kemeja Giordano putihku. Aku bergeming. Hati ini terasa kebas. Sumpah, saat ini ingin kuteriakkan kata maki.

Kukepal tanganku. Sekuat tenaga aku menahan luapan emosi yang membuncah. Disaat yang sama, pak Gusman keluar dari ruangan. Beliau sepertinya memahami, yang terjadi selanjutnya adalah urusan pribadi.

"Bodoh... bodoh... bodoh! Selain jahat ternyata kamu itu bodoh, Neng! Kalau dengan bunuh diri semua masalah terselesaikan, Aa sudah lebih dulu melakukannya waktu kamu meninggalkan Aa tanpa kejelasan tiga tahun lalu!" teriakku. Tangis Meira makin menjadi, tubuhnya berguncang.

"Kamu tahu apa yang terjadi pada diri Aa tiga tahun lalu? Itulah titik nadir. Setelah tiga tahun, Aa kira waktu akan menyembuhkan luka, ternyata Aa salah. Waktu hanya membuat permukaannya terlihat baik-baik saja," kataku dingin dan masih tak kusambut pelukan Meira.

 "Aa... maafkan Mei... Mei bisa jelaskan semuanya. Bukan maksud Mei membuat Aa menderita seperti ini," tutur Meira sembari menatap wajahku. Kami beradu pandang. Damn, why does my heartbeat run faster?     

"Jelaskan sesederhana mungkin! Jelaskan sebaik mungkin! Sebab jika tidak , Aa tak merasa ada alasan lagi untuk menemui kamu." Tentu saja aku menggertak.

Meira lalu melepaskan pelukannya dan menyeka air matanya. Ia lalu memegang tanganku dan menyeretku duduk di sofa. Kurasakan emosiku jauh mereda saat duduk. Kami duduk berhadapan dipisahkan oleh meja. Meira sesegukan. Beberapa saat kunanti kata yang terucap dari bibir tipis Meira. Tak ada sepatah pun. Come on, don't make it hard, babe!

Aku beranjak menuju jendela, menyapu pandang keluar. Tatapanku berhenti pada baliho Bank Berdikari. Pikiranku berkelana menyusuri jejak masa lalu bersama Meira, juga Karin dan Dona sebagai budak korporasi disana. Kerja keras sampai lembur demi mengejar target. 

Repetan atasan saat target jauh dari jangkauan. Kegilaan saat clubing di akhir pekan. Dan yang paling penting tentu saja romansa aku dan Meira. Ada rindu disana. Rindu untuk mencintai dan dicintai pada saat yang sama. Tiga tahun perpisahan ternyata tak mampu memusnahkan semuanya.

"Neng bingung harus mulai dari mana... Neng...," tiba-tiba saja Meira sudah berdiri disampingku. Buyar lamunanku. Tangan putihnya menggamit tanganku erat sekali. Aku menoleh. Ah, dia menangis lagi. If a woman laughs because of you, she likes you. If a woman cries because of you, she loves you. Isn't it?   

"Kamu bisa mulai dengan menjawab pertanyaan Aa malam itu," ujarku dengan lembut sambil berhadapan dan memegang kedua tangan Meira.

"Neng bersedia A'...," kata Meira sambil mengangguk dan tersenyum. Waktu seakan berhenti saat itu.   

Aku mendekati Meira hingga antara kami hanya menyisakan sedikit ruang. Kusentuh pipinya yang merona merah dengan tangan kananku. Kuangkat dagunya sedikit. Masih banyak tanya yang belum terjawab malam ini, tapi tak mengapa.

Kutatap dalam mata Mei, "Kamu cukup."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun