Meira lalu melepaskan pelukannya dan menyeka air matanya. Ia lalu memegang tanganku dan menyeretku duduk di sofa. Kurasakan emosiku jauh mereda saat duduk. Kami duduk berhadapan dipisahkan oleh meja. Meira sesegukan. Beberapa saat kunanti kata yang terucap dari bibir tipis Meira. Tak ada sepatah pun. Come on, don't make it hard, babe!
Aku beranjak menuju jendela, menyapu pandang keluar. Tatapanku berhenti pada baliho Bank Berdikari. Pikiranku berkelana menyusuri jejak masa lalu bersama Meira, juga Karin dan Dona sebagai budak korporasi disana. Kerja keras sampai lembur demi mengejar target.Â
Repetan atasan saat target jauh dari jangkauan. Kegilaan saat clubing di akhir pekan. Dan yang paling penting tentu saja romansa aku dan Meira. Ada rindu disana. Rindu untuk mencintai dan dicintai pada saat yang sama. Tiga tahun perpisahan ternyata tak mampu memusnahkan semuanya.
"Neng bingung harus mulai dari mana... Neng...," tiba-tiba saja Meira sudah berdiri disampingku. Buyar lamunanku. Tangan putihnya menggamit tanganku erat sekali. Aku menoleh. Ah, dia menangis lagi. If a woman laughs because of you, she likes you. If a woman cries because of you, she loves you. Isn't it?  Â
"Kamu bisa mulai dengan menjawab pertanyaan Aa malam itu," ujarku dengan lembut sambil berhadapan dan memegang kedua tangan Meira.
"Neng bersedia A'...," kata Meira sambil mengangguk dan tersenyum. Waktu seakan berhenti saat itu. Â Â
Aku mendekati Meira hingga antara kami hanya menyisakan sedikit ruang. Kusentuh pipinya yang merona merah dengan tangan kananku. Kuangkat dagunya sedikit. Masih banyak tanya yang belum terjawab malam ini, tapi tak mengapa.
Kutatap dalam mata Mei, "Kamu cukup."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H