Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamu Cukup

19 Oktober 2020   06:00 Diperbarui: 19 Oktober 2020   06:23 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Oh iya, silahkan diminum nak Ferdi. Itu kopi kesukaanmu kan?" lanjutnya. Di meja telah tersaji 2 cangkir kopi dan beberapa L'clair au chocolat.

"Kabar saya baik Pak. Kebun juga aman, walau hujan seringkali tak sesuai prediksi. Pak Gusman kok bisa ada disini?" ucapku setelah menghirup cappucino dihadapanku.

 "Jadi begini nak Ferdi. Meira itu sebenarnya---" ucapan pak Gusman terputus karena tiba-tiba Meira memanggil namaku berulang kali, lalu terjaga. Pak Gusman memberikan isyarat agar aku menemui Meira.

Perlahan kudekati gadis yang masih saja terlihat cantik saat sakit begini. Rambut coklat sebahunya terlihat berantakan. Wajahnya tampak lebih tirus. Selang infus dan alat bantu pernafasan menghiasi tubuhnya. Pergelangan tangannya diperban, dan kulihat bekas darah yang menembus.

Saat tiba ditepi ranjang, Meira bangkit dan duduk menatapku. Matanya berkaca-kaca. Aku balas menatapnya dingin. Dihadapanku ada gadis yang menyakiti bukan hanya hati, tapi juga membuat ragaku tak sempurna lagi.

Tak lama kemudian Meira melepas selang infus dan alat bantu pernafasannya. Ia lalu  berhambur memelukku. Air matanya jatuh berderai membasahi kemeja Giordano putihku. Aku bergeming. Hati ini terasa kebas. Sumpah, saat ini ingin kuteriakkan kata maki.

Kukepal tanganku. Sekuat tenaga aku menahan luapan emosi yang membuncah. Disaat yang sama, pak Gusman keluar dari ruangan. Beliau sepertinya memahami, yang terjadi selanjutnya adalah urusan pribadi.

"Bodoh... bodoh... bodoh! Selain jahat ternyata kamu itu bodoh, Neng! Kalau dengan bunuh diri semua masalah terselesaikan, Aa sudah lebih dulu melakukannya waktu kamu meninggalkan Aa tanpa kejelasan tiga tahun lalu!" teriakku. Tangis Meira makin menjadi, tubuhnya berguncang.

"Kamu tahu apa yang terjadi pada diri Aa tiga tahun lalu? Itulah titik nadir. Setelah tiga tahun, Aa kira waktu akan menyembuhkan luka, ternyata Aa salah. Waktu hanya membuat permukaannya terlihat baik-baik saja," kataku dingin dan masih tak kusambut pelukan Meira.

 "Aa... maafkan Mei... Mei bisa jelaskan semuanya. Bukan maksud Mei membuat Aa menderita seperti ini," tutur Meira sembari menatap wajahku. Kami beradu pandang. Damn, why does my heartbeat run faster?     

"Jelaskan sesederhana mungkin! Jelaskan sebaik mungkin! Sebab jika tidak , Aa tak merasa ada alasan lagi untuk menemui kamu." Tentu saja aku menggertak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun