Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Ada Cinta untuk Nayla

18 Oktober 2020   06:00 Diperbarui: 18 Oktober 2020   07:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aduh Nay, harus berapa kali sih gue bilangin? Ngga ada lelaki yang tulus dalam dunia kita. Semua lelaki yang datang adalah hidung belang atau kegatelan. Modus!" tegas Melisa sambil bangkit dari ranjang dan menyalakan sebatang Sampoerna Mild. Asap putih pun mengepul dari bibir sensualnya. Nayla hanya bisa diam walau dia tak setuju dengan pernyataan Melisa barusan.

"Sudahlah, sejak kita memutuskan menjadi perek, sejak saat itu pula tak ada cinta tulus buat kita. Cinta yang kita pahami haruslah berbanding lurus dengan banyak lembaran merah yang kita terima. Harus selaras dengan barang mewah dan kesenangan yang lelaki berikan buat kita," lanjut Melisa. Nayla hanya menunduk termangu. Lola yang ada disamping Nayla pun diam, hanya tangannya saja sejak tadi membelai rambut hitam panjang milik Nayla.

"Tapi mba Mel, mas Dirga itu pria baik-baik. Dia bukan pria hidung belang yang biasa kita layani. Gue kan ketemu mas Dirga di pesawat. Dia itu---"

"Omong kosong! Dia udah tau kalau kerjaan lo setiap hari jadi pemuas hasrat lelaki? Hah! Jangan bilang kalau dia belum tahu!" sergah Melisa sambil menatap Nayla sinis. Nayla balas menatap tajam, tapi hanya sesaat. Setelahnya ia kembali menunduk. Pikirannya tak mampu membantah kata-kata Melisa, tapi tidak demikian hatinya.

"Begini aja, besok lo ngomong jujur sama mas Dirga yang lo bangga-banggain itu. Kalau dia tetap mau pacaran sama lo, hari itu juga gue pensiun jadi perek. Deal?" tantang Melisa. Nayla bergeming diujung gelisah. Menerima tantangan Melisa berarti berjudi dengan mempertaruhkan seluruh cintanya. Satu hal yang ia sadari bahwa cepat atau lambat, keadaan seperti ini harus dilalui. Katakan saja namanya ujian cinta. Ia hanya menunggu saat yang tepat, walau tak ada waktu yang tepat sebenarnya.

"Ngga berani kan lo!" tegas Melisa dengan tatapan penuh kemenangan pada Nayla. Melisa melirik Bonia ditangan kirinya, ia lalu meraih gawai dan handbag-nya.

 "Gue cabut dulu yah, ada tamu sebentar lagi nih." Melisa lalu keluar meninggalkan Nayla dan Lola. Walau tak sedarah, hubungan Melisa, Nayla dan Lola sudah seperti keluarga.

Melisa si sulung, Nayla si tengah, dan Lola si bungsu. Melisa adalah senior yang sudah lima tahun malang melintang di dunia laknat yang mereka geluti. Walau mereka sering berbeda pandangan, tetapi mereka selalu saling menjaga. 

Masalah satu diantara mereka, adalah masalah semuanya. Musuh satu diantara mereka, adalah musuh semuanya. Mereka tinggal di apartemen yang sama. Unit apartemen mereka saling bersebelahan. Mereka semua bekerja dalam manajemen mami Farah.

"Jangan melamun terus dong mba Nay, nanti kesambet loh," canda Lola sambil menjawil hidung mancung Nayla.

"Iya, kesambet setan yang lagi pake hot pants hitam, tank top biru, dan punya tatto kupu-kupu dilehernya," balas Nayla sambil mencubit pipi Lola. Keduanya lalu tertawa, melupakan sejenak apa yang terjadi sebelumnya.

***

Suasana Bliss resto cukup ramai malam itu. Alunan bossanova dan cahaya temaram membelai mesra para pengunjung yang datang. Mereka semua tampak larut dalam percakapan manis nan romantis dengan pasangan masing-masing. Namun ada satu pengunjung yang sedari tadi begitu tegang. Wajahnya sedikit pucat seperti menanti vonis. 

Resah dan gelisah seolah enggan pergi darinya. Fettuchini lezat dihadapannya tak mampu menggugah selera. Dialah Nayla yang mengajak Dirga bertemu malam ini untuk mempertaruhkan segalanya. Now or never. For better or worst, she will do it tonight. 

"Kamu kenapa sih sayang?" tanya Dirga sambil meneguk Sababay Wine Ludisia. Ia lalu menggenggam tangan Nayla menatapnya lembut. Sekian detik mereka beradu pandang. Tatapan teduh Dirga seketika membuat hati Nayla lumer. Tatapan yang menghangatkan bak selimut bagi hati Nayla yang kedinginan. Tatapan yang tidak pernah ia dapatkan dari lelaki mana pun, termasuk tamu-tamunya.

Benak Nayla mulai berpikir tentang kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Bahwa Dirga akan meninggalkannya setelah ia menyingkap rahasia yang selama ini ditutupinya.

Ia merasa tak sanggup untuk hidup tanpa lelaki yang telah menguasai hatinya itu. Ia lalu mulai mengutuk dirinya sendiri. Puluhan kata maki ia hadiahkan untuk dirinya sendiri.

"Mas, aku sayang banget sama kamu. Aku ngga bisa ngebayangin hidupku tanpa kamu." Alih-alih mengungkap rahasia, justru itu yang terucap dari bibir Nayla. Digenggamnya erat tangan Dirga seolah tak ingin dilepas lagi. Lelaki yang berprofesi sebagai Corporate Legal itu hanya tersenyum tipis. Segala tanya yang hadir, ia tepis.

"Iya, aku juga sayang kamu. Sikap kamu koq aneh sayang? Kenapa? Ada masalah? Cerita dong." Dirga berkata setenang telaga. Ia tahu ada hal yang ingin disampaikan Nayla. Gadis berusia awal dua puluh itu hanya menggeleng. Dirga tak ingin memaksa, mungkin lain waktu gadis dihadapannya itu akan mau bercerita.

"Ya sudah kalau belum mau cerita. Kita pulang yuk. Sudah hampir jam sebelas, besok kan aku kerja," tutur Dirga. Nayla mengangguk. Gagal sudah apa yang telah direncanakannya. Ia membayangkan cibiran pedas Melisa yang akan diterimanya. 

Lebih dalam lagi, ada perasaan bersalah yang semakin sulit untuk diredam. Apa yang dilakukannya selama ini adalah bentuk pengkhianatan. Jahat, sungguh jahat.

Dalam perjalanan pulang, Nayla lebih banyak melamun. Hatinya sering kali bertanya mengapa hidupnya tak bahagia. Dibesarkan dalam keluarga broken home. Dikhianati kekasih yang merenggut mahkotanya. Tak dipedulikan oleh keluarga besarnya. Akhirnya terjun ke dunia laknat pemuas dahaga pria. Dan sekarang, saat ia menemukan lelaki yang ia yakini dapat memberinya bahagia, keadaannya sudah terlanjur kacau. Ah, andai waktu dapat kuputar kembali, begitu batinnya.

Lagu Broken Angel mengalun dari audio mobil, membuat Nayla semakin larut dalam lamunan. Imaji kelam masa lalu masih terekam jelas dibenaknya. Hadir satu persatu layaknya slide show dalam presentasi. Lamunan Nayla terhenti saat tiba di parkiran apartemen Diamod Park, tempat tinggalnya. Dirga mengantar Nayla menuju unit apartemennya. Digamitnya dengan mesra gadis berbibir tipis itu sampai masuk kedalam unit apartemen.

"Ngga mau masuk dulu, Mas? Aku masih ingin bersama kamu." Nayla merajuk manja.

"Ngga deh, sudah malam. Besok aku kerja. Kapan-kapan aja yah," ucap Dirga sembari tersenyum tipis. Nayla sedikit kecewa dengan jawaban Dirga, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

"Ya udah, masuk sana, aku ngga pulang-pulang kalau begini terus," ujar Dirga pura-pura marah.

"Ih, ngusir nih! Ya udah, bye mas Dirga. I love You."

"Love you more."

Tepat setelah Dirga menutup pintu, ia dikejutkan oleh pemandangan dari unit sebelah. Seorang kawan lama saat masih berseragam putih abu-abu baru saja keluar. Mereka sama-sama terkejut. Agak lama mereka saling tatap.

"Lo Dirgantara Wijaya kan?" tanya pria berperawakan tinggi itu.

"Lo Hendra Gunawan?" Dirga balik bertanya. Keduanya saling tatap tak percaya. Kemudian saling tertawa.

"Ngobrolnya sambil jalan yuk, gue buru-buru nih," ajak Hendra sambil berjalan menyusuri koridor menuju lift. Dirga pun mengikuti langkah cepat Hendra. Keduanya terlibat obrolan seru. Maklum, mereka belum pernah bertemu sejak lulus SMA.

"By the way, ada perlu apa lo disini? Lo abis 'maen' sama Ayumi yah?" tanya Hendra seraya menekan tombol lantai dasar.

"Maen sama Ayumi gimana maksud lo?" tanya Dirga kebingungan.

"Lo barusan dari unit 108 kan? Itu kan kamar Ayumi. Bulan lalu gue 'maen' sama dia," jelas Hendra yang membuat Dirga semakin tak mengerti. Dirga menatap Hendra seperti anak SD yang diberi soal integral orde dua.

"Hmmm, jangan-jangan lo pacaran sama Ayumi, dan lo belum tahu kalau dia itu wanita penghibur," terka Hendra. Lelaki berambut ikal itu menatap Dirga serius. Belum sempat Dirga berbicara, pintu lift terbuka. Mereka berdua berjalan dengan langkah cepat. Sesampainya di parkiran, mereka berpisah dan saling bertukar kontak.

Dirga memacu Yaris merahnya perlahan membelah malam kawasan Pantai Indah Kapuk. Pikirannya mencerna apa yang disampaikan Hendra barusan. Ada banyak pertanyaan yang tidak mau ia sandarkan pada asumsi dan dugaan belaka. Ia harus mencari jawabnya pada Hendra.

***

"Begitulah, Bro. Gue udah jelaskan keadaannya sedetil mungkin. Sekarang pilihannya ada sama diri Lo sendiri," tutur Hendra sambil menghirup cappucino hangat dihadapannya. Di sebuah coffee shop kawasan Cengkareng, Dirga dan Hendra terlibat perbincangan serius. 

Penjelasan dan bukti-bukti yang disodorkan Hendra memvalidasi apa yang menjadi asumsi dan dugaan Hendra. Getir memang mengetahui hal ini dari orang lain. Seketika hatinya remuk. Apa yang selama ini ia sebut cinta, tak berarti akhirnya.

***

Malam makin meninggi. Dari unit apartemen 108 terdengar suara lelaki memuaskan hasratnya. Setelahnya hasrat terpuaskan, ia melempar beberapa lembaran merah di ranjang. Lelaki itu lalu memakai pakaiannya kembali dan pergi begitu saja. 

Sementara sang wanita hanya melamun dengan pandangan kosong. Separuh jiwanya mati dibunuh oleh rasa sesal tiada bertepi. Kini ia sadari, tak ada cinta untuknya. Wanita itu adalah Nayla.

Sang lelaki berjalan gontai menyusuri koridor apartemen. Lelaki itu tak lain adalah Dirga. Dalam dimensi waktu yang sama, tapi dalam dimensi ruang yang berbeda, ada dua insan itu disengat oleh cinta. Tak ada yang perlu disalahkan. Semua hanyalah sebab akibat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun