Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Menyerah Hari Ini

15 Oktober 2020   09:29 Diperbarui: 15 Oktober 2020   09:42 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ryan dan Mei berdiri melayangkan pandang ke arah selatan. Kedua insan itu bergeming, asyik dengan jalan pikirnya masing-masing. Angin malam lembut menerpa, membuat rambut indah Mei tergerai. Ryan tersadar dari diamnya dan memandang ciptaan Tuhan yang indah, sosok Mei. Raut wajah Mei saat itu terlihat sangat berbeda dari yang biasa ia lihat. Tiada wajah riang penuh percaya diri menantang dunia. Yang ada adalah wajah dengan tatapan kosong seakan menyimpan kesedihan. Ryan ingin memulai pembicaraan, namun urung dilakukannya. Ia ingin Mei yang memulai.

Mei lalu duduk diatas kotak kayu, dan mengeluarkan isi dari tote bag-nya. Chivas Regal 12 years old beserta gelasnya. Dituangkannya minuman beralkohol itu dalam gelas sampai memenuhi setengah bagian. Dipandanginya sejenak, lalu ia meminumnya dalam sekali teguk. Sambil memejamkan mata, Mei menikmati tegukan pertama dari minuman yang sebotolnya berharga jutaan rupiah itu. Ryan lalu ikut duduk disebelah Mei. Ia lalu memegang botol minuman keras yang diminum Mei dan memandangnya dengan lekat. Seingatnya, kadar alkoholnya cukup tinggi. Bukan untuk pemula yang baru coba-coba.  

"Hidup sepertinya akan lebih mudah bila ada pil amnesia yah A... Telan saja sebutir, lalu kenangan akan masa lalu yang kelam, rasa sakit hati, penyesalan dan perasaan bersalah akan hilang selamanya. Lalu esoknya kita bisa melanjutkan hidup dengan ringan tanpa beban," tutur Mei dengan tatapan kosong. Kalimat pembuka yang sungguh membuat Ryan tersentak. Ia tak menyangka kata-kata ajaib itu bisa keluar dari mulut Mei. It feels like drink whiskey for the first time. 

Hening sesaat kemudian, kedua insan itu hanya menatap lalu lalang mobil di bawah mereka dari atap apartemen Kota Ayodhya. Hanya ada sedikit bintang berkeliaran malam itu. Bermandikan temaram bulan sabit, mereka larut dalam bahasa kalbu.

"Kalau pil amnesia itu benar-benar ada, apakah kamu mau menukarnya dengan seluruh harta yang kamu punya?", tanya Ryan sejurus kemudian. Mei kembali meneguk minuman di tangannya lalu menjawab, "Tentu saja Neng bersedia, tak peduli seberapa besar Neng harus membayarnya. Kalau hanya uang, Neng bisa mendapatkannya lagi dengan mudah."

"Hidup ini memang tak menawarkan apa-apa, kecuali masalah. Berjuta tanya tak terjawab. Tersesat di antara milyaran benda angkasa," balas Ryan sambil menatap bulan sabit yang terhalang awan tipis.

"Tapi kita sudah terlanjur hidup, Neng... Meski kita tak meminta untuk diberi hidup. Paling tidak, Aa tidak ingat bahwa dahulu pernah diberi pilihan untuk hidup atau tidak. Tidak pernah diberi pilihan dari keluarga mana Aa dilahirkan. Tiba-tiba Aa sudah hadir di dunia ini." Ryan melanjutkan bicara sambil memejamkan mata sejenak.

"Kadang Neng mah terpikir ingin mengakhiri hidup ini A.... Neng mah merasa udah ngga kuat lagi menjalani hidup ini," ucap Mei dengan mata yang mulai berkaca-kaca. 

"Kalau dengan mati, semua masalah terselesaikan, Aa mungkin sudah lebih dulu memilih mati, Neng. Masalahnya, setelah mati justru kita akan dihadapkan pada urusan yang jauh lebih rumit," ucap Ryan setelah meminum sebotol yoghurt ditangannya dengan sedotan. 

Air mata Mei mulai jatuh perlahan. Ia tak mampu lagi membendung emosi yang membuncah di dalam hatinya. Ia tak malu lagi membuang egonya di hadapan pria yang laun mulai mengisi tempat istimewa di hatinya itu. Ia tak sungkan lagi untuk berkeluh kesah dihadapan pria yang selalu memberi perlakuan istimewa kepadanya.  

Melihat Mei menangis, Ryan menggenggam tangan Mei dengan erat. Ia seolah ingin berkata bahwa ada aku di sampingmu yang akan mengerti tangismu. Ada aku tempat curahan hatimu. Ada aku yang merasakan deritamu. Ada aku yang akan membasuh perihmu. Keluarkan saja semuanya malam ini.

"Dua puluh tahun Neng hidup di dunia ini, jarang sekali Neng bahagia. Orang-orang yang datang dalam kehidupan Neng, semua menggoreskan luka. Tak ada yang tulus mencintai Neng. Tak ada yang peduli sama Neng. Semuanya jahat. Dunia ini tak adil!" Air mata Mei pun mengalir deras di bahu Ryan.

Ryan membelai lembut rambut Mei. Mencoba menenangkan emosi gadis sebatang kara itu. "Kamu tahu Neng, kalau manusia punya tiga wajah. Wajah pertama yang dia tunjukkan pada dunia. Wajah kedua yang dia tunjukkan pada keluarga dan orang dekatnya. Wajah ketiga yang tidak pernah ditunjukkan pada siapa pun. Selama ini, Aa selalu melihat wajah pertamamu. Tapi malam ini, sepertinya Aa melihat wajah keduamu."

Mei memandang wajah Ryan dengan tatapan syahdu. Dalam hatinya berkata, kamu memang orang yang paling mengerti aku. Orang di sampingnya memang bukan siapa-siapa. Bukan keluarga, kekasih atau sahabatnya, tapi dirinya merasa nyaman berada di dekatnya.

Mereka baru saling mengenal selama empat bulan. Awalnya Mei adalah narasumber Ryan dalam penelitian skripsinya. Profesi Mei di tempat hiburan malam menjadi bahan studi Ryan. Setelah itu, keduanya sering bertemu, berjalan bersama, berdiskusi bahkan saling berbagi beberapa rahasia.

Bagi Ryan, Mei adalah improvisasi dalam komposisi jazz yang ia mainkan. Tak ada dalam partitur, spontan, dan sedikit keluar dari jalur namun tetap enak didengar. Bagi Mei, Ryan layaknya shelter yang selalu menjadi tempat bernaung yang nyaman. Tempatnya kembali bila tersesat atau tak ada lagi tempat yang dituju.             

"Setiap orang menyimpan rasa sakit dalam hatinya, Neng. You can share your pain with me if you want. Tell me your sorrow, sad stories, hurt, whatever. You can trust me." Ryan menatap dalam mata Mei dan berusaha meyakinkan Mei.

"I need more time, A. If you know my past, you can understand why I am who I am. But I'm not ready yet." Mei membalas dengan wajah tertunduk.  

"Sure, let it flow. I will not insist. I will be waiting. Just tell me whenever you're ready. I'm here," tutur Ryan sambil memegang dan mengangkat dagu Mei. Setelah itu, selama beberapa saat mereka hanya saling menatap. Saling beradu pandang yang akhirnya membuat getar-getar dalam kalbu.

"Hari ini mungkin dunia menghantam kita, Neng. Malam ini mungkin kita tersungkur, tanpa ampun. Tapi... jangan menyerah hari ini, Neng. Esok saja. Bila esok datang, katakan lagi, jangan menyerah hari ini. Esok saja." Ryan tersenyum lalu mengelus lembut pipi Mei.

Apa yang dikatakan Ryan beresonansi menggetarkan hati Mei. Jemari lentik Mei lalu menghapus sisa air matanya. Kembali, Mei dan Ryan beradu pandang. Walau tanpa kata, anggukan dan senyum Mei mengafirmasi perkataan Ryan. 

Mungkin memang antara Chivas Regal dan yoghurt tidak akan pernah bisa menyatu, tapi malam ini mereka berdampingan. Bersama dalam resah dan gelisah. Beriringan dalam tanya dan air mata. Apa yang akan terjadi esok hari, entahlah. Yang pasti, mereka belum menyerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun