"Dua puluh tahun Neng hidup di dunia ini, jarang sekali Neng bahagia. Orang-orang yang datang dalam kehidupan Neng, semua menggoreskan luka. Tak ada yang tulus mencintai Neng. Tak ada yang peduli sama Neng. Semuanya jahat. Dunia ini tak adil!" Air mata Mei pun mengalir deras di bahu Ryan.
Ryan membelai lembut rambut Mei. Mencoba menenangkan emosi gadis sebatang kara itu. "Kamu tahu Neng, kalau manusia punya tiga wajah. Wajah pertama yang dia tunjukkan pada dunia. Wajah kedua yang dia tunjukkan pada keluarga dan orang dekatnya. Wajah ketiga yang tidak pernah ditunjukkan pada siapa pun. Selama ini, Aa selalu melihat wajah pertamamu. Tapi malam ini, sepertinya Aa melihat wajah keduamu."
Mei memandang wajah Ryan dengan tatapan syahdu. Dalam hatinya berkata, kamu memang orang yang paling mengerti aku. Orang di sampingnya memang bukan siapa-siapa. Bukan keluarga, kekasih atau sahabatnya, tapi dirinya merasa nyaman berada di dekatnya.
Mereka baru saling mengenal selama empat bulan. Awalnya Mei adalah narasumber Ryan dalam penelitian skripsinya. Profesi Mei di tempat hiburan malam menjadi bahan studi Ryan. Setelah itu, keduanya sering bertemu, berjalan bersama, berdiskusi bahkan saling berbagi beberapa rahasia.
Bagi Ryan, Mei adalah improvisasi dalam komposisi jazz yang ia mainkan. Tak ada dalam partitur, spontan, dan sedikit keluar dari jalur namun tetap enak didengar. Bagi Mei, Ryan layaknya shelter yang selalu menjadi tempat bernaung yang nyaman. Tempatnya kembali bila tersesat atau tak ada lagi tempat yang dituju. Â Â Â Â Â Â Â
"Setiap orang menyimpan rasa sakit dalam hatinya, Neng. You can share your pain with me if you want. Tell me your sorrow, sad stories, hurt, whatever. You can trust me." Ryan menatap dalam mata Mei dan berusaha meyakinkan Mei.
"I need more time, A. If you know my past, you can understand why I am who I am. But I'm not ready yet." Mei membalas dengan wajah tertunduk. Â
"Sure, let it flow. I will not insist. I will be waiting. Just tell me whenever you're ready. I'm here," tutur Ryan sambil memegang dan mengangkat dagu Mei. Setelah itu, selama beberapa saat mereka hanya saling menatap. Saling beradu pandang yang akhirnya membuat getar-getar dalam kalbu.
"Hari ini mungkin dunia menghantam kita, Neng. Malam ini mungkin kita tersungkur, tanpa ampun. Tapi... jangan menyerah hari ini, Neng. Esok saja. Bila esok datang, katakan lagi, jangan menyerah hari ini. Esok saja." Ryan tersenyum lalu mengelus lembut pipi Mei.
Apa yang dikatakan Ryan beresonansi menggetarkan hati Mei. Jemari lentik Mei lalu menghapus sisa air matanya. Kembali, Mei dan Ryan beradu pandang. Walau tanpa kata, anggukan dan senyum Mei mengafirmasi perkataan Ryan.Â
Mungkin memang antara Chivas Regal dan yoghurt tidak akan pernah bisa menyatu, tapi malam ini mereka berdampingan. Bersama dalam resah dan gelisah. Beriringan dalam tanya dan air mata. Apa yang akan terjadi esok hari, entahlah. Yang pasti, mereka belum menyerah.