Pagi masih terlalu malu menyambut sinar surya ketika mata ini tertuju kepada sesosok lelaki yang sedang membaca buku. Saya melangkah, dan dengan sengaja memilih tempat duduk yang bersebelahan dengannya. Saya berharap bisa melirik judul buku yang sedang dibaca lelaki berbaju warna pink yang duduk sendiri itu.
Buku dengan cover berlatar warna hitam dengan kombinasi sedikit warna merah itu bergambar wajah Hasan Tiro. Terbaca judul "Aceh di Mata Dunia." Siapakah gerangan sang pembaca buku karangan Hasan Tiro itu? Saya berusaha mencari tahu. Terasa kenal, tapi tidak jelas siapa. Penasaran, dan sayapun menyapanya.
"Wow, itu buku yang bagus."
Sapaan saya berhasil. Lelaki yang sudah tidak muda lagi tapi juga belum terlalu tua itu memberi respon dengan menyatakan bahwa buku yang sedang dibacanya adalah pemberian rekan-rekannya di sini. Dugaan saya langsung tertuju pada satu nama. Semalam, rekan saya, Mus, mengajak saya bertemu seseorang di warkop yang saat ini saya singgahi.
"Kang Pepih ya?"
Pepih Nugraha. Orang media Kompas yang aktif di media warga Kompasiana ini sudah lama saya kenal namanya, tapi belum pernah lihat atau bertemu dengannya. Dulu, saya juga pernah aktif sebagai kompasianer. Bukan sekedar aktif tapi juga terlibat dalam connecting dengan banyak kompasianer secara online dan sempat kopi darat sekali di Jakarta.
Lalu, saya berpindah ke mejanya seiring ketibaan rekan yang juga sahabat Kang Pepih. Semalam, melalui facebook, rekan Kang Pepih, Mus mengundang saya untuk bertemu Kang Pepih di Warkop ini. Namun, kala itu saya menolak. Tapi takdir pertemuan ternyata tidak bisa di elak. Kami bertemu juga, dan terjadilah saling menghubungkan diri, saling berbagi cerita, dan bahkan saling memantik rencana.
Hasan Tiro dan Revolusi Mental Keacehan
Hasan Tiro pun menjadi satu topik yang kami diskusikan. Dan, saya sengaja tidak menyentuh sedikitpun soal buku yang sedang berada di tangannya. Biarlah Kang Pepih menikmati bacaannya. Katanya, ia berminat sekali membangun perpustakaan, dan ia akan mulai dengan buku-buku yang diwakafkan oleh rekan-rekannya dari Aceh. Katanya: "Saya diberi banyak buku di sini dan semua ini akan saya jadikan awal untuk membangun Kompasiana Library (Kobra)."
"Aceh di Mata Dunia" atau "Atjeh Bak Mata Donja" adalah sebuah risalah yang ditulis oleh Hasan Tiro. Melalui risalah ini ia ingin menghubungkan generasi muda dengan masa lampau Aceh yang sarat dengan informasi berguna tentang Aceh sebagai bangsa. Menurut Hasan Tiro, peranglah yang menyebabkan generasi terkini Aceh terputus dengan masa lalunya. Padahal, di masa lalu itu tersimpan pengetahuan tentang siapa Aceh sebagai sebuah bangsa. Jika kembali dikenali dengan baik sudah pasti orang Aceh akan tahu siapa dirinya.
Saya memang belum membaca buku ini. Tapi, dulu setidaknya pernah membaca kata pengantarnya atau Haba Peu Intat yang dibuka dengan pertanyaan kunci: "Bagaimana Kita Sebagai Bangsa Aceh Mengenali Diri?"
Dulu, usai membaca kata pengantar yang ditulis dari New York, 15 Maret 1968 itu, saya langsung teringat ulasan-ulasan para psikolog tentang soal konsep diri. Dan, juga kebayang konsep manusia super (Ubermensch) yang diuraikan oleh Neitzsche, manusia ideal oleh Muhammad Iqbal dan insan kamil yang diulas oleh Ibnu Arabi.
Saya menduga, dari situlah Hasan Tiro menemukan inspirasi dan akhirnya mengantarnya bergulat dengan semua informasi tentang Aceh yang pernah ditulis oleh berbagai penulis dunia. Dan, akhirnya Hasan Tiro menemukan jawaban atas pertanyaan kunci yang diajukannya sendiri bahwa konsep diri orang Aceh adalah diri sebagai bangsa Aceh. Bangsa terbaik yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa yang tidak hanya memiliki sejarah, tapi juga bangsa yang memiliki way of life sendiri. Inilah yang menurut Hasan Tiro sudah tidak diketahui lagi oleh generasi muda Aceh akibat terputus oleh perang panjang Aceh dengan Belanda.
Pertanyaan kunci itu, menurut Hasan Tiro sangat penting. Jawabannya menentukan nasib masa kini orang Aceh, nasib generasi masa depan Aceh dan juga nasib posisi Aceh dalam pergaulan dunia. Jadi, maksud Hasan Tiro menulis ulang sejarah Aceh di masa lalu berdasarkan pandangan para penulis dunia diharapkan generasi muda Aceh dapat menemukan kembali identiti keacehannya, bukan sekedar sebagai ureung Aceh tapi sebagai bangsa Aceh.
Gerakan Literasi Aceh
Proyek Revolusi Mental yang dijalankan oleh Hasan Tiro untuk mengubah konsep diri atau pandangan dunia keacehan tentu bukan proyek ajaib yang datang tiba-tiba bak kisah 1001 malam. Untuk mengenali kembali siapa Aceh, apalagi sebagai sebuah bangsa, sudah pasti Hasan Tiro harus menguyah banyak informasi. Dari risalah "Aceh di Mata Dunia" terbaca bahwa informasi tentang Aceh yang disuguhkan di risalahnya adalah informasi yang diperoleh dari berbagai penulis dunia.
Bukan hanya itu, dari berbagai laporan yang masih bisa dilacak melalui internet juga diketahui bahwa Hasan Tiro sangat gemar membaca, mengumpulkan ragam dokumen, dan kemudian memproduksi ragam tulisan yang kini menjadi objek bacaan dan telaah orang lain. Bahkan, dari naskah drama yang ditulisnya "The Drama of Achehnese History" Â juga terlihat minatnya terhadap musik berkelas dunia. Hasilnya menakjubkan. Hasan Tiro tidak hanya piawai mendeskripsikan siapa dirinya dalam peran sejarah masa lalu Aceh sehingga ia memiliki mandat untuk melanjutkan perjuangan generasi terdahulu tapi juga mampu memproduksi ulang sejarah silam dan menjadikannya sebagai bekal revolusi mental yang mengatasi cara berpikir generasi pejuang sebelumnya.
Kang Pepih dan Jurnalisme Warga
Jadi, Hasan Tiro sudah membuktikan kepada kita semua bahwa gerakan literasi mampu menjadi media perubahan. Berawal dari kesukaannya membaca, Hasan Tiro mengalami proses berpikir yang dalam bahkan meloncati alam pikiran generasi seusianya. Malah ada yang menyebut Hasan Tiro mengalami kerasukan sejarah. Dan, ketika Hasan Tiro menulis apa yang diketahuinya, sekaligus apa yang dipahami dan diimajinasikannya, terjadilah proses perubahan sosial politik dan budaya khususnya kala ia menghubungkan diri dengan orang-orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Dan, ketika proyek revolusi mentalnya berbuah revolusi politik duniapun menjadikannya sebagai sosok episentrum untuk Aceh.
Hari ini, dunia sudah jauh berbeda dengan masa keemasan Hasan Tiro. Tapi, proyek revolusi mental masih menunggu reformulasi ulang sesuai dengan tantangan kekinian Aceh. Sebab, penjajahan masih terus hadir dengan wajah baru dan aktor baru. Kemerdekaan mungkin saja bukan lagi tujuan tapi kemerdekaan atas politik pembodohan, pemiskinan, kekerasan struktural masih akan terus ada sampai terwujud suatu masyarakat yang berbudaya literasi. Ketika masyarakat kuat membaca, kuat menulis, kuat berbagi, dan kuat dalam membangun hubungan mungkin penjajahan akan tidak separah saat ini, mungkin.
Menurut Kang Pepih, kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi masa kini dan juga masa depan mengharuskan gerakan literasi dibangun berbasis media online, yang ditulis dan dibaca, termasuk dikelola oleh warga sendiri. Ke depan, kredibilitas media berbasis jurnalis meski akan tetap ada akan terus tergeser oleh jurnalisme warga. Warga yang makin masuk dalam gerakan literasi dengan sendirinya akan membangun budaya saling berbagi dan saling terhubung di atas informasi yang dimilikinya. Dari sinilah, menurut Kang Pepih, pengetahuan (keacehan) akan terbentuk, dan sangat mungkin melompati pemikiran Hasan Tiro. []
Foto milik Muslim Amiren
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H