Tulisan ini tidak memakai nama KontraS di depan, atau dibelakang nama Munir.
Sepertinya, KontraS saat ini berbeda dengan KontraS di zaman Munir. Apa perbedaannya? Mari kita ingat kembali bagaimana Munir bereaksi terhadap Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Tanggal 3 Agustus 1998, Wiranto mengumumkan pembentukan DKP dihadapan 100 lebih wartawan dalam dan luar negeri. DKP akan melakukan pemeriksaan terhadap Prabowo, Muchdi, dan Chairawan.
Munir langsung bereaksi. Menurutnya, pemeriksaan ketiga terperiksa melalui DKP adalah jalan panjang. Lebih utama di bawa ke Mahkamah Militer (Mahmil).
Pada saat itu Wiranto menyampaikan contoh Inggris yang menghormati perwira dengan panggilan "sir" sehingga pemeriksaan perwira diperlakukan beda (DKP). Tapi Munir menegaskan bahwa panggilan "sir" tidak lantas menghalangi seorang perwira diadili bila kesalahan itu sudah bersifat pidana.
Masih menurut Munir, jika 10 terperiksa lainnya dibawa ke Mahmil sedangkan tiga perwira di periksa melalui DKP maka ini namanya sudah terjadi diskriminasi hukum.
Puncaknya, Munir menyatakan bahwa pembentukan DKP oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dinilai cacat hukum karena bertentangan dengan Surat Keputusan (SK) Panglima ABRI No 838/III/1995 tertanggal 27 November 1995 tentang Petunjuk Administrasi Dewan Kehormatan Militer.
Dalam ketentuan Nomor 7 (a-3) dan 7 (c-2) disebutkan, pembentukan DKP untuk memeriksa perwira yang bersangkutan hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan hukum yang dijatuhkan peradilan militer.
Pernyataan Munir itu turut didengar oleh MM Billah, Dadang Trisasongko dan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bambang Widjojanto dalam jumpa pers.
Terakhir, Munir menyampaikan ketidakpuasan atas keputusan Pangab Wiranto yang menjatuhkan sanksi administrasi kepada Prabowo, Muchdi dan Chairawan.
Sebagaimana diketahui, dihadapan 100 lebih wartawan dalam dan luar negeri Wiranto mengumumkan sanksi yang menyebabkan media melaporkan secara luas bahwa karir militer Prabowo berakhir sudah (24/8).
"Keputusan itu sama sekali mengabaikan tuntutan rasa keadilan untuk menuntaskan kasus penculikan secara tuntas," kata Munir ,SH.
Munir lantas mendesak Puspom ABRI untuk segera menjalankan fungsinya sebagai institusi penyidikan, sekaligus
berharap agar Pangab tidak menghalangi proses penegakan hukum dalam menindaklanjuti hasil-hasil pemeriksaan awal.
Lebih utama, Munir juga mendesak agar Pangab segera membebaskan korban penculikan yang sampai saat ini belum kembali ke keluarganya.
Tahun 1999 Munir juga memberi pandangannya terhadap wacana pihak keluarga Prabowo yang ingin menggugat pemerintah.
Menurut Munir, timbulnya niatan gugatan Prabowo kepada pemerintah ini, jelas merupakan ketidakberesan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan termasuk dalam kasus Mei lalu yang juga menyeret nama Prabowo.
Kasus gugatan ini menurut Munir, membuktikan bahwa supremasi hukum Indonesia masih amburadul alias tidak beres.
Menurut Munir, banyak sekali kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, tidak dituntaskan melalui jalur hukum, tetapi malah melalui jalur politik yang malah membuat rumit persoalan
"Banyak kasus-kasus di Indonesia tidak dituntaskan sampai ke pengadilan, tetapi malah diselesaikan melalui kompromi politik. Maka akibatnya bisa muncul kasus seperti gugatan yang dilayangkan oleh Prabowo bersama keluarganya itu," jelas Munir di ruang kerjanya kala itu.
Jadi, Munir menyatakan mendukung upaya keluarga Prabowo menggugat pemerintah. "Langkah keluarga Prabowo harus didukung. Sebab dengan begitu kasus ini tidak mengambang dan proses hukum tetap berjalan," ujar Munir.
Munir juga mengatakan, sebelum ada bukti yang kuat yang membenarkan secara hukum keterlibatan Prabowo dalam kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998 lalu, berarti Prabowo masih bebas melakukan aktivitas. Pemerintah menurut Munir, tidak dibenarkan melakukan pencekalan atas diri Prabowo, bila dirinya berniat kembali ke Indonesia ataupun sebaliknya.
Demikianlah Munir. Fokusnya tetap pada usaha menemukan atau mengetahui nasib keberadaan korban penculikan. Ini yang paling utama dan selalu diutamakannya.
Munir, sedikitpun tidak tergoda atau terpancing dengan konflik elit di tubuh ABRI sehingga Munir dengan mudah menolak pendekatan DKP. Baginya, pemeriksaan melalui DKP telah mendiskriminasi terperiksa lainnya yang dilakukan melalui Mahmil. Munir percaya bahwa DKP hanya berujung pada keputusan politik.
Munir juga tidak membawa kebenciannya untuk menohok orang. Dia seperti sudah menduga bahwa ada masalah besar dalam supremasi hukum di Indonesia sehingga ia pun mendukung niat Prabowo bila mau melakukan gugatan hukum.
Munir lagi-lagi percaya bahwa hanya dengan langkah hukum jawaban dan kepastian bisa di dapat dan dipegang. Dan utamanya, melalui upaya hukum yang sah jawaban terhadap korban penculikan yang belum kembali dapat ditemukan.
Pertanyaannya mengapa tidak di mahmilkan? Mungkin pendapat orang dekat Munir, MM. Billah, yang disampaikan dalam wawancara dengan media detik (1998) bisa menjadi jawaban untuk merangsang analisis.
Menurut Billah, bila Prabowo dibawa ke Mahmil akan menguak keterlibatan petinggi ABRI yang lain. Saat ini yang dikorbankan adalah Prabowo.
Dalam analisis Billah, bisa jadi Prabowo terlibat, tapi dia kan tidak akan bertindak bila tak ada perintah dari atasannya. Jadi, ada petinggi lain yang bergerak.
Makanya, menurut Billah, peradilan terhadap Prabowo sengaja diulur-ulur. Padahal desakan untuk menggelar Mahmil sangat kuat. Tapi keputusan tetap ada di tangan Wiranto. Kalau dia mengulur-ulur, ini menandakan ada permainan politik untuk tujuan tertentu. Tujuannya apa?
Ada beberapa analisis. Salah satunya, menurut Billah, keinginan Wiranto menjabat sebagai presiden pasca Habibie. Deal-nya sekarang ada pada Habibie. Ada kartu-kartu yang dimainkan.
Menurut Billah Prabowo tentu tidak keberatan dan dia yakin Prabowo pasti siap untuk di Mahmilkan. "Yang takut justru yang ada di belakang. Kalau dia kan sudah tidak di militer lagi, jadi tidak masalah," kata Billah kala itu dalam wawancaranya.
Akhirnya kita harus salut kepada Munir yang sangat fokus pada korban hilang dengan tetap menempuh jalur hukum. Kritik-kritik tajam, keras, dan nyinyirnya terhadap orang dan lembaga ABRI dilakukan semata untuk membuka sumbatan agar korban dapat ditemukan atau diketahui nasibnya, sekaligus sebagai usaha untuk mendorong terwujudnya supremasi hukum sehingga tidak ada persoalan di masa depan.
Tugas yang dilakukan Munir sama sekali tidak membuat ia membenci orang, juga tidak mau masuk dalam lingkaran pertandingan politik pihak lain.
Lantas, sekarang bagaimana? Pembaca dapat menilainya sendiri. DKP yang produknya disebut Munir sebagai sebatas keputusan politik justru dipakai untuk menohok Prabowo.
Saya yakin, bila Munir masih ada wartawan akan menemukan pernyataan politik yang wartanya akan mendorong TNI bergerak, sekaligus membuat tim DKP menyembunyikan mukanya karena malu. Sayang, Munir sudah dibunuh dan besar kemungkinan pembunuhnya masih ada diseputar kita. Sayangnya, kita belum mendapati Munir baru yang pandai memaksa TNI bergerak di atas koridor hukum.
Risman A. Rachman
Pernah aktif di kegiatan advokasi HAM, Aceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H