Melalui pendampingan Konselor Sebaya diharapkan alur komunikasi dalam kelompok akan berjalan lebih terbuka. Guru BK akan mendampingi kelompok-kelompok sharing secara bergantian dengan waktu yang disesuaikan. Hasil curahan pendapat dan sharing dalam pertemuan sebelumnya didokumentasikan dan dibahas saat pendampingan oleh Guru BK.
Selanjutnya Guru BK bersama Tim Konselor sebaya  membuka sharing atau konsultasi online, misalnya saja melalui whatsapp sehingga siswa dapat mengajukan pertanyaan atau konsultasi melalui media online mengatasi keterbatasan waktu tatap muka. Â
Soal waktu tidak harus diukur dari kuantitas atau seringnya pertemuan melainkan kualitas dan kesinambungan secara berkala atau terjadwal.Â
Sharing pengalaman pun dapat dilakukan bersama orangtua di rumah. Sehingga orang tua tidak harus memulai dari informasi atau nasehat  yang dianggap normatif mengenai seksualitas, melainkan dimulai  dari pertanyaan kepada anak "Apa yang pernah kamu rasakan atau pikirkan mengenai hal ini?"
Tentu saja dalam hal ini, pendamping baik Guru BK, orang tua maupun Siswa fasilitator haruslah seorang pribadi yang dianggap nyaman dan dapat menjaga kepercayaan.
Pendidikan Seks Bukan Sekedar Mengenai Anatomi dan  Hubungan Fisik.
Pendidikan seks tidaklah melulu menyoal interaksi fisik atau proses fisik. Pendidikan seks tepatnya disebut Pendidikan Seksualitas, menyoal segala hal yang berhubungan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan. Selain pemahaman akan organ dan proses reproduksi, ada pemahaman akan nilai-nilai seperti  misalnya kesetaraan, kesucian, tanggung jawab , dan penghargaan. Â
Bahasan mencakup  kesadaran gender, menghargai perbedaan jenis kelamin, psikologi laki-laki dan perempuan, etika dan norma seksualitas, atau peran jenis kelamin di dalam lembaga perkawinan. Ada pula keterampilan yang berkaitan dengan hal ini diantaranya berkomunikasi, berelasi atau bergaul secara sehat, membangun kepercayaan, dan penyelesaian konflik.Â
Sehingga problem seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal, atau ketidakadilan gender, boleh menjadi materi dalam bahasan seksualitas yang dapat kita bagikan bersama dengan anak-anak kita, sesuai tingkat kebutuhan usianya.
Remaja adalah subyek yang memiliki berbagai pengalaman, pemikiran, dan perasaan yang perlu kita gali dan "dalami" dalam sebuah sharing hangat untuk perlahan menanamkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi peran kehidupannya sebagai laki-laki dan perempuan.
Semoga wacana ini dapat saya aplikasikan di lapangan sehingga hasilnya menjadi kelanjutan bagi tulisan ini. Masukan dari yang lebih berpengalaman sangat diharapkan.Â