Menghadapi protes terkait dua hal tersebut, saya sangat ingin membela diri. Bahwa memang terjadi kendala sistem yang tidak dapat kami atasi sendiri dan adanya akses komunikasi yang pada saat itu sulit terhubung. Dalam kasus beasiswa kendala sudah teratasi dan kalau saja siswa lebih sabar tentunya tidak perlu sampai terucap perkataan seperti yang telah saya sebutkan di atas.Â
Menghadapi hujan protes atau makian, kita terkadang menjadi kecewa. Kalau saja boleh mengatakan bahwa untuk mengerjakan hal-hal itu kita telah mengorbankan banyak waktu juga tenaga. Harus rela lembur sampai kelewat sore di sekolah, dan masih membawa pekerjaan ke rumah untuk "bekal" garapan malam hari sehingga segala sesuatunya cepat terselesaikan. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan rutin, administrasi, mengurusi masalah siswa, bimbingan di kelas, segala macam pekerjaan yang pastinya menumpuk.Â
Tetapi sekali lagi sebagai pelayan publik, semustinya harus dalam posisi lebih bijak menanggapi keluhan orang-orang yang dilayani. Secara psikologis mereka berada dalam situasi yang mendesak dan kadang merasa cemas karena hal itu. Mendesak misalnya saja karena kebutuhan (contoh dana beasiswa) atau keterbatasan waktu yang tersedia. Atau karena kebutuhan lain yang tidak dapat diakses misalnya saja tidak dapat mendaftar proses seleksi. Sehingga dalam hal situasi, saya menganggap mereka dalam posisi lebih "lemah" dan hal ini sering berwujud dalam perilaku emosional baik verbal maupun non verbal.Â
Sejauh pengalaman pribadi, jika tangapan kita logis dan sesuai fakta yang ada, juga diungkapkan dengan pesan non verbal yang sesuai, kebanyakan siswa dan orangtua lama-kelamaan dapat menerima dengan baik.
Pernah terjadi di sebuah sekolah, orangtua menjadi semakin emosional dan dengan marah-marah (bahkan sampai menangis) melapor kepada kepala sekolah karena merasa ditanggapi dengan ketus oleh seorang guru saat melaporkan peristiwa anaknya yang kehilangan helm. Hal yang mustinya tidak perlu terjadi, ketika seseorang yang emosional ditanggapi dengan sama emosionalnya, hasilnya pasti akan tambah runyam.Â
Pertanyaannya, apakah seorang pelayan publik yang juga manusia tidak boleh merasa marah, jengkel, dan kecewa mensikapi protes yang terkadang tidak pada tempatnya tersebut?Â
Tentu saja ia boleh merasa demikian. Tidak ada yang salah dengan perasaan kan? Sangat manusiawi. Tetapi ungkapan perasaan tersebut dalam bentuk perilaku atau perkataan mau tidak mau harus ditata sedemikian rupa saat menghadapi klien atau orang yang dilayani. Itulah yang disebut profesional.
Saya pribadi memilih mengungkapkan kejengkelan dengan bercerita kepada teman-teman satu ruangan yang saya anggap dekat, atau curhat ke orangtua atau suami. Nah, di saat itulah saya dapat bercerita dengan puas, mengekspresikan kejengkelan dan kekcewaan saya. Dapat juga setelah menghadapi orangtua yang mengomel, lalu saya mengambil waktu untuk sendiri dan mengambil nafas panjang. Biar bagaimanapun kita membutuhkan waktu yang tenang dan tempat untuk berbagi.Â
Setiap pekerjaan pasti penuh suka dan duka. Seringkali merasa bahagia jika pelayanan yang kita berikan memberikan manfaat, diberi ucapan terima kasih dan tatapan hangat. Terkadang ada sekadar makanan yang diberikan orangtua sebagai ucapan terima kasih, atau pesan WhatsApp dari siswa berisi ucapan puas karena sudah dibantu. Tetapi tentunya hal tersebut bukanlah tujuan. Karena pelayanan adalah bagian dari pekerjaan yang  sudah menjadi bagian tugas dan tanggung jawab.
Sebagai guru dapat juga memberi masukan kepada siswa, yakni dalam memberi kritik dan protes terhadap layanan guru atau karyawan baiknya dilakukan dengan cara yang beretika. Hal ini bukan berarti saya alergi dengan protes atau kritik, melainkan saya berusaha membangun pola komunikasi yang sehat dalam berelasi antar pribadi.Â