Sekitar 2 minggu ini waktu kami cukup tersita untuk menyelesaikan pengisian Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS), dalam rangka pendaftaran Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di sekolah kami.Â
Dari tahun ke tahun unit kerja Bimbingan dan Konseling memang diserahi tanggung jawab untuk mengelola proses PDSS. Proses PDSS adalah bentuk pelayanan kepada siswa dalam bidang karir, khususnya dalam hal kelanjutan studi.Â
Sebagai guru, saya musti menyadari bahwa selain berperan sebagai pendidik, saya juga adalah seorang pelayan. Tentu saja para siswa adalah sasaran utama yang mengakses pelayanan kami.Â
Bimbingan dan konseling di sekolah memang seharusnya lebih dipandang sebagai bentuk pelayanan siswa, dan bukan sebagai kelompok guru-guru pengajar. Setiap pelayanan yang kami berikan bertujuan untuk mendampingi perkembangan diri siswa, dengan harapan menjadi lebih utuh dan optimal.
Kami hadir di sekolah dengan berbagai layanan, misalnya layanan konseling individu atau kelompok bagi mereka yang membutuhkan atau dianggap membutuhkan. Kami melayani proses mediasi misalnya saja antar orangtua dan siswa. Ada juga pelayanan pengurusan beasiswa dan seperti saya sebutkan sebelumnya, yakni layanan di bidang karir selain pengisian PDSS, juga misalnya konseling karir.Â
Dalam hal memberi layanan tentunya tidak selamanya berjalan mulus. Terkadang terbentur berbagai hambatan sehingga layanan tidak berjalan dengan sempurna seperti yang diharapkan. Hambatan itu terkadang berasal dari diri kami sendiri misal saja keterlambatan mengupdate informasi.
Keterbatasan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi. Tetapi juga seringkali hambatan datang dari situasi yang tak dapat kami intervensi, misalnya memang terlalu sulit untuk mengakses informasi berkaitan suatu hal, kendala sistem yang tidak dapat diatasi, dan segala hal di luar kemampuan kewenangan kami.Â
Hambatan yang terjadi dalam pemberian pelayanan ini, tentunya mengakibatkan ketidakpuasan bagi para pengguna, yakni siswa atau orangtua. Mereka mengungkapkan ketidakpuasannya dalam bentuk protes.Â
Protes ini bisa berwujud datang ke sekolah dan marah-marah, membicarakan kejelekan pelayanan kepada orang lain (sesama siswa atau orangtua), mengungkapkan kejengkelan di media media sosial, meluapkan kejengkelan dengan langsung kepada kepala sekolah (baik bertemu langsung maupun via telepon atau pesan WhatsApp), dan segala macam cara. Seringkali ungkapan ketidakpuasan merembet bukan hanya berkaitan dengan layanan yang dibutuhkan tetapi juga kepada pribadi sang pelayan.Â
Pengalaman saya pribadi, ada seorang siswa pernah menyebut saya dengan "guru BK nya ora cetho!" Artinya guru BK nya itu "nggak jelas"! gara-gara ketidakpuasannya dengan pelayanan yang berkaitan dengan urusan penyaluran beasiswa. Tentu saja kata-kata itu tidak disampaikan secara langsung, hanya saja saya mendapat cerita dari seorang siswa.Â
Perihal layanan PDSS baru baru ini yang saya ceritakan di awal tulisan juga mendapat beberapa protes berkaitan dengan ketidakpuasan beberapa siswa dan orangtua. Secara formal permasalahan rinci tidak dapat saya sebutkan di sini. Tetapi kendala utama adalah soal sistem PDSS sendiri yang berada di luar kewenangan kami.Â