Menghadiri undangan pernikahan teman atau kenalan tentu sering saya lakukan. Penting untuk datang dan "menyumbang"  sebagai bentuk penghargaan bagi yang mengundang dan memenuhi kebutuhan  relasi sosial kita.Â
Sejujurnya  menghadiri undangan pernikahan kenalan yang "orang" Yogya kadang terasa seperti formalitas. Kalau orangnya pun tidak begitu kenal dekat. Datang,  mengisi buku tamu, memasukkan amplop,  bersalaman dengan pengantin, kemudian langsung pulang. Bagi saya yang penting sudah "setor muka"
Namun, ada sebuah pengalaman ketika suatu kali saya menghadiri sebuah undangan pernikahan di Yogya ini. Kejadian yang bisa dibilang  lucu atau tepatnya  rusuh.  Itulah acara pernikahan seorang kenalan kami. Sebut saja namanya Berto.Â
Berto adalah teman dari suami saya. Sama -sama pendatang asal Maumere, Flores. Hanya saja usianya jauh lebih muda. Kebetulan calon istrinya juga satu daerah dengan dia.Â
Sebagai sesama kaum pendatang seperti kami. Mereka memilih efisiensi biaya juga waktu. Sepakat untuk melakukan pemberkatan nikah dan resepsi di Yogya. Sehingga tidak perlu pulang dan mengurus pernikahan di kampung halaman. Tentu saja kedua orang tua dihadirkan di Yogya.Â
Tamu undangan resmi (yang diberikan kertas undangan) tidak banyak. Hanya teman dan keluarga dekat. Termasuk saya dan suami. Tempat resepsi cukup elit, sebuah resto dipinggir jalan utama. Setting acaranya  pesta kebun.  Meski dilaksanakan malam hari, suasana  kelihatan cantik berhias  dengan lampu-lampu gantung yang indah
Mulai hendak berangkat ke acara resepsi, "keluarga" kami sudah lumayan heboh. Meski undangan hanya diperuntukkan untuk suami dan saya, kenyataannya kami berangkat bersama setidaknya 10 orang. Keponakan dan teman-temannya, serta beberapa pemuda asal Flores yang kebetulan kos di sekitar tempat kami tinggal.
Sebelumnya saya sempat berbisik pada suami, " Waduh...kok banyak begini...nggak enak kan kalau "amplop" nya cuman satu..."
Akhirnya sesuai usulan saya, rombongan anak muda tadi urunan seikhlasnya.Â
Begitulah orang Flores yang selalu semangat jika mendengar kata Pesta. Hehehe
Sesampainya di sana, suasana resepsi seperti umumnya. Berto nampak bahagia melihat banyaknya  orang yang datang. Saya yakin dia tidak lagi memikirkan berapa jumlah amplop yang ia terima. Hahahaha
Tetapi bukan orang Maumere kalau pesta tanpa musik dan berjoget ria. Seusai acara formal berupa sambutan singkat, potong kue, dan  suap-suapan.  Mulailah speaker-speaker "dimainkan". Tanpa ragu semua tamu undangan mulai turun untuk  berjoget dengan riang.Â
Saya hanya membatin. "Ah, Â jika menyewa tempat seperti ini, Â pesta tidak mungkin sampai pagi".Â
Tetapi perlahan mata saya mulai melirik, botol-botol air mineral yang mulai "berdatangan" ke ruang pesta,  berpindah dari tangan ke tangan. Botol air mineral yang bukan lagi berisi air putih  melainkan moke, minuman beralkohol khas Maumere.
Hmmm.... saya lekas melirik suami. "Awas....jangan minum terlalu banyak!"ujar saya sambil agak melotot.Â
Lama kelamaan saya merasa sepertinya orang semakin banyak. Resepsi pernikahan Berto seolah mengalir seperti pesan berantai yang mengundang lebih banyak orang yang datang. Imajinasi saya lantas membayangkan sebuah pesan di whatsapp. :"Hei...ayo kesini, ada pesta rame ni..."
Para lelaki sudah mulai duduk melingkar serta berkelomp0k-kelompok, sambil bergantian meneguk moke. Begitupun suami yang pastinya sudah membaur. Â Huh...Saya masih berkata dalam hati. "Tenang...ini tak akan lama. Tidak di gedung seperti ini"
Tibalah waktu menujukkan pukul 22.00 WIB, seketika musik terhenti. Sebelum MC berbicara, sudah mulai terdengar suara mengerutu perlahan di beberapa sudut. "Bapak, ibu, saudara, saudari. Mohon maaf acara akan diakhiri jam 11 malam nanti. Karena gedung akan dibersihkan. Masih ada satu jam lagi, silahkan menikmati musik" Begitulah MC mengumumkan pemberitahuan.
Hadirin seolah tak begitu menghiraukan. Demikian musik mulai kembali dimainkan  dan semua larut lagi dalam kegembiraan berjoget. Saya sudah melihat beberapa orang yang mulai agak oleng gara-gara moke (hehe). Pelayan mulai terlihat membereskan meja hidangan, piring-piring pun mulai diangkat.
Tepat jam 11 malam, Musik benar-benar dihentikan. Huuuuuu....suara protes terdengar disana-sini. "Tambah waktu lagi!" teriak seorang tamu undangan.Â
"Maaf....waktu kita sudah habis", Â MC mencoba memberi pengertian.
Tampak sekelompok lelaki mulai mendekati MC dan keluarga, termasuk suami saya (hadeh...). Mereka nampak bernegosiasi.
Tidak lama MC kembali angkat bicara, " Saudara, saudari...kita diberi tambahan waktu sampai jam 12 malam. Setelah itu pesta selesai ya...Silakan satu jam lagi"Â
Yeah.... para hadirin sangat senang mendapat tambahan waktu. Speaker-speaker kembali berdentum. Goyang lagi......
Saya sudah mulai merasa sebel. Apalagi  melihat suami kelihatan sudah tidak "100 persen" hihihi.Â
Tepat jam 12 malam musik dimatikan sesuai janji....."Wooiiii.......!" Kali ini hadirin protes lebih keras! "Tambah waktu lagi! Acara sampai pagi!"
Saya merasa suasana  sudah agak berbeda..... dan benar, tiba-tiba  seorang berbadan besar berteriak dan membanting tiang dudukan lampu. Waduh, gawat ini ! Suasana jadi semerawut. Jantung saya mulai berdebar, sambl mata mencari -cari dimana suami saya.Â
Selompok lelaki mulai kembali mendekati MC dan keluarga. Bisa ditebak, termasuk suami saya (duhhhh tepok jidat.....). Suami kalau sudah "kena" moke, gayanya sudah seperti wasit. Atur sana atur sini.Â
Kali ini negosiasi berjalan cukup alot. Akhirnya mempelai pria angkat bicara. " Mohon maaf. Kita terpaksa berhenti jam 12 malam ini. Karena waktu sewa gedung sudah habis. Kalau masih mau lanjut musik dan menari. Kita bisa pindah di kontrakan kami" Kata-katanya bernada memohon dan mencoba memberi harapan.Â
Dalam hati saya mengatakan, yang benar saja lanjut di rumah kontrakan. Memangnya pengantin tidak capek?
Sayangnya sebagian orang sudah kena pengaruh moke berlebihan. Suasana jadi ribut. Di beberapa sudut terlihat orang nampak bersitegang. Aduh.... keluh saya dalam hati. Saya langsung menarik suami saya. "Ayo cepat sudah kita pulang!"
Tetapi tentunya tak semudah itu. Kami harus "bertanggung jawab" Â mencari setidaknya 10 orang "pasukan" kami yang sejak awal berangkat bersama. Jangan sampai tertinggal dan membuat kacau. Â Sementara sedikit-sedikit suami "merasa harus" mendamaikan beberapa orang yang hampir baku pukul. Hhhhhh.....benar-benar runyam. Saat itu pihak keluarga mempelai sudah turun tangan. Mau tidak mau mengusir tamu-tamu undangan yang sudah mulai meracau tak karuan.Â
Di tengah suasana ricuh, keadaan semakin panik ketika mempelai wanita pingsan! Pastinya karena kelelahan dan "tertekan" dengan keadaan kacau seperti itu. Â Beberapa orang segera menggotong tubuh pingsan itu keluar menuju mobil yang diparkir. Â Kedua mempelai "diamankan" dan diantar pulang terlebih dahulu.Â
Kesempatan itu saya gunakan untuk menggiring suami dan rombongan kami ke tempat parkir. Kami bersiap untuk pulang.Â
Saya sudah malas tahu untuk memikirkan bagaimana situasi gedung itu nantinya. Yang penting kami dan rombongan bisa  pulang
Sesampainya di  rumah.  Suami dan para pemuda masih ingin duduk di teras. Saya urung berangkat tidur. Was-was karena paham mereka sudah kebanyakan minum moke.Â
Benar saja tiba-tiba seorang berkata, "Ayo sudah.  Kita tidak enak dengan Berto karena sudah buat pesta jadi kacau. Kalau begitu ayo sekarang kita pergi ke kontrakan Berto untuk minta maaf"
Saya sontak membentak setengah berteriak, "Hei! Kalian tau tidak ini jam 2 pagi! Berto dan istrinya mau istirahat. Â Kalian tidak lihat tadi istrinya pingsan?!"Â
"Sudah sekarang duduk diam-diam di sini. Tidak usah kemana-mana lagi. Mau sampai pagi silakan. Asal jangan jalan sana sini!" bentak saya sambil memandang mereka.Â
Pikir saya, sudah setengah mabuk mau jalan kemana lagi? Malah tambah kacau disana sini.
Haduh...itu sepertinya acara resepsi pernikahan paling kacau yang pernah saya datangi. Menjadi tamu undangan jangan harap hanya setor muka, mau pulang pun jadi susah.Â
Kedua mempelai inginnya praktis. Sewa restoran, waktu terbatas, setelah itu cepat istirahat. Eh....malah tamu undangan yang tidak mau pulang.Â
Dengar-dengar pihak resto meminta tambahan biaya 1 juta per jam untuk tambahan waktu. Walah....mau hemat malah jadi bangkrut. Â
Kalau sudah musik, menari, apalagi tambah moke...jangan harap cepat pulang. "Kita cungkil matahari!! Tarik sampai pagi maaaangggg......!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H