Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak Muda Berinisiatiflah, Jangan Bermental Pesuruh

1 Januari 2020   22:30 Diperbarui: 2 Januari 2020   09:27 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mahasiswa yang kelelahan. (sumber: SIphotography via kompas.com)

Sebelum menulis saya tengok kiri dan kanan dahulu. Apakah keponakan saya ada di rumah? Hehehe, karena tulisan ini terinspirasi darinya.

Yah, anggaplah sekedar sharing uneg-uneg. Karena motivasi saya menulis memang untuk berbagi pengalaman dan ide, yang siapa tau menginspirasi. Karena alasan inilah saya tidak bermaksud membuka kejelekan orang lain. Melainkan hanya sebagai sarana belajar dari pengalaman.

Saya dan suami memang tidak punya anak. Tetapi kami punya seorang keponakan yang tinggal bersama kami. Alasannya tentu karena ia kuliah di salah satu Perguruan Tinggi swasta d Yogyakarta. 

Kalau kos pastinya harus keluar biaya. Orangtuanya berharap ia paling tidak bisa bantu-bantu pekerjaan rumah. Tidak ada biaya yang harus ditanggung orang tuanya alias free, gratis tinggal di rumah kami. Sekaligus suami dan saya bisa memantau kesehariannya (maklum anak perempuan). Kebetulan kampusnya dekat dengan tempat kami tinggal

Tinggal di Babarsari, Yogyakarta, mestinya familier dengan kaum yang namanya Mahasiswa. Mereka datang dari seluruh penjuru Indonesia, termasuk keponakan kami. 

Saya kagum melihat niat mereka datang untuk mencari ilmu, tetapi ada yang disayangkan. Masih terkesan bahwa Pendidikan Tinggi dipandang sekedar sarana mengejar Ijazah belaka untuk nantinya mencari pekerjaan. 

Apakah mungkin karena kata-kata akademis hanya identik dengan mata kuliah, ijazah, atau ilmu-ilmu yang dipelajari saat mereka kuliah? Sebut saja psikologi, hukum , pendidikan, yah sejenis itulah.

Tetapi lupa bahwa penting untuk belajar menyesuaikan diri, meningkatkan kepedulian dan kepekaan, atau belajar etika dan sopan santun. 

Pastinya tidaklah semua mahasiswa seperti itu. Ulasan ini hanya berdasarkan beberapa saja dari yang saya amati. Sebut saja semua ini oknum. 

Mengingat usia keponakan yang bukan lagi remaja apalagi anak-anak, saya lebih suka menekankan kepada kesadaran dari pada perintah-perintah. Mengerjakan pekerjaan di rumah lebih tepat dikatakan sekedar bantu-bantu. 

Gambar (edit) : https://web.facebook.com/kosmetikherbalaman 
Gambar (edit) : https://web.facebook.com/kosmetikherbalaman 

Karena pekerjaan pokok seperti memasak untuk keluarga sudah menjadi bagian saya sehari-hari. Suami dan saya pun mencuci baju kami sendiri. Dia hanya mencuci bajunya sendiri.

Tetapi tentu saja sebagai wanita bekerja, ada beberapa hal yang tidak sempat saya lakukan. Misalnya saja menyapu halaman (yang tidak luas). Biasanya sampahnya paling daun ketapang kering .

Membuang sampah di dalam rumah ke tong sampah besar di depan, sekadar menyapu teras sempit (cuma 3x3 meter), atau mengepel lantai, pun...tidak harus setiap hari. Rasanya kok nggak ada yang berat ya... apalagi di rumah penghuninya cuma 3 orang.

Sesibuk-sibuknya mahasiswa, saya lihat waktunya pun longgar. Tidak seperti rutinitas saya di hari kerja yang berangkat pagi-pagi dan setidaknya jam 5 sore baru tiba di rumah. Saya bisa mengatakan waktunya longgar karena melihat jam bangun tidurnnya setiap hari (hihihi). Tetapi tidak usahlah dibahas jam berapa itu.

Soal kesadaran berarti tidak perlu disuruh-suruh. Kalau melihat tong sampah penuh, ya dibuang gitu lho! Atau teras rumah kotor, ya disapu gitu lho! Melihat halaman penuh daun kering berserakan, ya... jangan ditonton, tapi disapu.....Gitu lho!  

Padahal sudah diingatkan berkali-kali. Atau lebih tepatnya dimintai tolong. Karena saya selalu memulai dengan kata "Tolong..."

Kalau ada yang bilang suami pulang bekerja itu lelah, jangan salah. Kami kaum istri pun pulang bekerja juga sama lelahnya. Apalagi sepulang kerja melihat teras kotor, halaman kotor, masuk ke rumah tong sampah penuh sisa makanan yang belum dibuang. 

Lantai rumah pun terasa lengket. Duh! rasanya sesuatu banget! Sementara penghuni rumah lainnya malah asyik bobok sore di kamar masing-masing. Maaf-maaf.... ini curhatan emak-emak. 

Memang, kalau dari mulut saya keluar kata instruksi, dia akan keluar kamarnya dan mengerjakan. Tetapi saya heran. Apakah tidak ada inisiatif? Justru kalau mesti disuruh jadi layaknya seperti pembantu atau pesuruh. Berbeda kalau inisiatif mengerjakan, seperti layaknya seseorang yang menitipkan diri di rumah orang lain. 

Sejujurnya saya seringkali lebih memilih mengerjakan sendiri meskipun lelah daripada harus setiap kali cerewet. 

Pernah saya pergi ke luar kota sekitar 3 hari. Tiba di rumah, tong sampah sisa makanan sudah sampai berbelatung. Dasar bak mandi sudah kotor tak ada yang menguras. Duh, duh, duh...

Pengalaman saya bukan hanya soal keponakan. Bagian teras depan tempat kami lumayan luas. Sehingga kami sewakan ke orang lain untuk usaha rental motor. Penyewa dan penjaga rental adalah sekumpulan anak-anak mahasiswa. Tetapi sayangnya luar biasa joroknya. Tumpukan sampah dibuang begitu saja di bawah pohon.

Satu kali saya pernah membongkar tumpukan tanah dan daun di situ, ternyata isinya tumpukan bermacam-macam. Mulai dari sampah kecil seperti wadah sisa pasta gigi, plastik minuman sachet, kertas-kertas dan plastik kresek sampai ada celana pendek kumal tumpuk brek di disitu.

Saya terus-terusan jadi heran. Mengapa orang-orang muda ini, bersekolah sampai tinggi-tinggi tetapi tidak berinisiatif membentuk sebuah kebiasaan baik. Peduli kebersihan lingkungan kan hal sederhana.

Begitupun keponakan dengan teman-temannya. Terkadang ketika Natal atau tahun baru kumpul-kumpul, banyak mahasiswa duduk di teras belakang. Saya pun tidak keberatan.  

Sayangnya di pagi hari hasilnya sampah di halaman berserakan di mana-mana. Dus makanan, bungkus permen, botol plastik. Padahal saya menyediakan ember besar untuk tong sampah. Kok tidak kelihatan ya?

Sekali lagi. Kalau keluar kata-kata instruksi untuk membersihkan barulah semua akan bergerak. Tetapi kalau tidak ya malahan....nggak bakalan dikerjakan. Yang ada selesai kumpul-kumpul pulang ke kos masing-masing dengan "tanpa beban". Ini lho yang saya sebut mental pesuruh. 

Ada lagi masalah pulang kelewat malam, atau hari-hari kongkow di rumah saya sampai lewat waktu yang wajar (laki-laki dan perempuan lho ya). Jika dibiarkan sungguh tidak akan ada perubahan. Ya... semaunya sendiri. 

Akhirnya satu kali saya tegur keras. Kalau mau bebas silakan kos atau kontrak sendiri. Terpaksa, tetapi hasilnya manjur. Nggak ada kongkow-kongkow di rumah sampai dini hari.

Ternyata ketika curhat ke salah satu teman guru, ceritanya pun tak jauh berbeda. Anak-anaknya di rumah meskipun sudah mahasiswa, apa-apa mesti disuruh untuk sekedar membantu pekerjaan rumah. Kalau tidak ya cuek saja. 

Ini belum lagi oknum mahasiswa yang bergaya pergaulan bebas, di banyak kos-kosan yang saat ini sangat minim pengawasan dari pemiliknya.

Persoalan-persoalan tadi membuat saya berpikir-pikir. Ternyata Pendidikan Tinggi tidak semerta-merta identik dengan berkarakter atau berkebiasaan baik. Saya bicara mahasiswa lho, bukan lagi anak-anak atau siswa saya yang remaja.

Entah di mana kesalahannya. Di keluarga? Atau di pendidikan dasar atau menengah?

Soal karakter, Pendidikan Tinggi tidak boleh lepas tangan. Di beberapa Univesitas di Yogya, hal ini sudah menjadi perhatian. Biasanya diberikan di masa awal studi saat masa orientasi. Hal-hal seperti misalnya etika berbicara dengan dosen . Kelihatan remeh tetapi itu penting.

Ada satu Perguruan Tinggi swasta (memang berkualitas), yang mengadakan semacam diklat khusus beberapa hari untuk mahasiswa barunya yang berasal dari luar Jawa.

Mengenai bagaimana menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat Yogya. Sehingga saat kos atau kontrak di rumah-rumah masyarakat tidak ada gesekan-gesekan yang tidak perlu.

Sayangnya saya yakin masih sedikit kampus di Yogya yang melakukan hal ini. Padahal ada ratusan kampus di Yogya dari yang jelas sampai yang "tidak jelas" hehehe , menjadi tempat menuntut ilmu para mahasiswa. 

Pengetahuan saat ini adalah barang murah. Di masa ini apa saja yang kita mau tahu dan segala informasi bahkan ilmu mudah kita akses dimana-mana. Pesatnya teknologi informasi sangat memungkinkan hal itu. Tetapi memiliki karakter dan kebiasaan baik ternyata tidak mudah. Hal itu harus dibentuk dan dibiasakan. Bukan sekedar dipelajari. 

Amat disayangkan jika berpendidikan tinggi tetapi tidak meningkatkan kualitas hidup dari segi membentuk karakter, belajar etika, berkebiasaan baik, dan berinisatif.

Pendidikan mestinya membentuk bahkan merubah pola pikir. Jangan sampai kuliah tinggi-tinggi apalagi kalau harus sampai merantau tetapi pola pikir tetap saja tidak maju-maju.

Tentunya kita semua tidak ingin negara ini kebanjiran orang pandai tetapi tidak bermental dan berkarakter baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun