Bicara honor, gaji ,tunjangan  sertifikasi, yah...mestinya berbentuk  uang. Sehingga kalau dibilang tanpa tanda jasa memang kok tidak begitu tepat. Tetapi mohon maaf bagi rekan-rekan guru di daerah pedalaman, tertinggal, terdepan, terluar,  soal penghasilan atau tunjangan mungkin boleh dibilang minim.
Begitupun dengan fasilitas di sana tidak dapat disamakan dengan kami yang tinggal di kota besar. Saya pikir beliau-beliau inilah guru yang sangat pantas disebut mulia.
Sebagai seorang Guru, bukan saya menolak untuk dimuliakan. Saya bersyukur bahwa profesi saya diapresiasi sedemikian rupa. Tetapi repotnya ketika Guru begitu "mulia" nya sehingga seringkali ia dianggap bukan lagi sekedar manusia melainkan manusia setengah dewa (pinjam judul lagu Bang Iwan Fals).Â
Menatap perubahan jaman dari waktu ke waktu, Â tuntutan sebagai Guru semakin bertambah. Tidak ada lagi Guru "pulang cepat". Jam kerja Guru sama dengan "orang kantoran". Meski masuk lebih pagi, pulang paling tidak jam 4 sore. Bekerja tidak hanya soal bertemu siswa.
Tetapi juga, membuat administrasi, kewajiban membuat karya ilmiah dan penelitian (bagi PNS sebagai syarat kenaikan pangkat), mengurusi administrasi beasiswa, ada lagi yang punya tambahan mengurus kegiatan , dan lain lain yang sejenis itu di luar jam tatap muka. Tidak ada jumlah hari libur yang sama dengan jatah libur semester siswa. Jatah libur guru sekarang dibatasi mirip dengan cuti  ASN atau pun umumnya cuti  "orang kantoran" yang jatahnya biasanya 12 kali dalam setahun.Â
Seiring dengan itu pun sejujurnya,  semakin pula bertambahnya"ongkos" kehidupan kita sehari-hari. Pendidikan anak, penitipan anak, membeli rumah, membayar tagihan listrik, air, dan kebutuhan hari-hari, belum lagi kalau sakit. BPJS memang ada  tetapi tetap bayar iuran kan? Dan bagaimana dengan asuransi kesehatan para guru honorer?
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa Guru juga manusia dengan tantangan hidup yang sama dengan manusia yang lainnya. Guru juga pekerja yang juga punya tuntutan pekerjaan sesuai profesinya.Â
Apakah saking mulianya sehingga atas nama pengabdian sering dianggap tabu kalau menuntut peningkatan penghasilan dan bicara soal kesejahteraan? Kalau ada sertifikasi dalam bentuk tunjangan penghasilan tambahan bagi Guru,  mengapa masih banyak yang suka nyinyir? Apakah kalau ada oknum guru yang tidak tertib kemudian dipukul rata bahwa semua guru pun seperti itu, sehingga dianggap tidak ada peningkatan kualitas? Apakah kalau ada oknum guru yang tidak taat aturan kemudian dibuatlah aturan yang super ketat untuk semua Guru, seolah semua Guru sama selenge'an nya  dengan si oknum ?
Ketika para buruh boleh menuntut upah setara UMR, masih banyak para Guru penyandang Gelar Sarjana Pendidikan yang masih tulus bekerja dengan gaji dibawah upah para buruh. Mereka lulusan Sarjana. Sama seperti saya yang sempat malu mengatakan berapa gaji pertama saya. Karena rasanya saat itu tak kembali modal orang tua untuk membayar biaya kuliah saya.Â
Ketika ada orang yang nyinyir dengan sertifikasi guru mungkin mereka tidak tahu bahwa hampir semua Guru yang sudah mendapat sertifikasi saat ini memulai karir mereka dari nol.  Sertifikasi Guru pun diatur dengan regulasi  yang cukup ketat.Â
Mungkin mereka juga tidak tahu bahwa untuk mendapat sertifikasi bagi para guru lulusan jaman now semakin (diper) sulit, dengan harus mengambil pendidikan profesi yang dibiayai kocek sendiri.Â