Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebelum Menjadi Leader, Belajarlah Jadi Follower

22 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 24 Oktober 2019   13:54 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang ingin jadi pemimpin, dan merasa gengsi untuk jadi pengikut. Sebaliknya banyak orang juga, lebih suka jadi pengikut dan tidak mau susah susah untuk jadi pemimpin. Padahal menjadi pemimpin atau pengikut, menurut pendapat saya adalah sama-sama proses alamiah dalam kehidupan ini. Ibarat roda yang berputar, silih berganti sisi atas dan bawah.

Leader dan follower, sama sama membutuhkan. Bisa dibayangkan jika ada pemimpin yang tidak punya pengikut, apakah pantas disebut pemimpin? Lantas siapakah yang dia pimpin? Sebaliknya pengikut tanpa pemimpin akan kacau balau, tidak tahu tujuan kemana akan melangkah. Setiap orang punya peran dan porsi masing- masing dalam kehidupan ini.

Saya teringat sebuah peristiwa, yakni deklarasi siswa SMU kolese de Britto sebuah sekolah swasta di Yogyakarta. Mensikapi gelombang demo baru-baru ini yang juga melibatkan pelajar. 

Para siswa ini menyatakan bahwa siswa sekolah mereka memilih bersikap untuk tidak melakukan atau turut terlibat dalam aksi demonstrasi. Ada kata-kata menarik yang saya garis bawahi, intinya yaitu "Kami bukan follower, kami adalah leader".

Saya mengapresiasi kalimat ini dan salut bahwa para remaja ini sadar betul akan kemampuan seorang leader, yakni secara bijaksana menentukan arah dan sikap berpikir, juga secara mandiri menentukan tindakannya. Hanya sedikit kritik bahwa ada pemikiran sempit jika menganggap pelajar yang memutuskan ikut demonstrasi kemudian disebut follower. 

Hal ini juga sempat dikritik oleh salah satu alumni sekolah bersangkutan sebut saja Donny Verdian dalam tulisan di blognya. Bahwa jangan mempersempit sebuah pengertian leader-followers, dengan hanya membedakan ikut demo dan tidak.

Tulisan mas Dony Verdian dalam blognya memberi pencerahan bagi saya bahwa bahkan seorang follower pun punya keputusan dan sikap sendiri. Punya alasan sendiri mengapa ia memutuskan atau memilih untuk menjadi pengikut seseorang atau terlibat dalam suatu kegiatan tertentu.

Gambar: pixabay.com
Gambar: pixabay.com
Suka atau tidak, kita semua ini adalah follower pada awalnya. Pasti kita sadari bahwa banyak kemampuan-kemampuan dasar kita, diperoleh dari hasil mengikuti atau meniru. 

Sebut saja kemampuan berbicara atau berbahasa. Ketika kecil kita meniru, memperhatikan, dan mengikuti para orangtua dan dewasa yang berkata-kata. Termasuk pula kemampuan yang lain seperti cara kita makan atau merespon situasi. 

Coba saja prediksikan bagaimana jika sejak lahir kita dibesarkan oleh sekawanan kera misalnya, tanpa pernah bertemu manusia. Seperti apa kiranya pembawaan kita?

Kemampuan-kemampuan dasar itu tentunya kemudian dipoles kembali dengan pendidikan dan pengalaman. Kita semakin belajar pada yang lebih ahli. 

Pada saatnya kita menduduki posisi lebih "senior" dari yang lain dan memberi jalan kepada kita untuk menjadi seorang leader. That's from zero to hero.

Sejatinya setiap orang berpotensi sebagai leader, paling tidak bagi dirinya. Dalam situasi keseharian ketika bertumbuh menjadi lebih dewasa, menjadi orangtua atau yang lebih tua, sekadar kepala keluarga atau ketua RT. Tentunya tetap saja jiwa jiwa kepemimpinan dibutuhkan. 

Oleh karenanya seorang leader yang baik menurut hemat saya ialah seorang follower yang bersedia banyak belajar dan bersedia mengamati. Awalnya meniru dan memodifikasi, pada akhirnya membentuk gayanya sendiri. 

Seorang leader yang baik tidak pernah mengingkari bahwa sebelumnya ia adalah follower, dan tidak pernah melupakan bagaimana rasanya menjadi follower. 

Akan berbeda dengan seorang pemimpin yang instan, tidak banyak berproses sebagai follower, ujug-ujug jadi pemimpin dengan mudah, dan biasanya karena nepotisme. Pemimpin seperti ini cenderung kurang memperhatikan kesejahteraan pengikutnya. Hal ini disebabkan kurang empatimya terhadap posisi para follower-nya.

Tetapi yang lebih disayangkan adalah jika ada pemimpin yang dahulu berproses dalam suka duka menjadi seorang pengikut, ketika jadi pemimpin lupa rasanya, dan memperlakukan pengikutnya sekehendak hatinya. 

Bagi Anda yang saat ini masih menjadi follower dalam suatu bidang kehidupan, perlu untuk belajar bagaimana menjadi follower yang punya banyak pengaruh bagi leader-nya. 

Mengutip dari trustco.co.id, seorang follower bisa memiliki 4 tipe. Pertama hanyalah orang suruhan, yang mengikuti saja apa yang pemimpinnya inginkan. 

Kedua, pengikut yang kinerjanya rendah dan hanya mementingkan relasi dengan sesamanya atau pemimpinnya yang penting baik- baik saja. 

Ketiga, pengikut yang kinerjanya baik tapi sayangnya kurang mementingkan relasi yang baik dengan sesamanya dan pemimpinnya. Kemampuannya enggan dibagikan. 

Terakhir yang ke-empat adalah kategori mitra atau partner. Mereka adalah follower yang memiliki kompetensi dan komitmen yang tinggi pada tugas-tugasnya. Mereka menjaga relasi yang baik dengan pimpinan dan dengan sesama pengikut. Ide dan gagasannya tidak ragu diberikan untuk menjadi tantangan dan umpan balik positif bagi ide ide pemimpinnya. 

Follower dengan tipe partner atau mitra inilah yang memperkaya seorang pemimpin dan kelak memiliki potensi untuk akhirnya menjadi leader. 

Saya sendiri tidak ragu ragu atau gengsi menjadi seorang follower, tetapi tentunya follower yang punya kontribusi. Follower yang memiliki jiwa leader dalam dirinya. Dalam situasi kehidupan kita perlu belajar dan berkaca dari pengalaman dan keahlian orang lain, dan disaat itulah kita menjadi follower. 

Menyadari masih perlu banyak belajar dan berguru pada mereka yang lebih kompeten. Menjadi follower orang-orang yang punya potensi. Harapannya hasil belajar itu lama kelamaan membentuk kita menjadi seorang leader yang tidak kalah mumpuni

Perlu diingat, menjadi leader dan follower pun bukan sesuatu yang abadi. Di atas pemimpin masih ada pemimpin, diatas dan dibawah pengikut masih ada pengikut-pengikut lainnya. Berganti setiap situasi kehidupan pun peran kita bisa jadi berubah. 

Hal yang terpenting adalah memainkan peran kehidupan kita sebaik mungkin. Ketika menjadi leader, jadilah pemimpin yang bijak dan mampu memberi arahan yang baik. Sebaliknya ketika berperan sebagai follower, jadilah pengikut yang memiliki kontribusi dan memiliki kinerja positif serta maksimal sehingga menjadi mitra yang baik

Seorang leader tidak akan berarti jika tanpa follower. Begitupun sebaliknya follower membutuhkan leader yang memberi arahan bagi pencapaian tujuan.

Referensi :

  1. Usman Hadi. Detiknews. Tolak aksi. Pelajar SMA De Britto Yogya tegaskan bukan follower
  2. Donny Verdian. superblogger.id
  3. Trustco.co.id. Jadilah Pengikut yang Baik Sebelum Jadi Pemimpin yang Hebat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun